Di akhir
tahun 1998 Gus Dur rawuh (datang) di Wonoi orang Wonosobo. Saat itu sedang
ramainya era reformasi, beberapa bulan setelah Pak Harto jatuh. Dan ini terjadi
beberapa bulan sebelum Gus Dur menjadi orang nomer satu di Negeri ini. Beliau
masih menjabat sebagai Ketua PBNU.
Bertempat
di Gedung PCNU Wonosobo, Gus Dur mengadakan pertemuan dengan pengurus NU dari
Wonosobo, Banjarnegara, Pubalingga, Kebumen, Temanggung dan Magelang.
Tentu saja
semua kiai ingin tahu pendapat Gus Dur tentang situasi politik terbaru. Penulis
hadir di situ walaupun bukan kiai, dan duduk persis di depan Gus Dur. Penulis
lah yang menuntun Gus Dur menaiki Lantai 2 PCNU Wonosobo.
“Pripun Gus situasi politik terbaru?” tanya seorang kiai.
“Orde Baru tumbang, tapi Negeri ini sakit keras.” kata Gus Dur.
“Kok bisa Gus?”
“Ya bisa, wong yang menumbangkan Orde Baru pakainya emosi dan
ambisi tanpa perencanaan yang jelas. Setelah tumbang mereka bingung mau apa,
sehingga arah reformasi gak genah. Bahkan Negeri ini di ambang kehancuran, di
ambang perang saudara. Arah politik Negeri ini sedang menggiring Negeri ini ke
pinggir jurang kehancuran dan separatisme. Lihat saja, baru berapa bulan Orde
Reformasi berjalan, kita sudah kehilangan propinsi ke-27 kita, yaitu Timor
Timur.” kata Gus Dur.
Kiai
tersebut sebagaimana biasa, kalau belum mulai bicara. Pak Habibi, kita semua
akan merasa kasihan dengan sikap Gus Dur yang datar dan seperti capek sekali
dan seperti aras-arasen bicara. Tapi kalau sudah mulai, luar biasa memikat dan
ruangan jadi sepi kayak kuburan, tak ada bunyi apapun selain pangendikan Gus
Dur.
Seorang
kiai penasaran dengan calon presiden devinitif pengganti Pak Habibi yang hanya
menjabat sementara sampai sidang MPR. Ia bertanya: “Gus, terus siapa yang paling pas jadi Presiden nanti Gus?”
“Ya saya, hehehe…” kata Gus Dur datar.
Semua
orang kaget dan menyangka Gus Dur guyon seperti biasanya yang memang suka
guyon.
“Yang bisa jadi presiden di masa seperti ini ya hanya saya
kalau Indonesia gak pingin hancur. Dan saya sudah dikabari kalau-kalau saya mau
jadi presidan walau sebentar hehehe...” kata Gus Dur mantab.
“Siapa yang ngabari dan yang nyuruh Gus?” tanya seorang kiai.
“Gak usah tahu. Orang NU tugasnya yakin saja bahwa nanti presidennya
pasti dari NU,” kata Gus Dur masih datar seperti guyon.
Orang yang
hadir di ruangan itu bingung antara yakin dan tidak yakin mengingat kondisi
fisik Gus Dur yang demikian. Ditambah lagi masih ada stok orang yang secara
fisik lebih sehat dan berambisi jadi presiden, yaitu Amin Rais dan Megawati.
Tapi tidak ada yang berani mengejar pertanyaan tentang presiden RI.
Kemudian
Gus Dur menyambung: “Indonesia dalam masa menuju
kehancuran. Separatisme sangat membahayakan. Bukan separatismenya yang membahayakan,
tapi yang memback up di belakangnya. Negara-negara Barat ingin Indonesia hancur
menjadi Indonesia Serikat, maka mereka melatih para pemberontak, membiayai
untuk kemudian meminta merdeka seperti Timor Timur yang dimotori Australia.”
