Oleh: KH. A. Mustofa Bisri
Kejadian ini mula-mula aku anggap biasa, tapi setelah berulang
sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Sudah lima-enam kali kejadian itu,
jadi sudah cukup alasan untuk tidak menganggapnya sesuatu yang kebetulan. Di
bulan bulan tertentu, sebagai mubalig, aku harus keliling ke daerah-daerah,
memenuhi permintaan mengisi pengajian.
Bulan Muharram memberi pengajian dalam rangka memperingati
Tahun Baru Hijriah. Bulan Mulud, Rabi’ul Awal, dalam rangka peringatan Maulid
Nabi Muhammad SAW. Bulan Rajab, dalam rangka Israk Mikraj. Bulan Sya’ban,dalam
rangka Haflah Akhir Sanah atau Ruwahan. Bulan Ramadan, dalamrangka Nuzulul
Qur’an. Bulan Syawal dalam rangka Halal –bi-Halal.
Belum lagi pengajian-pengajian dalam rangka Walimah
Perkawinan, Khitanan, dan lain sebagainya. Capek juga.
Kadang-kadang ingin sekali aku menghentikan kegiatan yang
menguras energi ini. Bayangkan, seringkali aku harus menempuh jarak ratusan
kilometer dan tidak jarang lokasi pengajian sulit ditempuh dengan kendaraan
roda empat, hanya untuk berbicara sekitar satu jam. Kemudian setiap kali pulang
larut malam, galibnya menjelang Subuh baru sampai rumah.
Tentu saja tak pernah ada yang menyambut kedatanganku,
anak-isteri masih tidur.Kalau pengajian-pengajian itu jelas pengaruhnya pada
jamaah sih tidak masalah. Ini tidak. Pengajian-pengajian yang begitu intens dan
begitu tinggi volumenya itu sepertinya hanya masuk kuping kanan dan langsung keluar
lagi dari kuping kiri.Tak membekas.
Buktinya mereka yang bakhil ya tetap bakhil, yang hatinya
kejam ya tetap kejam, yang suka berkelahi dengan saudaranya ya masih tetap
berkelahi, yang bebal terhadap penderitaan sesama juga tidak kunjung menjadi
peka, yang suka menang-menanganya tidak insaf.
Pendek kata, seolah-olah tidak ada korelasi antara pengajian
dengan mental mereka yang diberi pengajian. Kadang-kadang aku berpikir, apakah
masyarakat kita ini suka pengajian hanya seperti hobi saja. Kelangenan.
Mungkin juga karena mubalig sering mengemukakan besarnya
pahala mendatangi pengajian tanpa lebih jauh menjelaskan makna “menghadiri
pengajian” itu.
Jadi, orang menghadiri pengajian “sekedar” cari pahala. Yang
penting hadirnya, tak perduli hadir terus tidur, melamun, ngobrol sendiri, atau
hanya menikmati kelucuan dan “keberanian” mubalignya.
Kok tidak ada ya yang mensurveikejadian ini, misalnya meneliti
sejauh mana pengaruh ceramah agama terhadap perilaku masyarakat yang menerima
ceramah, pengaruh positifnya apa, negatifnya apa, dan sejauh mana peranannya
dalam memperbaiki mental masyarakat…? Tapi baiklah. Biarkan aku bercerita saja
tentang penglamanku.
Mula-mula kejadian yang kualami aku anggap biasa. Tapi setelah
berulang sampai lima-enam kali, aku jadi kepikiran. Biasanya setiap selesai
memberi pengajian selalu saja aku harus melayani beberapa jama’ah yang ingin
bersalaman denganku. Pada saat seperti itu, sehabis memberi pengajian di satu
desa, ada seseorang yang memberi salam tempel, bersalaman sambil menyelipkan
amplop berisi ke tanganku.
Pertama aku tidak memperhatikan, bahkan aku anggap orang itu
salah satu dari panitia. Setelah terjadi lagi di daerah lain yang jauh dari
desa pertama, aku mulai memperhatikan wajah orang yang memberi salam tempel
itu.
Pada kali-kali lain setelah itu, di tempat-tempat yang berbeda
dan berjauhan, kulihat memang yang memberi salam tempel orangnya yaitu-itu
juga.
