Tradisi olah kanuragan yang
dimiliki warok pun dekat dengan konflik. Mereka sudah terbiasa berduel mengadu
kesaktian
Warok itu mempunyai kesaktian,
bersifat pendiam, tenang, dan tidak sombong.
Setiap ada tantangan warok selalu
siap kapanpun dan dimanapun tempatnya.
Warok harus memiliki kesaktian.
Kesaktian itu diperoleh dari pusaka yang dimilikinya ataupun pada saat calon
warok ditempa dengan berbagai ilmu
kanuragan dan ilmu kebatinan. Ilmu kanuragan itu diperlukan sebagai bentuk
pertahanan fisik terhadap ancaman atau bahaya dari luar diri warok.
Setelah dinyatakan menguasai ilmu
tersebut, ia lalu dikukuhkan menjadi seorang warok sejati. Ia memperoleh
senjata yang disebut kolor wasiat, serupa tali panjang berwarna putih, senjata
andalan para warok.
Pusaka yang dimiliki warok merupakan turun
temurun dari nenek moyang mereka. Ada juga yang memperoleh pusaka tersebut
melalui bertapa dahulu.
Warok adalah sebuah gelar bagi
pendekar ponorogo, jawa timur. Pendekar yang telah memiliki gelar “ mumpuni ”
alias digjaya akan berjuluk warok.
Dari sekian banyak warok dari
jaman dulu hingga sekarang ini disebut warok ponorogo yang terkenal sakti
mandraguna dengan ilmu kebal dan kekuatannya yang dahsyat.
Dalam kesenian Reog Ponorogo,
para pemain yang memerankan karakter warok juga tidak jauh berbeda dengan
pendekar warok yang sebenarnya.
Meskipun tidak sesakti pendekar warok, namun
setidaknya pemeran warok ponorogo ini memiliki kekuatan yang sulit dimiliki
oleh sembarang manusia.
Seperti yang anda lihat selama
ini, pemeran warok sanggup menyunggi topeng singo barong seberat sekitar 20
kilogram beserta seorang turis yang duduk di atas kepalanya seberat 100
kilogram tanpa dibantu tangan.
Semua beban hanya tertumpu di
atas kepala saja tanpa bantuan tangan, karena tangannya sibuk berjoget.
Asal Usul Warok
Bathara Katong ( baca : Batoro
Katong ) adalah pendiri Kabupaten Ponorogo dan juga merupakan Adipati pertama
Ponorogo.
Bathara Katong merupakan utusan
Kesultanan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo.
Asal Usul Bathara Katong
Bathara Katong, memiliki nama
Asli Lembu Kanigoro, salah seorang putra Prabu Brawijaya atau Bhre Kertabhumi
dari selirnya yaitu Putri Campa yang beragama Islam.
Berdasarkan catatan sejarah
keturunan generasi ke-126 ia yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Bathara
Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak
Kali.
Ia adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya
dari garwo pangrambe ( selir yang tinggi kedudukannya ).
Mulai redupnya kekuasaan
Majapahit dan saat kakak tertuanya " Lembu Kenongo " yang berganti
nama menjadi Raden Patah mendirikan Kesultanan Demak Bintoro,
Lembu Kanigoro mengikut jejak
kakaknya untuk berguru di bawah bimbingan Sunan Kalijaga di Demak.
Pertarungan dengan Ki Ageng Kutu
Prabu Brawijaya pada masa
hidupnya berusaha diislamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk
Prabu Brawijaya dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk
menjadi Istrinya.
Walaupun kemudian Prabu Brawijaya
sendiri gagal untuk diislamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa
mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit.
Diperistrinya putri Campa oleh
Prabu Brawijaya memunculkan reaksi protes dari elit istana yang lain.
Sebagaimana dilakukan oleh
seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian
dikenal sebagai Ki Ageng Kutu, Ki Ageng Kutu kemudian menciptakan sebuah seni
Barongan, yang kemudian disebut Reyog.
Dan Reyog tidak lain merupakan
simbol kritik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit ( disimbolkan dengan kepala
harimau ), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan / Putri Campa ( disimbolkan
dengan dadak merak ).
Upaya Ki Ageng Kutu untuk
memperkuat Basis di Ponorogo ( Wengker ) dianggap sebagai ancaman oleh
kekuasaan Majapahit dan Kesultanan Demak.
