Dua hal, yg diawali dengan
bendera tauhid yg ramai sekali memancing berbagai reaksi, kemudian di ikuti dengan
kontroversi pelarangan cadar & celana cingkrang, adalah sebuah fenomena yg
menarik. Setidaknya, perdebatan antar ummat ini meningkat dari hanya soal
tahlil & tidak tahlil, qunut & tidak qunut, wiridan paska shalat keras
atau sirri, maulid nabi atau tidak, dan seterusnya.
Dalam kacamata ilmu pengetahuan adanya pernyataan &
pertentangan, tesis & antitesis, pro & kontra, adalah sebuah dialektika
yg justru membangun peradaban ilmu itu sendiri. Itu adalah hal yg lumrah &
memang sewajarnya terjadi seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Baik yg pro maupun kontra, ketika didasari dengan berbagai
alasan atau argumen yg kuat, itu menjadi indah. Tetapi jika dlandasi dengan taklid
buta, efek kebencian pada kelompok tertentu, atau ego secara pribadi yg
menyebabkan dialektika itu tidak lagi objektif, maka para ahli wajib
meluruskan.
Sebelum menyoal bendera tauhid, atau yg lebih baru adalah soal
pelarangan cadar di instansi pemerintahan, maka kita bisa mencoba mundur ke
belakang di era bapak kita, yakni Bapak Soeharto. Yg mau tak mau beliau selalu
dijadikan alasan kangen jamannya, entah benar-benar kangen atau kangen yg
bertendensi.
Jaman Bapak Soeharto, setiap yg bertato dianggap preman, dan
setiap preman adalah santapan lahap bagi petrus alias penembak misterius. Tanpa
ada ajakan diskusi dulu, tanpa ada ajakan dialog dulu, tanpa ada klarifikasi
dulu. Entah itu yg memakai tato karena seni, karena buat rajah badan atau
apapun semua disikat. Apakah tato itu benar” salah jika dipandang secara
universal…? Tentu tidak bisa juga. Kecuali memandangnya dari skup ajaran Islam
misalnya.
Atau jangan soal tato, rambut gondrong pun dulu bisa kena
petrus. Tak peduli yg gondrong itu pertapa, dukun, pendekar, seniman atau
benar-benar preman, semua di babat. Pola inilah yg mestinya kita amati. Stigma
bahwa memakai tato atau gondrong atau keduanya adalah preman yg wajib
diberangus, sebenarnya karena ulah segelintir manusia yg dengan identitas itu
meresahkan negara.
Negara terlalu sibuk untuk menyisir satu persatu identitas
tersebut dari sudut pandang latar belakang. Bisa habis waktu buat menanyai satu
persatu motif gondrong & bertato, sementara negara kita masih proses
pembangunan, setidaknya penguasa sedang berfokus dalam menpertahankan
kekuasaan, bodo amat, diambil jalan termudah saja, identitas itu wajib
diberangus.
Pun demikian dengan persoalan cadar & celana cingkrang.
Keduanya sebenarnya tidak menjadi masalah. Karena banyak juga firqoh yg
menganjurkan bercadar, seperti Syafi’iyyah, Syiah atau yg lokal LDII ( dulu
Lemkari & Islam Jama’ah ) & masih banyak lainnya. Tapi selama ini
mereka bercadar, tetap mampu beriringan dengan visi misi negara.
Dalam perjalanannya, cadar & cingkrang ini identitas yg juga
kerap dipakai mereka yg memiliki paham radikal. Kalo tidak suka disebut
radikal, oke, mereka yg ngamuk’an, merasa benar sendiri, merasa paling memiliki
tugas suci untuk memberantas kemaksiatan dan seterusnya. Inilah yg menyebabkan
polemik pelarangan bercadar & celana cingkrang.
Jadi menurut saya, negara memang tidak mau ambil pusing.
Identitas yg sekiranya dijadikan alat sebagai corak dalam isme isme yg
membahayakan wajib dilarang. Setiap rumah tangga memiliki aturannya sendiri
untuk mengamankan keluarganya. Namun demikian, sebaiknya pelarangan itu
diperjelas juga soal latar belakangnya.
Dikhawatirkan larangan bercadar ini memusingkan mereka yg
harus memakai masker wajah paska perawatan wajah, atau sedang terkena TBC, atau
sedang flu, atau sedang berkendara menaiki sepeda motor, atau sedang berada
dalam kabut asap, mereka mutlak wajib bercadar dengan masker kesehatan.
Setidaknya itu, kalo mau kompleks, ya cek latar belakang pahamnya.
Intinya, negara itu taunya kedaulatan, jadi kita harus ikut
menjaga nama baik suatu syariat di mata negara jika tidak ingin syariat yg kita
pahami ini dianggap radikal & membahayakan. Jangan sampai karena ulah kita,
syariat atau segala yg menunjang syariat dianggap buruk di nata negara terlebih
dunia. Jangan menampik adanya radikalisme tapi mendukung paham yg
kontraproduktif terhadap negara.
Menampik adanya pandangan “ Islam Radikal ” tapi mengutuk “ Budha
Radikal ” yg ramai diketuai Bikkhu Wirathu misalnya, semua agama sama”
mengajarkan keluhuran. Sebutan “ Islam Radikal ” itu disebabkan orang” yg salah
memahami agama Islam. Tidak perlu ditampik, tapi mulai dari diri sendiri sudah
semestinya diluruskan. Tunjukkan bahwa Islam atau apapun agama kita, adalah
sejalan dengan cita-cita luhur bangsa & negara.
Terakhir, bercadar atau pun tidak, celana cingkrang atau
bersarung, tahlilan atau tidak, saya sangat mendukung anda untuk berpikir cerdas
No comments:
Post a Comment