Orang yang selalu memakai baju hitam-hitam. Wajahnya yang bersih
dan senyumnya yang misterius itu kemudian terus membayang. Dia selalu hanya
mengucapkan salam, tersenyum misterius, dan bersalaman sambil menyelipkan
amplop. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Amplopnya selalu sama. Buatan sendiri dan berwarna abu-abu.
Jenis warna kertas yang aku kira jarang ada di desa-sesa. Aku tak habis pikir,
bagaimana orang itu bisa selalu ada dalam pengajian yang tempatnya berjauhan.
Aku bukanlah mubalig kondang yang setiap tampil di pengajian
diberitakan pers. Bagaimana orang itu bisa hadir ketika aku mengisi pengajian
di sebuah dusun terpencil di Jawa Timur dan hadir pula di pengajian yang dilaksanakan
di sebuah desa di ujung barat Jawa Barat, lalu hadir pula ketika di luar Jawa…?
Darimana dia mendapat informasi?
Atau dia selalu membuntutiku?
Tidak mungkin. Musykil sekali.
Setiap kali aku mendapat “amplop”, dari mana atau dari siapa
saja, aku tidak pernah membukanya. Langsung aku berikan isteriku.
Aku tak ingin hatiku terpengaruh oleh isinya yang mungkin
berbeda-beda satu dengan yang lain, lalu tumbuh penilaian berbeda terhadap
pihak –pihak yang memberi amplop.
Apalagi jika kemudian membuatku senang dan selalu mengharap
menerima amplop. Na’udzu billah. Namun setelah enam kali berjumpa dengan lelaki
berpakaian hitam-hitam itu, tiba-tiba aku ingin sekali mengetahui isi amplop
amplopnya yang diselipkannya di tanganku setiap usai pengajian-pengajian itu.
“ Bu, kau masih menyimpan amplop-amplop yang kuberikan
kepadamu…?” aku bertanya kepada isteriku.
“Sebagian masih” jawab isteriku, “sebagian sudah saya pakai
mengamplopi sumbangan-sumbangan yang kita berikan kepada orang.”
“Coba kau bawa kemari semua!"
Isteriku memandangiku agak heran, tapi dia beranjak juga
mengambil amplop-amplop bekas yang ia simpan rapi di lemari pakaiannya.
“Banyak juga,” pikirku sambil menerima segepok amplop yang
disodorkan isteriku.
Isteriku memandangiku penuh tanda tanya saat aku mengacak-acak
amplop-amplop itu seperti mencari sesuatu.
“Ini dia!” kataku, membuat isteriku tambah heran.
Aku menemukan amplop-amplop persegi empat berwarna abu-abu
yang kucari, lima buah jumlahnya.
“ Lho, yang seperti ini Cuma ini, Bu…? Hanya lima…? ”
“Ya nggak tahu,” sahut isteriku.
“Memangya ada berapa….? Setahuku ya cuma itu.
Aku tidak mengusutnya lebih lanjut, mungkin justru aku yang
lupa menghitung pertemuanku dengan lelaki misterius itu, lima atau enam kali.
Aku memperhatikan dengan cermat lima amplop abu-abu itu.
Ternyata di semua amplop itu terdapat tulisan berhuruf Arab
kecil-kecil, singkat-singkat, dan masing-masing ada tertera tanggalnya.
“Ada apa, Pak…?” Tanya isteriku tertarik sambil duduk di
sampingku.
Aku tak menghiraukan pertanyaannya. Aku mencoba mengurutkan
tanggal-tanggal di lima amplop itu.
Kemudian membaca apa yang tertulis di masing-masing amplop
secara berurutan sesuai tanggalnya. Aku kaget. Semuanya justru nasihat untukku
sebagai mubalig yang biasa mensihati orang.
Aku pun menyesal mengapa amplop-amplop itu tidak aku buka pada
waktunya. Amplop pertama kubaca :
“ ‘Ud’uu ilaa sabiili Rabbika bilhikmati walmau’izhatil hasanah
(Ajaklah orang ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan nasihat yang baik).” Genuk, Semarang, 8 Juli 2001.
”Amplop kedua : “ Sebelum Anda menasihati orang banyak, sudahkah Anda
menasihati diri Anda sendiri….? ” Cilegon,
11 Juli 2001.
”Amplop ketiga : “Amar makruf dan nahi munkar seharusnya disampaikan dengan
cara yang makruf juga.” Beji, Tuban,
10 September 2001.
”Amplop keempat : “ Yasirruu walaa tu’assiruu..! ( Berikan yang mudah-mudah dan
jangan mempersulit..! ). “ Duduk,
Gresik, 4 Januari 2002.