Sunan Kalijaga, bersama muridnya
Kiai Muslim ( atau Ki Ageng Mirah ) mencoba melakukan investigasi terhadap
keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di
Ponorogo.
Dan mereka menemukan Demang Kutu
sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.
Demi kepentingan ekspansi
kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang putra terbaiknya
yakni yang kemudian dikenal luas dengan Bathara Katong dengan salah seorang
santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.
Raden Katong akhirnya sampai di
wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk
pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan.
Saat Bathara Katong datang memasuki Ponorogo,
kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Hindu, Buddha, animisme dan
dinamisme.
Setelah Bathara Katong memasuki
Ponorogo terjadilah pertarungan antara Bathara Katong dengan Ki Ageng Kutu.
Di tengah kondisi yang sama sama kuat, Bathara
Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu.
Kemudian dengan akal cerdasnya
Bathara Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken
Gandini, dengan di iming-imingi akan dijadikan istri.
Niken Gandini dimanfaatkan
Bathara Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari
Ki Ageng Kutu.
Pertempuran berlanjut dan Ki
Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah
Wringinanom Sambit Ponorogo.
Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu disebut
dengan Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal.
Bathara Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki
Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari.
Hal ini mungkin dilakukan untuk
meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.
Setelah Ki Ageng Kutu menghilang,
Bathara Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak
lain adalah Batoro, manusia setengah dewa.
Hal ini dilakukan, karena
Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara.
Pendirian Ponorogo
Pada tahun 1486, hutan dibabat
atas perintah Bathara Katong. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk
makhluk halus yang datang.
Namun, karena Bantuan warok dan
para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.
Setelah hutan selesai dibabat,
bangunan-bangunan didirikan sehingga penduduk pun berdatangan.
Setelah istana kadipaten didirikan, Batara
Katong kemudian memboyong permaisurinya, Niken Sulastri ke istana kadipaten,
sedang adiknya, Suromenggolo tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel..
Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun
itu diberi nama Prana Raga yang berasal
atau diambil dari sebuah Babad legenda " Pramana Raga ".
Menurut cerita rakyat yang berkembang secara
lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani, sehingga
kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.
Bathara Katong kemudian menjadi
Adipati di Ponorogo.
Menurut Handbook of Oriental
History hari wisuda Bathara Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo yaitu
pada hari Ahad Pon tanggal 1 Bulan Besar tahun 1418 Saka, bertepatan dengan
Tanggal 11 Agustus 1496 atau 1 Dzulhijjah 901 Hijriyah.
Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan
sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.
Kesenian Reyog yang menjadi seni
perlawanan masyarakat Ponorogo mulai dihilangkan dari unsur-unsur
pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantarangin
sebagai sejarah reyog.
Para punggawa dan anak cucu Bathara
Katong inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat
pengembangan agama Islam.
Adapun turunan ke 7 bathara
katong yang masih ada sampai sekarang yaitu di Pacitan, tepatnya di Tulakan.
Pemakaian nama Bathara Katong Sunting
Nama Bathara Katong diabadikan
sebagai nama stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo.
Para murid sunan kalijaga
Sunan kalijaga sangat memahami
kebudayaan lokal masyarakat jawa. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh
jika diserang pendiriannya. Maka, mereka harus didekati secara bertahap. Ia
harus bisa mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan kalijaga berkeyainan jika islam
sudah dipahami, maka kebiasaan lama akan hilang dengan sendirinya.
Pada mulanya, sunan kalijaga
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara sebagai sarana dakwah.
Ia adalah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang
kalimasada, dan lakon wayang petruk jadi raja. Bahkan, bentuk tata pusat kota
berupa kraton, alun-alun degan dua beringin, serta majid diyakini sebagai karya
sunan kalijaga.
Murid sunan kalijaga yang
terkenal
Dengan cara dakwah semacam itu
ternyata hasilnya memuaskan. bahkan sebagian besar adipati di jawa memeluk
islam melalui sunan kalijaga, di antaranya dipati semarang yang terkenal sebagai
ki ageng pandanaran, adipati kartasura, kebumen, banyu mas, serta pajang ( kota
gede, jogja )
Adipati semarang yang termansyur
dengan nama ki ageng pandaran meninggalkan singgasananya karena tertarik
terhadap ajaran islam yang disampaikan oleh Sunan Kalijaga. pada 1512 M, ia
menyerahkan tampuk pemerintahannya kepada adik laki-lakinya. ia bersama istrinya mengundurkan diri dari
kekuasaan. Pasangan bangsawan bangsawan
jawa ini berkelana mencari ketenangan batin sembari mendakwahkan islam.
