Zaman dahulu, para Raja Jawa diangap setara dewa oleh
masyarakatnya. Selain kekuasaan, di
tangan raja kemakmuran maupun kemiskinan ditentukan. Bahkan kejadian bencana
alam pun kerap dikaitkan dengan keberadaan sang raja.
Dalam bukunya 'Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh
Raja-Raja Mataram' (Yogyakarta, 1987), G. Moedjanto menuliskan hal itu.
Meski bukunya spesifikasinya hanya bercerita tentang dinasti
kerajaan Mataram, namun dia memberi gambaran perihal kekuasaan raja-raja Jawa.
"Dalam kekuasaan tidak ada persaingan, tidak
terkotak-kotak atau tidak terbagi-bagi dan bersifat menyeluruh. Kekuasaan
rajaseperti kekuasaan dewa, yang agung dan binathara," begitu Moejdanto
menulis dalam bukunya.
Dalam berbagai literatur, raja-raja khususnya di Jawa identik
dengan banyaknya selir. Masing-masing raja jumlah selirnya bisa sampai belasan,
bahkan puluhan. Selir-selir itu juga jadi semacam simbol bagi kuasanya sang
raja kala memerintah kerajaannya. Selir itu bisa dikatakan perempuan-perempuan
yang terikat hubungan dengan raja tanpa status pernikahan. Karena keterikatan
itu, selir juga harus melayani raja dalam segala hal yang menyenangkan,
termasuk urusan di atas ranjang.
Soal urusan di atas ranjang, tentu banyak yang heran bagaimana
para raja Jawa dulu mampu perkasa dalam urusan bercinta dengan selir-selir yang
sampai berjumlah puluhan. Misalnya Raja Kasunanan Surakarta (Solo), Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan (SISKS) Pakubuwono X.
Raja Kasunan Surakarta yang memerintah tahun 1893-1939 itu
konon memiliki 40 sampai 45 orang selir. Sejumlah literatur menyebutkan,
Sinuhun Pakubuwono X mampu mengatur waktu ketika berhubungan intim dengan para
selirnya itu.
Ternyata, rahasia keperkasan ala raja Jawa di atas ranjang
salah satunya pada " ramuan khusus ".
Ramuan itu yang digunakan para raja Jawa untuk menggauli para
selirnya yang sampai puluhan orang tersebut. Ramuan itu merupakan minuman yang
harus diminum secara rutin setiap hari. Ramuan itu campuran dari 40 butir
merica, 40 lembar daun sirih, dan 40 bawang lanang yang dihaluskan bersama
menggunakan layah dari batu. Usai dihaluskan, lalu direbus dan disaring.
Selanjutnya air hasil penyaringan itu diembunkan semalaman.
Pagi harinya air itu diminum. Begitu terus setiap hari. Selain ramuan, para
raja Jawa juga memegang ilmu Asmaragama sebagai pedoman dalam bercinta.
Aji Asmaragama itu dibeberkan oleh Dhamar Sasangka dalam
bukunya 'Gatholoco, Rahasia Ilmu Sejati dan Asmaragama' (Jakarta, 2013).
Tak cuma soal gaya bercinta, dalam Amaragama juga terdapat
sejumlah ajaran cinta yang memiliki filosofi Jawa.
Pertama, Asmaratantra. Ajaran ini mengajarkan pada pasangan
suami istri, saat mau bercinta harus ada perasaan berbeda saat saling
bersentuhan. Saat itu, pasangan suami istri harus ada getaran di hati
masing-masing, misalnya saat berciuman. Getaran itu harus tetap ada dan
dipertahankan.
Lalu Asmaraturida.
Asmarturida mengajarkan pasangan suami istri tidak boleh kaku,
sesekali satu sama lain harus mengeluarkan guyonan lucu yang mengundang tawa
hingga bisa mencairkan suasana. Tak jarang guyonan bisa berakhir di ranjang.
Selanjutnya Asmaranala. Ajaran ini mengajarkan tentang saling
memberi dan saling menerima, disenangkan, dan menyenangkan. Harus ada
pengertian. Wujud keterikatan batin bisa terbangun dari sini. Kemudian ada
Asmaradana yang mengajarkan kepada setiap pasangan agar mampu saling menyentuh
hati pasangannya. Sentuhan untuk hati tak sebatas kata-kata manis, tapi juga
bisa hal lain, misalnya memberi bunga dan hadiah kecil.
Terakhir, Asmaratura. Ajaran ini mengajarkan puji dan rayu
satu sama lain dari pasangan suami istri. Pujian dan rayuan di sini sangat
penting untuk menjaga keharmonisan hubungan.
Adapun sebelum melakukan hubungan seks, raja-raja Jawa harus
melakukan semedi dan membersihkan diri. Ritual itu dilakukan raja sebagai
bentuk persiapan sebelum bercinta, baik dengan permaisuri maupun selirnya. Selagi
raja bersemedi, permaisuri maupun selir juga mempersiapkan diri, mulai dari
mandi, dandan, dan memakai wewangian. Hal itu harus dilakukan, sebab dalam
Asmaragama, kedua pihak, baik suami maupun istri, harus saling menjaga
kebersihan diri.
No comments:
Post a Comment