Sejenak
sang Kiai tertegun. Dan sambil membenarkan letak kacamatanya ia melanjutkan: “Tidak ada orang kita yang sadar bahaya ini. Mereka hanya
pada ingin menguasai Negeri ini saja tanpa perduli apakah Negeri ini
cerai-berai atau tidak. Maka saya harus jadi presiden, agar bisa memutus mata
rantai konspirasi pecah-belah Indonesia. Saya tahu betul mata rantai konspirasi
itu. RMS dibantu berapa Negara, Irian Barat siapa yang back up, GAM siapa yang
ngojok-ojoki, dan saya dengar beberapa propinsi sudah siap mengajukan memorandum.
Ini sangat berbahaya.”
Kemudiaan
ia menarik nafas panjang dan melanjutkan: “Saya mau jadi presiden. Tetapi peran
saya bukan sebagai pemadam api. Saya akan jadi pencegah kebakaran dan bukan
pemadam kebakaran. Kalau saya jadi pemadam setelah api membakar Negeri ini,
maka pasti sudah banyak korban. Akan makin sulit. Tapi kalau jadi pencegah
kebakaran, hampir pasti gak akan ada orang yang menghargainya. Maka, mungkin
kalaupun jadi presiden saya gak akan lama, karena mereka akan salah memahami
langakah saya.”
Seakan
mengerti raut wajah bingung para kiai yang menyimak, Gus Dur pun kembali
selorohkan pemikirannya. “Jelasnya begini, tak kasih gambaran,” kata Gus Dur menegaskan setelah melihat semua hadirin tidak
mudeng dan agak bingung dengan tamsil Gus Dur.
“Begini, suara langit mengatakan bahwa sebuah rumah akan
terbakar. Ada dua pilihan, kalau mau jadi pahlawan maka biarkan rumah ini
terbakar dulu lalu datang membawa pemadam. Maka semua orang akan menganggap
kita pahlawan. Tapi sayang sudah terlanjur gosong dan mungkin banyak yang mati,
juga rumahnya sudah jadi jelek. Kita jadi pahlawan pemyelamat yang
dielu-elukan.”
Kemudian
lanjutnya: “Kedua, preventif. Suara langit sama, rumah itu mau terbakar.
Penyebabnya tentu saja api. Ndilalah jam sekian akan ada orang naruh jerigen
bensin di sebuah tempat. Ndilalah angin membawa sampah dan ranggas ke tempat
itu. Ndilallah pada jam tertentu akan ada orang lewat situ. Ndilalah dia
rokoknya habis pas dekat rumah itu. Ndilalalah dia tangan kanannya yang lega.
Terus membuang puntung rokok ke arah kanan dimana ada tumpukan sampah kering.”
Lalu ia
sedikit memajukan duduknya, sambil menukas: “Lalu ceritanya kalau dirangkai jadi
begini; ada orang lewat dekat rumah, lalu membuang puntung rokok, puntung rokok
kena angin sehingga menyalakan sampah kering, api di sampah kering membesar
lalu menyambar jerigen bensin yang baru tadi ditaruh di situ dan terbakarlah
rumah itu.”
“Suara langit ini hampir bisa dibilang pasti, tapi semua ada
sebab-musabab. Kalau sebab di cegah maka musabab tidak akan terjadi. Kalau
seseorang melihat rumah terbakar lalu ambil ember dan air lalu disiram sehingga
tidak meluas maka dia akan jadi pahlawan. Tapi kalau seorang yang waskito, yang
tahu akan sebab-musabab, dia akan menghadang orang yang mau menaruh jerigen
bensin, atau menghadang orang yang merokok agar tidak lewat situ, atau gak
buang puntung rokok di situ sehingga sababun kebakaran tidak terjadi.”
Sejenak
semua jamaah mangguk-mangguk. Kemudian Gus Dur melanjutkan: “Tapi nanti yang terjadi adalah, orang yang membawa jerigen
akan marah ketika kita cegah dia naruh jerigen bensin di situ: “Apa urusan kamu, ini rumahku, bebas dong aku naruh di mana?” Pasti itu yang akan dikatakan orang itu.”
