Zaman-zaman saya jadi wali kelas
sebenarnya paling mumet adalah saat mengisi nilai raport, karena saya termasuk
guru yang tidak betah duduk lama. Namun demikian saya sangat menikmati saat
mengisi kolom 'catatan wali kelas'. Biasanya kebanyakan wali kelas mengisinya
dengan simpel, kan. Seperti :
' Tingkatkan belajarmu '
' Pertahankan prestasimu '
'Dan lain-lain'
Lalu saya iseng menulis sebuah
deskripsi berisi tentang kelebihan siswa. Misal :
'Kamu anak yang cerdas, punya keingintahuan
yang luar biasa, jika kamu bisa memanfaatkannya dengan baik suatu hari
kelak kamu akan menjadi pribadi yabg sukses.'
'Kamu anak yang aktif, suka
hal-hal yang baru dan tidak pernah bisa diam itu menunjukkan kamu anak yang
enerjik ( ini untuk anak yang selalu ribut dan suka berkeliaran di kelas ).
'Kamu anak yang sopan, baik dan
pandai menjaga perasaan teman terutama guru' ( biasanya anaknya pendiam ).
'Kamu anak paling rapi dan
bersih. Ibu dan teman-temanmu sangat menyukaimu karena hal itu.'
Dan masih banyak
catatan-catatan lain yang saya sesuaikan dengan kepribadiannya
masing-masing. Tidak sulit menuliskan kelebihannya sebab setiap anak memang
punya kelebihan masing-masing, sebandel-bandelnya anak, kalau kita mau jujur
pasti punya kelebihan.
Bahkan saya pernah punya anak
didik perempuan yang omongannya kasar, hampir tiap hari melawan guru, jarang
hadir, suka bolos, jangan tanya soal kemampuan belajar. Hasilnya hampir nol.
Pokoknya hampir sulit mengungkapkan apa kelebihannya. Mungkin satu-satunya
hanya ia terlihat cantik. Mirip Acha septriasa. Lalau saya tulis :
'Kamu anak yang cantik. Mirip
artis Acha Septriasa. Ibu sangat mengidolakannya. Semoga ibu pun bisa
mengidolakanmu sebagai siswa yang mampu berhasil seperti Acha di suatu hari
kelak.'
Hasilnya…?
Mereka senyum-senyum GR
membacanya. Karena mereka tahu itu jujur tentang mereka. Yang pintar, yang
(maaf) mungkin sering kita bilang bodoh, yang baik, yang bandel, yang pendiam
semuanya tampak bahagia membaca ada dua baris kalimat pengakuan tentang diri
mereka. Saya tidak dengar ada yang bahas nilai matematika, bahasa inggris dan
lain-lain. Semua sibuk saling bertanya:
" Apa yang ibu tulis untukmu…?
"
" Catatan kamu apa isinya…? "
" Cieee, kamu dibilang anak
yang pemurah hati dan gak pelit. Tapi bener sih. Kamu selalu kasih minjam tipex
ke aku. "
Bahkan anak yang usil berkata:
"Ah, ibu wali kelas bohong
tuh bilang kamu baik. Baik darimana, dari Hongkong? Perasaan kamu paling bandel
di kelas."
"Enak aja, emang aku
sebenarnya baik kok, tapi tergantung gurunya."
Lalu di semester dua karena waktu
mepet saya tidak sempat menuliskan deskripsi kelebihan mereka lagi. Saya pikir
biasa aja. Tahu-tahu semua protes.
"Bu, kok gak ada catatannya…?
"
"Ah, gak seru Bu. Enam bulan
aku cuma mau nunggu itu."
Bahkan yang juara satu berkata:
"Yaaah, padahal itu yang aku
tunggu-tunggu, Bu. Kalau nilainya sih udah bosan lihatnya. Dan segitu-gitu aja.
Kami kumpul lagi ya Bu raportnya, biar ibu isi catatannya."
Saya kaget. Di semester lalu saya
cuma iseng. Ternyata anak-anak meresponnya lebih dari sekedar yang saya
bayangkan. Mereka menginginkannya.
Akhirnya saya mulai berpikir dan
mengambil kesimpulan sendiri bahwa anak-anak lebih membutuhkan sebuah pengakuan
tentang diri mereka daripada sebuah nilai. Mereka butuh pujian yang jujur.
Saya justru takut selama ini
anak-anak didik saya sebenarnya haus akan sebuah pengakuan hal baik tentang
diri mereka. Sejak itu setiap jadi wali kelas selalu saya tuliskan tentang
kelebihan mereka. Dan reaksi semua murid selalu sama. Tampak bahagia. Senang.
Dan bangga.
Bahkan saya mulai menerapkannya
tidak hanya di catatan raport, tapi sebisa mungkin di setiap penilaian soal.
Atau dalam interaksi sehari-hari. Semisal lebih banyak mengajak mereka ngobrol
(di luar dari pelajaran) lalu diselipkan pengakuan-pengakuan kebaikannya.
Misal:
"Eh, serius lho, Ibu paling
suka tiap kali lihat kamu habis jajan sampahnya langsung di taruh ke tong
sampah."
"Entah kenapa Ibu kok bangga
ya punya murid kayak kamu yang suka meminjamkan pulpen sama Tipe-X ke
teman-teman. Pasti kamu nanti akan jadi orang yang penolong."
"Ya ampuuun, suara kamu lagi
teriak di kelas merdu banget. Mau gak Ibu angkat jadi semacam Jubir Ibu. Jadi
nanti kalau ada apa-apa yang mau Ibu sampaikan, kamu yang menyampaikannya ke
teman-temanmu."
(Untuk hal seperti ini, suruh
yang paling ribut dan gak mau diam. Sehingga si anak merasa dipercaya mampu
melakukan sesuatu sesuai kemampuannya).
Banyak lagi yang lain. Masalahnya
terkadang kita terlanjur sewot dan dongkol sama anak yang bandel, hingga ogah
rasanya mau muji-muji. Jangan, Bu. Mereka punya porsi yang sama untuk kita
senangi. Punya hak yang sama untuk disayangi.
Saya tidak tahu apa tindakan ini
sesuai dengan aturan administrasi kurikulum atau tidak. Atau mungkin juga banyak
guru yang sudah melakukan hal serupa.
Hal ini sebenarnya tidak hanya
bisa diterapkan oleh seorang guru pada murid. Orangtua kepada anak juga bisa.
Terutama ibu yang banyak berinteraksi dengan anak. Yuk mari yuuuuk ... kita
lebih membuka diri membaca kelebihan sang anak dan tidak gengsi mengakuinya.
Tidak melulu membicarakan kelemahan mereka. Kelebihan di sini bukan semata-mata
tentang prestasi ya, Bu. Melainkan cenderung ke sifatnya sehari-hari.
No comments:
Post a Comment