Photo

Photo

Sunday 3 November 2019

Warok Ponorogo “ Murid Sunan Kalijaga “ Penguasa Para Siluman Singa


Tradisi olah kanuragan yang dimiliki warok pun dekat dengan konflik. Mereka sudah terbiasa berduel mengadu kesaktian

Warok itu mempunyai kesaktian, bersifat pendiam, tenang, dan tidak sombong.

Setiap ada tantangan warok selalu siap kapanpun dan dimanapun tempatnya.

Warok harus memiliki kesaktian. Kesaktian itu diperoleh dari pusaka yang dimilikinya ataupun pada saat calon warok  ditempa dengan berbagai ilmu kanuragan dan ilmu kebatinan. Ilmu kanuragan itu diperlukan sebagai bentuk pertahanan fisik terhadap ancaman atau bahaya dari luar diri warok.

Setelah dinyatakan menguasai ilmu tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata andalan para warok.

 Pusaka yang dimiliki warok merupakan turun temurun dari nenek moyang mereka. Ada juga yang memperoleh pusaka tersebut melalui bertapa dahulu.

Warok adalah sebuah gelar bagi pendekar ponorogo, jawa timur. Pendekar yang telah memiliki gelar “ mumpuni ” alias digjaya akan berjuluk warok.

Dari sekian banyak warok dari jaman dulu hingga sekarang ini disebut warok ponorogo yang terkenal sakti mandraguna dengan ilmu kebal dan kekuatannya yang dahsyat.

Dalam kesenian Reog Ponorogo, para pemain yang memerankan karakter warok juga tidak jauh berbeda dengan pendekar warok yang sebenarnya.

 Meskipun tidak sesakti pendekar warok, namun setidaknya pemeran warok ponorogo ini memiliki kekuatan yang sulit dimiliki oleh sembarang manusia.

Seperti yang anda lihat selama ini, pemeran warok sanggup menyunggi topeng singo barong seberat sekitar 20 kilogram beserta seorang turis yang duduk di atas kepalanya seberat 100 kilogram tanpa dibantu tangan.

Semua beban hanya tertumpu di atas kepala saja tanpa bantuan tangan, karena tangannya sibuk berjoget.

Asal Usul Warok

Bathara Katong ( baca : Batoro Katong ) adalah pendiri Kabupaten Ponorogo dan juga merupakan Adipati pertama Ponorogo.

Bathara Katong merupakan utusan Kesultanan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo.

Asal Usul Bathara Katong
Bathara Katong, memiliki nama Asli Lembu Kanigoro, salah seorang putra Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi dari selirnya yaitu Putri Campa yang beragama Islam.

Berdasarkan catatan sejarah keturunan generasi ke-126 ia yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bathara Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali.

 Ia adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya dari garwo pangrambe ( selir yang tinggi kedudukannya ).

Mulai redupnya kekuasaan Majapahit dan saat kakak tertuanya " Lembu Kenongo " yang berganti nama menjadi Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak Bintoro,

Lembu Kanigoro mengikut jejak kakaknya untuk berguru di bawah bimbingan Sunan Kalijaga di Demak.

Pertarungan dengan Ki Ageng Kutu
Prabu Brawijaya pada masa hidupnya berusaha diislamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk diislamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit.

Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain.

Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, Ki Ageng Kutu kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reyog.

Dan Reyog tidak lain merupakan simbol kritik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit ( disimbolkan dengan kepala harimau ), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan / Putri Campa ( disimbolkan dengan dadak merak ).

Upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat Basis di Ponorogo ( Wengker ) dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit dan Kesultanan Demak.

Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim ( atau Ki Ageng Mirah ) mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo.

Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya yakni yang kemudian dikenal luas dengan Bathara Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan.

 Saat Bathara Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Hindu, Buddha, animisme dan dinamisme.

Setelah Bathara Katong memasuki Ponorogo terjadilah pertarungan antara Bathara Katong dengan Ki Ageng Kutu.

 Di tengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu.

Kemudian dengan akal cerdasnya Bathara Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.

Niken Gandini dimanfaatkan Bathara Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu.

Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringinanom Sambit Ponorogo.

 Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal.

 Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari.

Hal ini mungkin dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah Ki Ageng Kutu menghilang, Bathara Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa.

Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara.

Pendirian Ponorogo
Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Bathara Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang.

Namun, karena Bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Setelah hutan selesai dibabat, bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun berdatangan.

 Setelah istana kadipaten didirikan, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten, sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel..

 Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu  diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah Babad legenda " Pramana Raga ".

 Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani, sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Bathara Katong kemudian menjadi Adipati di Ponorogo.

Menurut Handbook of Oriental History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah.

 Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Kesenian Reyog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantarangin sebagai sejarah reyog.

Para punggawa dan anak cucu Bathara Katong inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Adapun turunan ke 7 bathara katong yang masih ada sampai sekarang yaitu di Pacitan, tepatnya di Tulakan.

Pemakaian nama Bathara Katong Sunting
Nama Bathara Katong diabadikan sebagai nama stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo.

Para murid sunan kalijaga
Sunan kalijaga sangat memahami kebudayaan lokal masyarakat jawa. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka, mereka harus didekati secara bertahap. Ia harus bisa mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan kalijaga berkeyainan jika islam sudah dipahami, maka kebiasaan lama akan hilang dengan sendirinya.

