“SEORANG suami,” demikian kata Ibnu
Hazm, “wajib menjima istrinya sekurang-kurangnya satu kali dalam sebulan. kalau
tidak, berarti ia durhaka terhadap Allah.”
Jika Ibnu Hazm berbicara tentang
kewajiban berjima bagi suami istri, Imam Al Ghazali menjelaskan mengenai
kepatutannya.
“Sepatutnya suami menjima istrinya pada
setiap empat malam satu kali. Ini lebih baik…” kata ulama bergelar hujjatul
Islam itu. Namun, Al Ghazali tidak memaknai batasan itu secara kaku. “Bahkan
sangat bijaksana kalau lebih dari sekali dalam empat malam, boleh pula kurang
dari itu, sesuai kebutuhan istri.”
Lalu jika perlu memilih hari dalam
berjima, adakah keutamaan malam Jum’at dibandingkan malam-malam lainnya..?
Dalam hal ini, hadits yang sah dijadikan
rujukan adalah riwayat Tirmidzi nomor 496, An-Nasai 3/95-96, Ibnu Majah nomor
1078, dan Ahmad 4/9. Hadits-hadits itu senada, yang terjemahnya sebagai
berikut:
“Barangsiapa (yang menggauli istrinya)
sehingga mewajibkan mandi pada hari Jum’at kemudian diapun mandi, lalu bangun
pagi dan berangkat (ke masjid) pagi-pagi, dia berjalan dan tidak berkendara,
kemudian duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama tanpa sendau
gurau, niscaya ia mendapat pahala amal dari setiap langkahnya selama setahun,
balasan puasa dan shalat malam harinya,” (HR. Tirmidzi, An-Nasa’i, Ibnu Majah
dan Ahmad)
Subhanallah, dari hadits tersebut
tergambar betapa besarnya balasan pahala bagi orang yang melakukannya. Yakni “bercinta”,
mandi, bangun pagi, berangkat awal ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at,
duduk dekat imam dan mendengarkan khutbah dengan seksama.
Pahala dalam hadits ini diberikan
kepada orang yang melakukan paket enam amal itu, tidak terpisah-pisah. Namun
demikian, tergambarlah keutamaan “bercinta” di malam Jum’at.
Memang ada yang berpendapat bahwa
sunnah dalam hadits tersebut adalah “bercinta” pada hari Jum’at (pagi),
mengingat mandi Jum’at itu dimulai setelah terbit fajar di hari Jum’at. Namun
yang lebih populer adalah “bercinta” di malam Jum’at, sedangkan mandinya bisa
saja saat terbit fajar sebelum menunaikan Shalat Shubuh berjama’ah.
Abu Umar Basyir di dalam bukunya Sutra
Ungu menambahkan, “Di negara yang menerapkan libur pada hari Jum’at, tentu
tidak masalah jika seseorang ingin berhubungan seks pada hari itu.
Lalu bagaimana di negara yang
menetapkan hari Jum’at sama seperti hari-hari kerja lainnya..?
Bagaimanapun, hukum sunah tetap saja
sunah. Jadi itu hanya soal kesempatan melakukannya saja.
Jika mampu dilakukan, Insya Allah
membawa berkah. Di situlah, manajemen waktu berhubungan seks menjadi perlu
diatur. Karena itu bisa saja dilakukan menjelang subuh, atau sesudah shalat
Subuh. Tiap pasutri tentu lebih tahu mana saat yang paling tepat.” Wallaahu a’lam
bish shawab.
[Maraji': Fiqih Sunnah karya Sayyid
Sabiq, Kitab Fadhail A’mal karya Ali bin Muhammad al Maghribi dan Sutra Ungu
karya Abu Umar Baasyir]
No comments:
Post a Comment