“Lalu misal ia memilih menghadang orang yang mau buang
puntung rokok agar gak usah lewat situ, Kita bilang: “Mas, tolong jangan lewat sini dan jangan merokok. Karena
nanti Panjenengan akan menjadi penyebab kebakaran rumah itu.” Apa kata dia: “Dasar orang gila, apa hubungannya
aku merokok dengan rumah terbakar? Lagian mana rumah terbakar?! Ada-ada saja
orang gila ini. Minggir! saya mau lewat.”
Kini makin
jelas arah pembicaraannya dan semua yang hadir makin khusyuk menyimak. “Nah, ini peran yang harus diambil NU saat ini. Suara langit
sudah jelas, Negeri ini atau rumah ini akan terbakar dan harus dicegah
penyebabnya. Tapi resikonya kita tidak akan popular, tapi rumah itu selamat.
Tak ada selain NU yang berpikir ke sana. Mereka lebih memilih: “Biar saja rumah terbakar asal aku jadi penguasanya, biar
rumah besar itu tinggal sedikit asal nanti aku jadi pahlawan maka masyarakat
akan memilihku jadi presiden.”
“Poro Kiai ingkang kinormatan.” kata Gus Dur kemudian. “Kita yang akan jadi presiden, itu kata suara langit. Kita
gak usah mikir bagaimana caranya. Percaya saja, titik. Dan tugas kita adalah
mencegah orang buang puntung rokok dan mencegah orang yang kan menaruh bensin.
Padahal itu banyak sekali dan ada di banyak negara. Dan pekerjaan itu secara
dzahir sangat tidak popular, seperti ndingini kerso. Tapi harus kita ambil.
Waktu yang singkat dalam masa itu nanti, kita gak akan ngurusi dalam Negeri.”
“Kita harus memutus mata rantai pemberontakan Gerakan Aceh
Merdeka di Swiss, kita harus temui Hasan Tiro. Tak cukup Hasan Tiro, presiden
dan pimpinan-pimpinan negara yang simpati padanya harus didekati. Butuh waktu
lama,” lanjut Gus Dur.
“Belum lagi separatis RMS (Republik Maluku Sarani) yang
bermarkas di Belanda, harus ada loby ke negara itu agar tak mendukung RMS. Juga
negara lain yang punya kepentingan di Maluku,” kata Gus Dur kemudian.
“Juga separatis Irian Barat Papua Merdeka, yang saya tahu
binaan Amerika. Saya tahu anggota senat yang jadi penyokong Papua Merdeka,
mereka membiayai gerakan separatis itu. Asal tahu saja, yang menyerang warga
Amerika dan Australia di sana adalah desain mereka sendiri.”
Kemudian
Gus Dur menarik nafas berat, sebelum melanjutkan perkataan berikutnya. “Ini yang paling sulit, karena pusatnya di Israel. Maka,
selain Amerika saya harus masuk Israel juga. Padahal waktu saya sangat singkat.
Jadi mohon para kiai dan santri banyak istighatsah nanti agar tugas kita ini
bisa tercapai. Jangan tangisi apapun yang terjadi nanti, karena kita memilih
jadi pencegah yang tidak populer. Yang dalam Negeri akan diantemi sana-sini.”
Sekonyong
beliau berdiri, lalu menegaskan perkataan terakhirnya: “NKRI bagi NU adalah Harga Mati!”
“Saya harus pamit karena saya ditunggu pertemuan dengan para
pendeta di Jakarta, untuk membicarakan masa depan negara ini. Wasalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh...” tutup Gus Dur.
Tanpa
memperpanjang dialog, Gus Dur langsung pamit. Kita bubar dengan benak yang
campur-aduk, antara percaya dan tidak percaya dengan visi Gus Dur. Antara
realitas dan idealitas, bahwa Gus Dur dengan sangat tegas di hadapan banyak
kiai bahwa dialah yang akan jadi presiden. Terngiang-ngiang di telinga kami
dengan seribu tanda tanya.