Pada mulanya, sunan kalijaga menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara sebagai sarana dakwah. Ia adalah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, dan lakon wayang petruk jadi raja. Bahkan, bentuk tata pusat kota berupa kraton, alun-alun degan dua beringin, serta majid diyakini sebagai karya sunan kalijaga.

Murid sunan kalijaga yang terkenal

Dengan cara dakwah semacam itu ternyata hasilnya memuaskan. bahkan sebagian besar adipati di jawa memeluk islam melalui sunan kalijaga, di antaranya dipati semarang yang terkenal sebagai ki ageng pandanaran, adipati kartasura, kebumen, banyu mas, serta pajang ( kota gede, jogja )

Adipati semarang yang termansyur dengan nama ki ageng pandaran meninggalkan singgasananya karena tertarik terhadap ajaran islam yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga. pada 1512 M, ia menyerahkan tampuk pemerintahannya kepada adik laki-lakinya.  ia bersama istrinya mengundurkan diri dari kekuasaan. Pasangan bangsawan  bangsawan jawa ini berkelana mencari ketenangan batin sembari mendakwahkan islam.

Seusai berpetualangan, ki pandanaran dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di wedi, klaten, jawa tengah. Akhirnya, mereka menetap sebagai guru mengaji di tembayat. Di sana, selama dua puluh lima tahun, ki pandanaran hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat.

Pada tahun 1537 M, ia wafat dan dimakamkan di sana. Bangunan kompleks makam sunan tembayat terbuat dari batu berukir, menyerupai bentuk candi bentar di jawa timur dan pura di bali.

Pada prasasti makam sunan tembayat tertulis bahwa makam ini pertama kali dipugar pada 1566 M. oleh raja pajang, sultan Hadiwijaya. Kemudian, pada tahun 1633 m, sultan agung mataram memperluas dan memperintah bangunan makam sunan tembayat. Cerita tentang kesaktian orang suci dari semarang yang dimakamkan di tembayat sudah beredar di kalangan masyarakat jawa sejak pertengahan abad ke 17.

Murid sunan kalihjaga yang terknal lainnya

Murid sunan kalijaga yang terkenal selain sunan tembayat, ada lagi murid lainnya yang bernama sunan geseng. Sebenarnya nama asli petani penyadap nira ini adalah ki cokrojoyo. Suatu hari dalam pengembaraannya, sunan kalijaga terpikat pada suara merdu ki cokro yang bernanyi setelah menyadap nira. Ia meminta ki cokro mengganti syair lagunya dengan dzikir kepada Allah. Ketika ki cokoro berdzikir, gula yang dibuatnya dari nira berubah jadi emas secara mendandak. Petani ini sangat heran sehingga ingin berguru kepada sunan kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, sunan kalijaga menyuruh ki cokro berdzikir tanpa berhenti sebelum ia datang lagi.

Setahun kemudian, sunan kaligaja teringat ki cokro. Kemudian ia memerintahkan kepada para muridnya untuk mencari ki cokro yang berdzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya karena tempat berdzikir ki cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Maka, para murid sunan kalijogo harus membakar padang ilalang. Ki cokro tampak bersujud ke arah kiblat. Tubuhnya hangus dimakan api, tapi penyadap nira ini masih bernafas dan mulutnya terus berdzikir. Sunan kalijaga membangukannya dan memberi nama sunan geseng.

Sunan geseng menyebarkan agama islam di desa jatinom, sekitar 10 km dari kota kleteng ke arah utara. Penduduk jatinom mengenalknya dengan sebutan ki ageng gribik, julukan itu berangkat dari pilihannya untuk tinggal di rumah beratap gribik yang berasal dari anyaman daun nyiur. menurut legenda setempat, ketika ki ageng gribik pulang menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk jatinom kelaparan. Lalu ia membawa sepotong kue apem. kue tersebut dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. ternyata, semua orang mendapat bagian kue itu.

Ki ageng gribik meminta warga yang kelaparan untuk memakan secuil kue apem seraya mengucapkan dizikir ya Qowiyyu ( Allah Maha Kuat ). Akhirnya, mereka pun kenyang dan sehat. Kini masyarakat jatinom terus menghidupkan legenda ki ageng gribik dengan menyelenggarakan upacara Ya Qowiiyyu pada setiap bulan shafar.

Warga membuat kue apem, lalu disetorkan ke masjid. jumlah apem yang terkumpul bisa mencapai ratusan ribu. Beratnya sekitar 40 ton jika ditotal. Puncak upacara berlangsung sesusai shalat jumat. Dari menara masjid kue apem disebarkan oleh para santri sambil berzikir Ya Qowiyyu. Dan ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem secara bergotong royong.

Itulah penjelasan beberapa nama murid sunan kalijaga yang terkenal, semoga dapat menambah wawasan kamu tentang seluk beluk wali songo, khususnya yang berhubungan dengan kisah sunan kalijaga.

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4340 - 4345

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4340-4345 "Kalau begitu kamu bisa meminta bantuan Pangeran Xiao. Agaknya, Keluarga Qi tidak bisa lebih kuat ...