Photo

Photo

Saturday 24 August 2019

Jadi Wali Bukan Karna Nasab


Terilham dari kalam Habib Muhammad bin Hadi Asseqaf ( 1291 – 1382 H, lahir di Hadramaut )

Ada sisi baik dari Santri Ndeso ini. Walaupun terkadang terlihat urakan, ga pedulian dan sedikit bandel, tapi dia sesungguhnya memiliki sifat yang sangat terpuji. Diantaranya dia sangat Memuliakan keturunan dari Kanjeng Nabi SAW. Mereka yang biasa kita sebut dengan panggilan ‘ Habib atau Sayyid ’.

Sedemikian ta’dhim dan tawadu’nya dengan keturunan Habaib ini, sampai – sampai dia selalu berkorban untuk memenuhi semua keperluan dan permintaan Habib – Habib ‘ kecil ‘. Di pondok sendiri, banyak sekali para orang tua dari keturunan Sayyid yang menitipkan anaknya untuk belajar di Padepokan Wong Alus. Karena sebenarnya Abah Kyai sendiri masih keturunan dari Habaib.

Walhasil… seperti di pesantren manapun, semua keturunan dari Kanjeng Nabi SAW selalu mendapat perhatian dan curahan kasih yang lebih dibanding santri lain. Abah Kyai selalu bilang, “ Rasulullah sudah menitipkan semua keturunannya kepada kita, jika sedikit saja kita menyakiti perasaan mereka – samalah artinya dengan menyakiti perasaan Rasulullah SAW !’ Jadi… siapakah yang berani membuat sakit perasaan Manusia Paling Mulia di Jagat Raya ini…?

Namun… mereka yang mempunyai jalur nasab mulia itu tetaplah seperti manusia pada umumnya. Terkadang mereka pun berada di luar jalur perbuatan baik. Kelakuan – kelakuan bandel dan nakal yang tidak mencerminkan kemuliaan nasab mereka.

Hari ini, para santri Tarim ( sebutan untuk santri keturunan Habaib, red ) berkumpul di belakang gudang pangan. Apalagi kalau bukan untuk ‘ dukhon ‘ berjama’ah, ( dukhon  = merokok, red ). Mereka tidak berani terang-terangan begitu di depan para Asatidz, bisa kena ‘ ta’zir’ ( dihukum, red ) sama Dewan Guru.

Aku tahu, soalnya tadi Wong Ndeso pinjam fulus. Katanya untuk beli tembakau temanggung yang wangi dan enak. Mana mau para habib itu ‘ ngisep’ tembakau murahan. Tapi mau beli sendiri, mereka tidak punya fulus. Akhirnya… nasab yang mulia di jadikan ‘ lencana ‘ untuk meminta. Kalau mau bicara jujur, sebenarnya santri ndeso sering merasa jengkel dengan kelakuan para habib ‘ kecil ’ ini.

Apalagi santri Tarim ini terkesan sering merendahkan santri local. Yang katanya ga’ punya nasab baguslah, bukan keturunan wali-lah, sulit dapat syafaat kanjeng nabi-lah, ga’ bakal bisa jadi wali-lah, kalaupun masuk surga tapi bukan yang kelas eksekutif-lah… dan banyak lagi kemungkinan yang sepertinya hanya dipunyai mereka kaum Habaib.

Santri Ndeso tidak sendirian merasa direndahkan begitu, santri lain pun banyak yang jadi ‘ korban ‘ ejekan mereka. Tapi mau marah takut kualat sama Kanjeng Nabi SAW. Akhirnya jadi ‘ dilemma ’ tak berkesudahan. Paling-paling mereka ‘ ngedumel ’ di belakang saja.

Hari ini Habib Haikal menjadi pusat perhatian. Santri tampan dari keluarga Al-Atthas ( salah satu marga di klan Habaib, red ) tampak semangat sekali menceritakan silsilah dan keramat keluarga Al-Atthas. Beliau hapal semua nama, mulai dari jid-nya ( kakek, red ) sampai ke ujung nasab Kanjeng Nabi SAW.

Semua keramat dan amalan para leluhurnya disebut. Katanya ada Datu’nya yang hapal Qur’an dari umur 5 tahun, ada yang keramatnya bisa ‘ bersin ’ ( wahing, bahasa jawanya-red ) sejak di kandungan ibunya, ada yang bacaan sholawatnya sekian ratus ribu dalam semalam, ada Datu’nya yang bisa khatam Qur’an ratusan kali dalam semalam…. Wah…. Santri local ( keturunan Jawa, sumatera, borneo, dan andalas-red ) yang merubung dan mendengar cerita Habib Haikal hanya melongo bengong dan ta’jub.

