Copas artikelnya Gus Abdi Kurnia Djohan yg dipost ulang oleh
Ustadz Fadliyansyah.
Seorang bapak pernah berkata kepada saya bahwa orang orang NU
itu sama sekali tidak mengerti hadits Nabi. Ia bahkan mengatakan bahkan berani
mengatakan bahwa semua amalan NU landasannya adalah hadits dhoif (lemah) yang
harus ditinggalkan.
Karena tidak ada yang membantahnya, sang bapak semakin menjadi
jadi.
Di hadapan majelis ta'lim, pada kesempatan ustadz pemateri
berhalangan hadir, sang bapak tampil di depan menyampaikan materi pentingnya
mengikuti sunnah. Ketidaksukaannya kepada NU ditumpahkannya di hadapan majelis.
Ia mengatakan bahwa semua amalan NU itu salah karena sandarannya adalah hadits
dhoif (dalam hati saya kenapa sandarannya bukan sandaran hati kayak judul
lagunya Letto).
Setelah mendengar laporan tentang amokan si bapak yang
menggunakan jurus 9 dewa mabok (karena yang 8 nya itu milik Jacky Chan), saya
pun menemui sang bapak. Obrolan pun saya buka tentang definisi hadits menurut
sang bapak. Sang bapak pun menjelaskan secara sederhana bahwa hadits adalah
ucapan Nabi.
Saya pun bertanya kepadanya tentang makna hadits shahih,
dhoif, hasan dan mawdlu'. Sampai di sini, sang bapak mulai gelagapan. Saya pun
terus melempar pertanyaan tentang buku hadits apa saja yang dibaca sang bapak.
Dia mengatakan bahwa dia hanya membaca buku "Pengantar Ilmu Hadits"
karya Prof. Tengku Hasbie Asshiddiqie. Saya pun bertanya lagi bagaimana uraian
Prof. Hasbie Asshiddiqie itu di dalam bukunya. Sang bapak pun mengaku banyak
yang dia lupa. Kemudian saya bertanya kepada beliau, kitab kitab NU apa saja
yang sudah dia baca hingga sampai kepada simpulan semua amalan NU itu salah.
Beliau pun mengatakan bahwa belum ada satu pun kitab kitab NU
yang dibacanya. Ia mengakui bahwa penilaiannya terhadap amaliah NU hanya
didasarkan kepada pengamalan kebiasaan masyarakat yang tinggal di dekat
rumahnya.
Gambaran di atas merupakan contoh dari sikap yang didasari
oleh ketidak pahaman. Dan model model seperti itu lazim dijumpai di banyak
forum bahkan di forum obrolan kereta api.
Kita tidak menolak ajakan bahwa di dalam melakukan amaliah
agama, mengikuti Rasulullah merupakan sebuah keharusan. Namun, yang disayangkan
dari ajakan itu adalah dilupakannya fakta bahwa usaha memahami sunnah
Rasulullah masuk ke dalam kategori ijtihad. Bagaimana tidak dikatakan ijtihad,
menyimpulkan derajat hadits ke dalam shohih, hasan, dho'if dan mawdlu' (palsu)
merupakan bagian dari ranah ijtihad.
Kalangan awam banyak tidak memahami itu. Mereka berpikir bahwa
membagi kualitas hadits ke dalam shohih, hasan dan dhoif hanya dilihat dari
tinjauan sanad saja. Padahal, di balik tinjauan sanad terdapat tinjauan jarh wa
alta'dil ( penilaian cacat dan adilnya seorang rawi). Di dalam tinjauan ini,
terkadang faktor subjektif penilai juga turut mempengaruhi.
Sulit untuk mengatakan bahwa kajian hadits benar benar bersih
dari bisa subjektivitas. Mereka yang sering membuka kitab hadits pasti pernah
mendapatkan riwayat tentang ketidaksukaan Imam Yahya ibnu Ma'in terhadap Imam
Assyafi'i sehingga mengantarkannya kepada simpulan bahwa Imam Assyafi'i tidak
menguasai hadits. Kita pun tahu bagaimana perdebatan sengit terjadi di antara
Imam Assuyuthi dengan Imam Assakhowy lebih dikarenakan bias pribadi di antara
keduanya.
Saya tidak sedang mengatakan bahwa kajian tentang hadits
adalah kajian tentang subjektivitas. Tapi, dari kasus kasus bias subjektif yang
muncul, setidaknya dapat menggugah kesadaran kita bahwa kajian hadits pun tidak
lepas dari pengaruh ijtihad. Setidaknya ijtihad itu bisa terlihat di dalam
menilai perubahan haalur raawi.
Oleh karenanya, tidak mengherankan jika pada masa lalu sikap
tasamuh (toleran) di dalam menyikapi perbedaan pemahaman hadits begitu identik
dengan para ulama hadits.
Sikap seperti itu yang hingga kini dipertahankan para kyai NU
sejak masa Hadlrotus Syaikh Hasyim Asy'ari hingga kini. Singkat kata, sebelum
menilai marilah kita menilai diri sendiri. Tapi sayangnya, kalangan awam yang
semangat menggebu gebu ingin mengamalkan sunnah, belum tentu mau bersikap
tasamuh seperti ini. Pada akhirnya, memang yang paham mesti ngalah.
Salam ASWAJA NU
No comments:
Post a Comment