Tsa’labah
bin Hathib Al-Anshari
Tsa’labah
adalah seorang lelaki kaum Anshar yang bergabung dengan kaum muslimin setelah
kedatangan Rasulullah SAW yang berhijrah ke Madinah.
Dia seorang
muslim yang taat dan menjauhi semua yang haram. Shalat Jumat dan shalat
berjamaah tak pernah ditinggalkannya, kecuali karena terpaksa, seperti sakit
atau bepergian (safar). Dia selalu mencontoh dan mendengarkan nasihat Nabi saw.
Akan tetapi, kondisi ekonominya sangat buruk; miskin dan papa. Kefakiran
menggilasnya bak penggiling gandum.
Ya,
kemiskinan memang tak punya belas kasihan dan selalu membuat manusia cemas.
Jika kepapaan telah melepas anak panahnya, itu pasti mengena. Dan kalau telah
menancap, ia akan membunuh!.
Benar, anak
panah kemiskinan telah menancap di hati Tsa’labah; mengendalikan pikiran dan
menguasai panca-indranya. Setiapkali berdiri dari duduk, yang dipikirkan
hanyalah nasib buruk yang menimpannya. Saat tidur, dia selalu mengalami mimpi
buruk tentang kefakiran yang mengkhawatirkan. Jika terbangun, itu lantaran
suara bising kefakiran yang mengganggu dan membangunkannya. Begitulah…. Segenap
upayanya ditujukan pada bagaimana mengatasi krisis berat yang menimpannya.
Di hari yang
baik, ketika mentari tak pernah terbit seindah hari itu, kedua tangan Tsa’labah
sangat mendamba kunci-kunci perbendaharaan dunia. Bagi Tsa’labah, hari itu akan
sangat bersejarah. Karena, dia akan meraih harta yang tak akan menjadikannya
miskin untuk selamanya. Harta itu adalah doa Rasulullah saw, yang menghantarkan
kunci-kunci kekayaan padanya dan menutup pintu-pintu kefakiran darinya. Hari
itu, dia menemui Rasulullah saw dan berkata, “Wahai Rasulullah saw, berdoalah
kepada Allah agar Dia memberiku harta”.
Rasulullah
saw menoleh dan menatapnya. Nabi saw melihat masa depan dan keadaan dirinya
apabila telah kaya. Beliau menjawab dengan kata-kata yang mendatangkan kebaikan
dan kebahagiaan baginya, “Wahai Tsa’lbah, yang sedikit tapi kau syukuri itu
lebih baik dari pada yang banyak namun kau tak mampu mensyukurinya”.
Apabila
seorang Nabi saw menolak, itu pasti mengandung ‘inayah baginya. Sementara
Tsa’labah, dengan keterbatasan daya, semestinya mensyukuri apa yang ada. Itu
lebih baik ketimbang harta melimpah tetapi tak mampu di syukurinya. Wahai
Tsa’labah, jika engkau menjadi kaya dan kekayaanmu bertambah, lalu engkau
menumpuk harta, maka engkau akan dituntut untuk mengeluarkan zakat, khumus, dan
sedekah. Meski hanya sebagian kecil yang akan dikeluarkan, apakah engkau akan
tahan dengan penurunan angka material sebagai ganti peningkatannya?!
Rasulullah
saw telah membaca jiwa-jiwa tamak yang mendambakan tambahan angka dalam harta
dan tak rela dengan penguranganya. Apapun alasannya, baik untuk kebutuhan
primer maupun untuk kewajiban, mereka akan menolak bila harta itu dikurangi
walau sedikitpun. Nabi saw dapat membaca masa depan Tsa’labah; dia akan
menyimpang dan binasa jika menjadi kaya. Karena itu, Nabi saw menolak
permintaannya dengan penolakan yang bermanfaat. Namun, tampaknya Tsa’labah cuma
memikirkan kepentingan diri. Kesedihan menggerogoti jiwa dan melukai hatinya.
Tsa’labah pulang dengan perasaan kalah. Asa yang berkecamuk dalam dirinya dan
melahirkan khayalan menjadi kaya, pupus sudah.
Namun,
lonceng-lonceng kemiskinan terus berdentang tak kenal henti. Kebutuhan
mendesaknya untuk berpikir dan mendorongnya untuk kembali menjemput bola
harapan. Jika sekali ditolak, mungkin yang kedua atau ketiga akan berhasil.