Menghitung
peta politik, rasanya gak mungkin. Yang terkuat saat itu adalah PDIP yang punya
calon mencorong Megawati putri presiden pertama RI yang menemukan momentnya.
Kedua, masih ada Partai Golkar yang juga Akbar Tanjung siap jadi presiden. Di
kelompok Islam modern ada Amien Rais yang juga layak jadi presiden, dan dia
dianggap sebagian orang sebagai pelopor Reformasi.
Maka kami
hanya berpikir bahwa, rasional gak rasional, percoyo gak percoyo ya percoyo aja
apa yang disampaikan Gus Dur tadi. Juga tentang tamsil rumah tebakar tadi.
Sebagian besar hadirin agak bingung walau mantuk-mantuk karena gak melihat
korelasinya NU dengan jaringan luar negeri.
Sekitar 3
bulan kemudian, Subhanallah… safari ke luar ternyata Gus Dur
benar-benar jadi Presiden. Dan Gus Dur juga benar-benar bersafari ke luar
negeri seakan maniak plesiran. Semua negara yang disebutkan di PCNU Wonosobo
itu benar-benar dikunjungi. Dan reaksi dalam negeri juga persis dugaan Gus Dur
saat itu bahwa Gus Dur dianggap foya-foya, menghamburkan duit negara untuk
plesiran. Yang dalam jangka waktu beberapa bulan sampai 170 kali lawatan. Luar
biasa dengan fisik yang (maaf) begitu, demi untuk sebuah keutuhan NKRI.
Pernah
suatu ketika Gus Dur lawatan ke Paris (kalau kami tahu maksudnya kenapa ke
Paris). Dalam negeri, para pengamat politik dan politikus mengatakan kalau Gus
Dur memakai aji mumpung. Mumpung jadi presiden pelesiran menikmati tempat-tempat
indah dunia dengan fasilitas negara.
Apa jawab
Gus Dur: “Biar saja, wong namanya wong ora mudeng atau ora seneng.
Bagaimana bisa dibilang plesiran wong di Paris dan di Jakarta sama saja, gelap
gak lihat apa-apa, koq dibilang plesiran. Biar saja, gitu aja koq repot!”
Masih
sangat teringat bahwa pengamat politik yang paling miring mengomentrai lawatan
Gus Dur sampai masa Gus Dur lengser adalah Alfian Andi Malarangeng, Menpora
yang sekarang kena kasus. Tentu warga NU gak akan lupa sakit hatinya mendengar
ulasan dia. Sekarang terimalah balasan dari Tuhan.
Satu-satunya
pengamat politik yang fair melihat sikap Gus Dur, ini sekaligus sebagai
apresiasi kami warga NU, adalah Hermawan Sulistyo, atau sering dipanggil Mas
Kiki. terimakasih Mas Kiki.
Kembali ke
topik. Ternyata orang yang paling mengenal sepak terjang Gus Dur adalah justru
dari luar Islam sendiri. Kristen, Tionghoa, Hindu, Budha dll. mereka tahu apa
yang akan dilakukan Gus Dur untuk NKRI ini. Negeri ini tetap utuh minus Timor
Timur karena jasa Gus Dur. Beliau tanpa memikirkan kesehatan diri, tanpa
memikirkan popularitas, berkejaran dengan sang waktu untuk mencegah kebakaran
rumah besar Indonesia.
Dengan
resiko dimusuhi dalam negeri, dihujat oleh separatis Islam dan golongan Islam
lainnya, Gus Dur tidak perduli apapun demi NKRI tetap utuh. Diturunkan dari
kursi presiden juga gak masalah bagi beliau walau dengan tuduhan yang
dibuat-buat. Silakan dikroscek data ini. Lihat kembali keadaan beberapa tahun
silam era reformasi baru berjalan, beliau sama sekali gak butuh gelar “Pahlawan”. Karena bagi seluruh warga NU “Beliau adalah Pahlawan yang sesungguhnya.”
Disadur
dan diedit ulang dari tulisan Gus Theler Cuek
(https://www.facebook.com/theler.cuek/posts/743645182347160).
No comments:
Post a Comment