Abis itu gantian turun Habib Faisal bin Syech Abubakar bin Salim ( Keturunan dari wali Quthub As-Sayyid Syech Abu Bakar bin Salim, shohibu ‘inad-red ) bercerita. Kata beliau, Datu’nya itu sudah di ramal bakal jadi Wali dari sebelum ada di perut ibunya, khatam kitab Ihya Ulumudin 40x, selama 40 tahun datu’nya sholat subuh dengan wudhu’ isya’, pernah ziarah ke Makam Nabiyullah Hud As sebanyak 70x, melihat dunia hanya dengan melihat telapak tangan, dan lain-lain… dan lain-lain… semua Habib ‘ kecil ‘ bergantian bercerita. Sementara asap tembakau temanggung tidak putus dari bibir.

Semua yang mendengar menjadi dan merasa sangat kerdil, sebagian merasa hampa dan menyesal tidak terlahir dari Nasab yang mulia, sebagian menjadi putus asa dari syafaat kanjeng Nabi SAW dan yang lain timbul penyesalan yang dalam akan kemampuan dirinya yang pas-pasan, rasanya putus harapan untuk menjadi ‘ kekasih ‘ Allah SWT.

Namun Sayyidina A’dhom Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wassalam, tidaklah berdiam diri melihat keturunannya mengumbar Riya dan kesombongan yang semakin menusuk. Semua kesombongan dan kemegahan nasab akan menjadi bualan tak berkesudahan sebelum mereka di sadarkan. Waktunya untuk memberi para Sadah ( Sadah adalah sebutan untuk keturunan Rasulullah SAW, red ) pelajaran yang kelak akan membuat mereka sadar.

Mendadak Santri Ndeso berdiri dari duduknya. Sikapnya tampak Agung dan berwibawa. Cahaya Ilahiyah memancar terang dari badannya. Matanya menyorot tajam kepada para Habib. Bibirnya bergetar melafadzkan asma Allah dan sholawat ‘alan-nabiyyi. Semua Santri Tarim hanya melongo, terdiam melihat pesona yang melingkupi Santri Ndeso. Tidak ada yang bersuara.

Keheningan misterius mendadak menyergap kami. “ Wahai Habib… Datu’ siapakah yang kalian ceritakan itu, betapa sangat banyak dan luar biasanya amalan mereka…? ” pertanyaan yang ditujukan kepada semua Santri Tarim.

“ Mereka adalah Datu’ – datu’ kami…! ” kata para Sadah dengan bangga.

“ Segala puji syukur bagi Allah yang tidak menjadikan mereka sebagai Datu’ – datu’ ku. Aku selalu meneladani Datu’ – datu’ ku. Apa yang mereka amalkan, aku juga mengamalkannya. Lalu siapa diantara kalian yang meneladani Datu’ – datu’ kalian…? Aku lihat kalian hanya memperbaiki Imamah dan pakaian kalian, kalian tidak menempuh jalan mereka. Dimana Maqam kalian dibandingkan dengan maqam mereka…? Andaikata mereka adalah datu’ku, sungguh… aku akan sangat malu bertemu dengan manusia…! ”

Sesungguhnya kata-kata itu keluar dari ketulusan. Ia tidak berbicara untuk menghina dan mencela. Dia hanya menyampaikan sebentuk Ilham Ilahiyah dan Mahabbah Rasulullah bagi para Muhibbin. Semua terdiam… para Santri Tarim tidak ada yang bersuara.

Hening… sepi… senyap.

Hilang semua kata untuk menyanggah. Lenyap semua kesombongan. Yang pertama terdengar suaranya adalah Habib Haikal, lebih tepat adalah sebuah isak tangis. Matanya memerah, seluruh anggota badannya bergetar, seperti menahan beban yang luar biasa berat. Isakan berubah menjadi tangisan tak bersuara.

Para Sadah tersadarkan…. semua membenarkan. Santri Tarim menangis. Tangisan rindu dari anak keturunan yang Mulia, tangisan rindu untuk Datu’ mereka rasulullah SAW. Tangisan janji untuk kembali meneladani jejak suci para Auliya…. mereka pun berjanji… hati mereka berjanji… semua karna si ndeso.

Begitulah… sejak hari itu, para Sadah yang muqim di pondok ini berubah. Mereka menjadi teladan bagi kami. Kesungguhan, kebulatan tekad, keberanian dan kemuliaan mereka adalah menjadi milik kami juga…  Marhaban Yaa Rasulullah…Marhaban Yaa nurul ‘aini… marhaban Yaa Jaddal Huseini... Allahummas-turni bi sitrikal Jamiil.

No comments:

Post a Comment

Perintah Kaisar Naga : 4340 - 4345

 Perintah Kaisar Naga. Bab 4340-4345 "Kalau begitu kamu bisa meminta bantuan Pangeran Xiao. Agaknya, Keluarga Qi tidak bisa lebih kuat ...