Dengan terus mengulang permohonan, mungkin akhirnya akan diperkenankan dan
pintu akan terbuka. Tsa’labah seakan mengenal betul kaidah yang menyatakan,
“Siapasaja yang mengetuk pintu dengan keras, pasti akan dibukakan untuknya”.
Karena itu
dia ingin mempraktikkan kaidah tersebut dalam hajatnya. Dia berniat kembali
mendatangi Rasulullah saw dan meminta seperti hari-hari sebelumnya, “Wahai
Rasulullah saw, berdoalah kepada Allah agar Dia memberiku harta! Demi zat yang
telah mengutusmu, jika Allah memberiku harta, pasti kutunaikan hak semua orang
yang berhak mendapatkannya!”.
Rasulullah
saw menghendaki kebaikan bagi Tsa’labah. teladan adiluhung yang ingin beliau
sampaikan padanya adalah barangkali saja dia akan sadar dan dapat berpikir
positif; jika Rasulullah saw tak mendoakannya, itu demi kebaikan dan
kebahagiaan dirinya. Nabi saw berkata, “Tak senangkah engkau menjadi seperti
utusan Allah? Demi Dzat Yang Menguasai diriku, apabila aku ingin agar gunung
berubah menjadi emas dan perak untukku, niscaya itu akan terjadi!”.
Hai
Tsa’labah, inilah utusan Allah dan hamba yang paling dekat dengan-Nya.
Rasulullah saw telah melepas dunia dan seisinya serta mengharapkan akhirat dan
apa yang ada di sisi Allah. Tak sudikah engkau menjadi seperti dia dan berjalan
di atas sirah dan sunnahnya?!. Tetapi, Tsa’labah kembali membayangkan momok
kemiskinan yang bersarang di benaknya serta mengingat kembali
kesengsaraan-kesengsaraannya. Dia selama ini selalu hidup susah dan menderita.
Puaskah dia dengan jawabah Nabi saw? Relakah dia? Tidak! Dia tak merasa puas
dan rela. Maka, dia pun datang lagi meminta doa kepada nabi saw agar diberi
rezeki, dengan janji bahwa dia akan menunaikan hak-hak para pemiliknya.
Nabi saw
mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah, berikanlah harta kepada
Tsa’labah”. maka, terbukalah ijabah bagi Rasulullah saw. Kata-katanya merobek hijab-hijab.
Allah mengabulkan doa itu dan (seolah) berkata kepada Tsa’labah, “Ambillah! ini
pemberian kami”.
Diapun
membeli seekor domba sebagaimana tradisi arab. Lalu, domba itu pun bertambah
jumlahnya, bak ulat yang berbiak. Domba yang sedikit kini melipah, bahkan
Madinah tak cukup luas lagi bagi Tsa’labah. Untuk mengatasi “anugrah Ilahi”
ini, dia terpaksa menjauh dari Madinah dan mencari lembah terdekat sebagai
tempat tinggal bagi domba-dombanya. Kini, dia jauh dari shalat berjamaah di
belakang Rasulullah saw kecuali zuhur dan asar. Inilah awal kemerosotan dalam
praktik ibadah dan langkah awal menuju kelemahan dalam akidah.
Setelah
sekian waktu, lembah itupun dipenuhi oleh domba-domba tsa’labah karena
pertumbuhannya yang pesat. Dia pun semakin jauh dari Madinah dan terputus dari
shalat di belakang Rasulullah saw, kecuali hari Jumat saja. Hari lain, dia
sibuk mengurus dan menjaga domba-dombanya.
Allah terus
memberinya lebih banyak lagi dan lebih banyak lagi. Kini, dia berada jauh
ditengah gurun, di belakang domba-dombanya, sehingga untuk hari Jumat pun tiada
waktu luang. Dia cukup bertanya kepada para kafilah yang melintas tentang kabar
dan keadaan Rasulullah saw serta penduduk Madinah.
Suatu hari,
Rasulullah saw memandangi kaum muslimin namun tak melihat Tsa’labah. Beliau
bertanya kepada mereka, “Apa yang dilakukan Tsa’labah?”
“Wahai
Rasulullah saw, dia memelihara domba sehingga Madinah menjadi sempit bagi
domba-domba itu”, jawab reka. Kemudian, orang-orang bercerita tentang dirinya.
Rasulullah saw berteriak, “Celaka Tsa’labah!” Kalimat itu berulang hingga tiga
kali dari lisan Nabi saw, sebagai peringatan akan bahaya yang menimpanya.
No comments:
Post a Comment