Pernah suatu hari, Kiai Kholil
Bangkalan naik dokar umum yang ditarik seekor kuda. Baru berjalan beberapa
meter secara sambil lalu Kiai Kholil bertanya kepada kusir dokar.
“ Pak kusir, kuda sampean yang
bagus ini dari mana…? ” ucap Kiai Kholil sambil melihat kuda yang mulai lari. “
Dari Bima.” jawab pak kusir. Mendengar jawaban itu, beliau teringat salah satu
gurunya ada yang berasal dari Bima. Serta merta Kiai Kholil minta berhenti,
lalu segera membayar ongkos, padahal beliau belum sampai tujuan. Kiai Kholil
berbuat demikian karena menaruh hormat kepada gurunya yang berasal dari Bima.
Sejauh itu rasa ta’dzim
ulama-ulama kita.
Imam Nawawi Damaskus berulang
kali diajak makan bersama dalam satu nampan oleh Syaikh Kamal Al Irbili,
gurunya. Namun Imam Nawawi selalu menolak dengan halus dengan menjawab, “ Maafkan
saya tidak bisa memenuhi ajakan anda. Saya punya suatu alasan yang bersifat
syar’i. ” Santri-santri yang lain merasa heran dengan sikap Imam Nawawi.
Diperintah gurunya diajak makan berdua, justru menolaknya. Didorong rasa
penasaran, ada satu orang yang bertanya,
“ Apa alasan bersifat syar’i yang
kamu maksud…? ” “ Aku khawatir guruku sudah menghendaki pada suatu makanan yang
akan beliau ambil untuk dimakan, namun aku mendahului beliau memakannya. Dan
aku tidak menyadari hal itu. ” jawab Imam Nawawi.
Imam Nawawi sangat menjaga diri
untuk tidak melakukan hal-hal kecil yang dapat menyinggung perasaan
guru-gurunya. Setiap Imam Nawawi berjalan menuju tempat mengaji di hadapan
gurunya, beliau bersedekah kepada orang yang ditemuinya. Selama di dalam
perjalanan itu, Imam Nawawi selalu mengulang doa:
“ Ya Allah tutuplah aib guruku
dari mataku, sehingga aku tidak melihat kekurangan pada diri guruku. Dan jangan
sampai ada seorang pun yang memberitahukan aib guruku. ” Beliau khawatir jika
mengetahui kekurangan gurunya akan mengurangi rasa hormat beliau pada gurunya.
· Dikutip dari biografi Kiai Kholil Bangkalan dan
kitab Lawaqihul Anwar nya Syaikh Abdul Wahab Asy Sya’rani.
No comments:
Post a Comment