Seusai berpetualangan, ki
pandanaran dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di wedi,
klaten, jawa tengah. Akhirnya, mereka menetap sebagai guru mengaji di tembayat.
Di sana, selama dua puluh lima tahun, ki pandanaran hidup sebagai orang suci
dengan sebutan Sunan Tembayat.
Pada tahun 1537 M, ia wafat dan
dimakamkan di sana. Bangunan kompleks makam sunan tembayat terbuat dari batu
berukir, menyerupai bentuk candi bentar di jawa timur dan pura di bali.
Pada prasasti makam sunan
tembayat tertulis bahwa makam ini pertama kali dipugar pada 1566 M. oleh raja
pajang, sultan Hadiwijaya. Kemudian, pada tahun 1633 m, sultan agung mataram
memperluas dan memperintah bangunan makam sunan tembayat. Cerita tentang
kesaktian orang suci dari semarang yang dimakamkan di tembayat sudah beredar di
kalangan masyarakat jawa sejak pertengahan abad ke 17.
Murid sunan kalihjaga yang
terknal lainnya
Murid sunan kalijaga yang
terkenal selain sunan tembayat, ada lagi murid lainnya yang bernama sunan
geseng. Sebenarnya nama asli petani penyadap nira ini adalah ki cokrojoyo.
Suatu hari dalam pengembaraannya, sunan kalijaga terpikat pada suara merdu ki
cokro yang bernanyi setelah menyadap nira. Ia meminta ki cokro mengganti syair
lagunya dengan dzikir kepada Allah. Ketika ki cokoro berdzikir, gula yang
dibuatnya dari nira berubah jadi emas secara mendandak. Petani ini sangat heran
sehingga ingin berguru kepada sunan kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati
calon muridnya, sunan kalijaga menyuruh ki cokro berdzikir tanpa berhenti
sebelum ia datang lagi.
Setahun kemudian, sunan kaligaja
teringat ki cokro. Kemudian ia memerintahkan kepada para muridnya untuk mencari
ki cokro yang berdzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya karena
tempat berdzikir ki cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak
belukar. Maka, para murid sunan kalijogo harus membakar padang ilalang. Ki
cokro tampak bersujud ke arah kiblat. Tubuhnya hangus dimakan api, tapi
penyadap nira ini masih bernafas dan mulutnya terus berdzikir. Sunan kalijaga
membangukannya dan memberi nama sunan geseng.
Sunan geseng menyebarkan agama
islam di desa jatinom, sekitar 10 km dari kota kleteng ke arah utara. Penduduk
jatinom mengenalknya dengan sebutan ki ageng gribik, julukan itu berangkat dari
pilihannya untuk tinggal di rumah beratap gribik yang berasal dari anyaman daun
nyiur. menurut legenda setempat, ketika ki ageng gribik pulang menunaikan
ibadah haji, ia melihat penduduk jatinom kelaparan. Lalu ia membawa sepotong
kue apem. kue tersebut dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. ternyata,
semua orang mendapat bagian kue itu.
Ki ageng gribik meminta warga
yang kelaparan untuk memakan secuil kue apem seraya mengucapkan dizikir ya
Qowiyyu ( Allah Maha Kuat ). Akhirnya, mereka pun kenyang dan sehat. Kini masyarakat
jatinom terus menghidupkan legenda ki ageng gribik dengan menyelenggarakan
upacara Ya Qowiiyyu pada setiap bulan shafar.
Warga membuat kue apem, lalu
disetorkan ke masjid. jumlah apem yang terkumpul bisa mencapai ratusan ribu.
Beratnya sekitar 40 ton jika ditotal. Puncak upacara berlangsung sesusai shalat
jumat. Dari menara masjid kue apem disebarkan oleh para santri sambil berzikir
Ya Qowiyyu. Dan ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem secara
bergotong royong.
Itulah penjelasan beberapa nama
murid sunan kalijaga yang terkenal, semoga dapat menambah wawasan kamu tentang
seluk beluk wali songo, khususnya yang berhubungan dengan kisah sunan kalijaga.
No comments:
Post a Comment