Terilham dari kalam Habib
Muhammad bin Hadi Asseqaf ( 1291 – 1382 H, lahir di Hadramaut )
Ada sisi baik dari Santri Ndeso
ini. Walaupun terkadang terlihat urakan, ga pedulian dan sedikit bandel, tapi
dia sesungguhnya memiliki sifat yang sangat terpuji. Diantaranya dia sangat
Memuliakan keturunan dari Kanjeng Nabi SAW. Mereka yang biasa kita sebut dengan
panggilan ‘ Habib atau Sayyid ’.
Sedemikian ta’dhim dan tawadu’nya
dengan keturunan Habaib ini, sampai – sampai dia selalu berkorban untuk
memenuhi semua keperluan dan permintaan Habib – Habib ‘ kecil ‘. Di pondok
sendiri, banyak sekali para orang tua dari keturunan Sayyid yang menitipkan
anaknya untuk belajar di Padepokan Wong Alus. Karena sebenarnya Abah Kyai
sendiri masih keturunan dari Habaib.
Walhasil… seperti di pesantren
manapun, semua keturunan dari Kanjeng Nabi SAW selalu mendapat perhatian dan
curahan kasih yang lebih dibanding santri lain. Abah Kyai selalu bilang, “
Rasulullah sudah menitipkan semua keturunannya kepada kita, jika sedikit saja
kita menyakiti perasaan mereka – samalah artinya dengan menyakiti perasaan
Rasulullah SAW !’ Jadi… siapakah yang berani membuat sakit perasaan Manusia Paling
Mulia di Jagat Raya ini…?
Namun… mereka yang mempunyai
jalur nasab mulia itu tetaplah seperti manusia pada umumnya. Terkadang mereka
pun berada di luar jalur perbuatan baik. Kelakuan – kelakuan bandel dan nakal
yang tidak mencerminkan kemuliaan nasab mereka.
Hari ini, para santri Tarim (
sebutan untuk santri keturunan Habaib, red ) berkumpul di belakang gudang
pangan. Apalagi kalau bukan untuk ‘ dukhon ‘ berjama’ah, ( dukhon = merokok, red ). Mereka tidak berani
terang-terangan begitu di depan para Asatidz, bisa kena ‘ ta’zir’ ( dihukum,
red ) sama Dewan Guru.
Aku tahu, soalnya tadi Wong Ndeso
pinjam fulus. Katanya untuk beli tembakau temanggung yang wangi dan enak. Mana
mau para habib itu ‘ ngisep’ tembakau murahan. Tapi mau beli sendiri, mereka
tidak punya fulus. Akhirnya… nasab yang mulia di jadikan ‘ lencana ‘ untuk
meminta. Kalau mau bicara jujur, sebenarnya santri ndeso sering merasa jengkel
dengan kelakuan para habib ‘ kecil ’ ini.
Apalagi santri Tarim ini terkesan
sering merendahkan santri local. Yang katanya ga’ punya nasab baguslah, bukan
keturunan wali-lah, sulit dapat syafaat kanjeng nabi-lah, ga’ bakal bisa jadi
wali-lah, kalaupun masuk surga tapi bukan yang kelas eksekutif-lah… dan banyak
lagi kemungkinan yang sepertinya hanya dipunyai mereka kaum Habaib.
Santri Ndeso tidak sendirian
merasa direndahkan begitu, santri lain pun banyak yang jadi ‘ korban ‘ ejekan
mereka. Tapi mau marah takut kualat sama Kanjeng Nabi SAW. Akhirnya jadi ‘ dilemma
’ tak berkesudahan. Paling-paling mereka ‘ ngedumel ’ di belakang saja.
Hari ini Habib Haikal menjadi
pusat perhatian. Santri tampan dari keluarga Al-Atthas ( salah satu marga di
klan Habaib, red ) tampak semangat sekali menceritakan silsilah dan keramat
keluarga Al-Atthas. Beliau hapal semua nama, mulai dari jid-nya ( kakek, red )
sampai ke ujung nasab Kanjeng Nabi SAW.
Semua keramat dan amalan para
leluhurnya disebut. Katanya ada Datu’nya yang hapal Qur’an dari umur 5 tahun,
ada yang keramatnya bisa ‘ bersin ’ ( wahing, bahasa jawanya-red ) sejak di
kandungan ibunya, ada yang bacaan sholawatnya sekian ratus ribu dalam semalam,
ada Datu’nya yang bisa khatam Qur’an ratusan kali dalam semalam…. Wah…. Santri
local ( keturunan Jawa, sumatera, borneo, dan andalas-red ) yang merubung dan
mendengar cerita Habib Haikal hanya melongo bengong dan ta’jub.