Dan amplop kelima : “ Ya ayyuhalladziinaaamanu lima taquuluuna malaa taf’aluun..!
( Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang kau
sendiri tidak melakukannya…?.Besar sekali kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan sesuatu yang kau sendiri tidak melakukannya…! ).” Batanghari,
Lampung Timur, 29 April 2002.
”Aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang pernah aku ceramahkan
di tempat-tempat di mana aku menerima amplop-amplop itu. Ternyata aku tidak
bisa mengingatnya. Bahkan aku tidak ingat apa saja yang aku bicarakan pada kesempatan-kesempatan
lainnya.”
Ternyata aku lupa semua yang pernah aku katakan sendiri.
Ah….Siapapun orang itu—atau jangan-jangan malaikat—aku merasa berutang
budi. Sebagai mubalig, pekerjaanku hanya memberi nasihat.
Jadi memang jarang sekali aku mendengarkan nasihat.
Aku sungguh bersyukur ada yang menasihatiku dengan cara
begitu, sehingga sebagai mubalig, aku tidak perlu kehilangan muka.
Aku jadi mengharap mudah-mudahan bisa bertemu lagi dengan
lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah bersih itu di pengajian-pengajian
mendatang.
“ Kau masih ingat isi dari amplop-amplop ini…? ” tanyaku pada
isteriku yang masih seperti bingung memperhatikanku.
“ Siapa yang tidak ingat isi amplop-amplop itu…?
Kalau yang lain mungkin aku lupa. Tapi amplop-amplop warna
abu-abu itu aku tidak bisa lupa. Soalnya semua isinya sama, selalu dua ratus
ribu rupiah.
Malah semuanya masih saya simpan. “ Masih kau simpan…? ”
kataku kaget campur gembira.
“ Jadi semuanya masih utuh….? Berarti semuanya ada satu juta
rupiah…? ”
“ Ya, masih utuh. Wong aku tidak pernah mengutik-utik uang
itu. Rasanya sayang, uangnya masih baru semua, seperti baru dicetak. Aku simpan
di bawah pakaian-pakaianku di lemari,” ujar isteriku sambil beranjak ke
kamarnya, mau mengambil uang yang disimpannya.
Aku menunggu tak sabar. Tak lama kemudian tiba-tiba,
“Paaak!” Terdengar suara isteriku berteriak histeris.
“Lihat kemari, Pak!”
Aku terburu-buru menghambur menyusulnya ke kamar.
Masya Allah.
Kulihat lemari pakaian isteriku terbuka dan dari dalamnya
berhamburan uang-uang baru seratus ribuan, seolah-olah isi lemari itu memang
hanya uang saja. Isteriku terpaku dengan mata terbelalak seperti kena sihir,
melihat lembaran-lembaran uang yang terus mengucur dari lemarinya.
Dalam takjubku, aku sendiri masih melihat sebuah amplop
abu-abu ikut melayang di antara lembaran-lembaran uang itu. Aku segera
menangkapnya
Nah, ini dia yang satu lagi. Jadi benar hitunganku, enam kali
aku bertemu lelaki itu. Ini amplop keenam.Tanpa mempedulikan istriku yang masih
bengong memandangi lembaran-lembaran uang yang berterbangan, aku amati amplop
itu seperti mengamati amplop-amplop lainnya tadi.
Dan ternyata di sini juga terdapat tulisan Arab kecil-kecil.
Isinya, “ Wamal Hayaatud Dun-ya illa mataa’ul ghurur…! ( Kehidupan
duniawi itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan…! ). Arafah, 9
Dzulhijjah 1418.
” Tidak seperti amplop-amplop lainnya, yang satu ini juga ada
tertera nama dan tanda tangan, “Hamba Allah, Khidir !”
Tahun 1418 aku memang naik haji, tapi aku tidak ingat pernah
bertemu lelaki berpakaian hitam-hitam dan berwajah jernih itu.
Rasanya di Arafah semua orang berpakaian putih-putih.
Subhanallah ........
Disadur dari buku beliau, Kumpulan Cerpen "Lukisan
Kaligrafi"
No comments:
Post a Comment