Abis itu gantian turun Habib
Faisal bin Syech Abubakar bin Salim ( Keturunan dari wali Quthub As-Sayyid
Syech Abu Bakar bin Salim, shohibu ‘inad-red ) bercerita. Kata beliau, Datu’nya
itu sudah di ramal bakal jadi Wali dari sebelum ada di perut ibunya, khatam
kitab Ihya Ulumudin 40x, selama 40 tahun datu’nya sholat subuh dengan wudhu’
isya’, pernah ziarah ke Makam Nabiyullah Hud As sebanyak 70x, melihat dunia
hanya dengan melihat telapak tangan, dan lain-lain… dan lain-lain… semua Habib
‘ kecil ‘ bergantian bercerita. Sementara asap tembakau temanggung tidak putus
dari bibir.
Semua yang mendengar menjadi dan
merasa sangat kerdil, sebagian merasa hampa dan menyesal tidak terlahir dari
Nasab yang mulia, sebagian menjadi putus asa dari syafaat kanjeng Nabi SAW dan
yang lain timbul penyesalan yang dalam akan kemampuan dirinya yang pas-pasan,
rasanya putus harapan untuk menjadi ‘ kekasih ‘ Allah SWT.
Namun Sayyidina A’dhom Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi Wassalam, tidaklah berdiam diri melihat keturunannya mengumbar
Riya dan kesombongan yang semakin menusuk. Semua kesombongan dan kemegahan
nasab akan menjadi bualan tak berkesudahan sebelum mereka di sadarkan. Waktunya
untuk memberi para Sadah ( Sadah adalah sebutan untuk keturunan Rasulullah SAW,
red ) pelajaran yang kelak akan membuat mereka sadar.
Mendadak Santri Ndeso berdiri
dari duduknya. Sikapnya tampak Agung dan berwibawa. Cahaya Ilahiyah memancar
terang dari badannya. Matanya menyorot tajam kepada para Habib. Bibirnya
bergetar melafadzkan asma Allah dan sholawat ‘alan-nabiyyi. Semua Santri Tarim
hanya melongo, terdiam melihat pesona yang melingkupi Santri Ndeso. Tidak ada
yang bersuara.
Keheningan misterius mendadak
menyergap kami. “ Wahai Habib… Datu’ siapakah yang kalian ceritakan itu, betapa
sangat banyak dan luar biasanya amalan mereka…? ” pertanyaan yang ditujukan
kepada semua Santri Tarim.
“ Mereka adalah Datu’ – datu’
kami…! ” kata para Sadah dengan bangga.
“ Segala puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan mereka sebagai
Datu’ – datu’ ku. Aku selalu meneladani Datu’ – datu’ ku. Apa yang mereka
amalkan, aku juga mengamalkannya. Lalu siapa diantara kalian yang meneladani
Datu’ – datu’ kalian…? Aku lihat kalian hanya memperbaiki Imamah dan pakaian
kalian, kalian tidak menempuh jalan mereka. Dimana Maqam kalian dibandingkan
dengan maqam mereka…? Andaikata mereka adalah datu’ku, sungguh… aku akan sangat
malu bertemu dengan manusia…! ”
Sesungguhnya kata-kata itu keluar
dari ketulusan. Ia tidak berbicara untuk menghina dan mencela. Dia hanya
menyampaikan sebentuk Ilham Ilahiyah dan Mahabbah Rasulullah bagi para
Muhibbin. Semua terdiam… para Santri Tarim tidak ada yang bersuara.
Hening… sepi… senyap.
Hilang semua kata untuk
menyanggah. Lenyap semua kesombongan. Yang pertama terdengar suaranya adalah
Habib Haikal, lebih tepat adalah sebuah isak tangis. Matanya memerah, seluruh
anggota badannya bergetar, seperti menahan beban yang luar biasa berat. Isakan
berubah menjadi tangisan tak bersuara.
Para Sadah tersadarkan…. semua
membenarkan. Santri Tarim menangis. Tangisan rindu dari anak keturunan yang
Mulia, tangisan rindu untuk Datu’ mereka rasulullah SAW. Tangisan janji untuk
kembali meneladani jejak suci para Auliya…. mereka pun berjanji… hati mereka
berjanji… semua karna si ndeso.
Begitulah… sejak hari itu, para
Sadah yang muqim di pondok ini berubah. Mereka menjadi teladan bagi kami.
Kesungguhan, kebulatan tekad, keberanian dan kemuliaan mereka adalah menjadi
milik kami juga… Marhaban Yaa
Rasulullah…Marhaban Yaa nurul ‘aini… marhaban Yaa Jaddal Huseini... Allahummas-turni
bi sitrikal Jamiil.
No comments:
Post a Comment