Silsilah Prabu Angling Darma selama ini masih menjadi misteri,
karena sebagian besar cerita dan kisahnya hanya berupa mitos, bukan sejarah.
Lantas juga banyak yang bertanya-tanya : dimana keturunan Prabu Angling Dharma…?
Damar Shashangka dalam bukunya, Rara Anggraeni : Asmaradahana
Panjalu-Janggala ( 2016 ) mengungkap silsilah Prabu Angling Dharma menurut
versi sejarah. Nama asli Raja Malawapati itu adalah Ajidharma.
Prabu Ajidharma berkuasa di wilayah Kadhaton Malwapati ( sekitar
wilayah Pati – Cepu - Bojonegoro sekarang ). Ia adalah putra Mapanji
Astradharma dan Dyah Ayu Pramesthi.
Dyah Ayu Pramesthi adalah putri Prabu Jayabaya, penguasa
Panjalu beribu kota di Daha atau yang dikenal dengan Kadiri. Dengan demikian,
Prabu Angling Dharma adalah cucu Prabu Jayabaya dari pihak ibu.
Sang ibu, Dewi Pramesthi selalu memberikan pesan kepada Prabu
Angling Dharma untuk tidak menuntut tahta dari kakeknya Prabu Jayabaya, karena
tahta Panjalu-Janggala selalu meminta korban alias pertumpahan darah.
Karena itu, ia harus rela hati mewarisi wilayah kecil namun
disegani di Tanah Kediri, yakni Malwapati ( dahulu masuk wilayah pengging kuno )
Ayah Prabu Angling Darma bernama Mapanji Astradharma, putra
Mapanji Sariwahana. Sementara Sariwana adalah putra Sudarsyana dan Sudarsyana
adalah adik kandung Mapanji Bamesywara yang pernah memerintah Panjalu ( Daha )
pada sekitar Syaka Warsa 981-1.011 ( 1.059-1.089 Masehi ).
Mapanji Bamesywara inilah ayah Mapanji Jayabaya, Prabu ring
Daha ( Kediri ). Dulu pernah terjadi perselisihan antara Sudarsyana dengan
kakaknya, Bemesywara.
Sudarsyana hengkang dari Kedaton Daha dan bergabung dengan
kelompok Prabu Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabu. Mapanji Sudarsyana kemudian
dinikahkan dengan putri Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabu dan melahirkan
Sariwahana.
Selanjutnya, Mapanji Sariwahana melahirkan Astradharma, ayah
Angling Dharma. Saat Jayabaya naik tahta, Astradarma dan para punggawa Sri
Jayawarsa Digjaya Sastraprabu menyarahkan diri di Kedaton Daha.
Prabu Jayabaya menerima syarat penyerahan diri itu tapi dengan
syarat, yaitu Astradarma harus menyerang Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabu,
sekutunya terdahulu. Hal itu dibuktikan dan Astradarma sempat unggul, meski
kekuatan pasukan Jayawarsa belum sepenuhnya bisa dikalahkan.
Dari sini, Astradarma dinikahkan dengan putri Sang Prabu
Jayabaya yang bernama Dyah Ayu Pramesthi. Dari pernikahan ini lahirlah Prabu
Angling Dharma yang ceritanya begitu melegenda di hati masyarakat Jawa - Nusantara
hingga saat ini.
Ayah Angling Darma, Astradarma adalah kesatria berdarah
Janggala yang beribu kota di Kahuripan. Ayah Astradarma adalah Sariwahana,
putra Sudarsyana ( Panjalu ) dan putri Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabu ( Janggala
).
Panjalu dan Janggala adalah wilayah warisan dari Prabu
Airlangga yang awalnya satu, tapi kemudian dipecah dua untuk anak-anaknya.
Namun, pemecahan wilayah itu justru mengakibatkan perang saudara yang tidak
berkesudahan.
Trah Panjalu berasal dari Mapanji Samarawijaya putra Airlangga
dengan Sri Laksmi putri Prabu Dharmawangsa yang dianggap leluhur bagi
orang-orang Daha, sedangkan trah Janggala berasal dari Mapanji Lanjung Heyes
dari putri Pendeta Terep.
Bukannya akur atas pembagian wilayah, kedua keturunan Prabu
Airlangga itu justru terlibat saling berebut kuasa, saling menyerang dan
menumpahkan darah dalam waktu yang sangat lama.
Dan, persilangan darah bangsawan Panjalu dan Janggala terjadi
dalam diri Sariwahana putra kesatria Panjalu ( Sudarsyana ) yang menikah dengan
putri Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabu penguasa Janggala.
Dengan begitu, Prabu Angling Dharma adalah kesatria
persilangan trah Panjalu dan Janggala melalui ayahnya, Astradarma kakeknya,
Sariwahana.
Perkawinan Astradarma dan Dyah Ayu Pramesthi ( ayah dan ibu
Angling Darma ) mendapatkan pertentangan dari sebagian bangsawan Daha ( Panjalu
). Sebab, darah Jenggala yang mengalir dalam diri Astradarma nantinya yang akan
berkuasa atas Daha.
Karena pernikahan itu banyak ditentang pejabat penting Daha,
Astradarma memilih untuk meninggalkan Keraton Daha dan bergabung dengan
kakeknya, Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabu di Janggala. Namun, istrinya Dyah
Ayu Pramesthi sudah mengandung benih bayi yang kelak bernama Ajidharma atau
Angling Dharma.
Peristiwa itu membuat Prabu Jayabaya sang mertua murka..!
Janggala diserbu Daha dengan jumlah besar-besaran. Semua anak keturunan leluhur
Mapanji Lanjung Heyes Janggala ditumpas kelor, termasuk Astradarma menantu
Jayabaya sendiri.
Anak keturunan Mapanji Lanjung Heyes dan Mapanji Garasakan itu
tercerai berai entah kemana. Sebagian yang ditanggap dihabisi tanpa sisa.
Kemenangan Daha atas Janggala ini yang kemudian dikenal dengan teriakan " Panjalu
Jayati " di seluruh pelosok negeri.
Sedih akan peristiwa itu, Dyah Ayu Premesthi ibunda Angling
Darma memilih untuk meninggalkan kemegahan Keraton Daha dan memilih untuk
menjadi wanita bertapa. Ia lantas dikenal dengan Ajar Dewi Kili Suci Anom,
sebagaimana leluhurnya, putri Prabu Erlangga yang bertapa di Pertapaan Pucangan
( Gunung Penanggungan, Jawa Timur ).
Sejarah selalu berulang…! Pilihan hidup yang diambil ibunda
Angling Darma sama seperti leluhurnya, Dewi Kili Suci yang tidak ingin melihat
lagi pertumpahan darah antar sesama saudara. Keduanya sama-sama melepaskan
tahta, karena melihat pedihnya perebutan tahta.
Saat ayahnya terbunuh dalam peristiwa itu, Angling Dharma
sebetulnya sudah memerintah rakyatnya dengan damai di Kerajaan Malawapati.
Adapun keturunan Angling Dharma
Prabu Angling Darma yang menikahi putri Bojanegara yang
kemudian berputra Angling Kusuma hingga sekarang susah ditemukan.
Kenapa…? Sejarah ini berlangsung sekitar 1.100-1.200 an
Masehi. Runtuhnya Kediri berganti Singosari kemudian Majapahit sudah
beratus-ratus tahun lamanya.
Belum lagi melewati masa berdirinya kasultanan Demak Bintoro, Pajang
dan Mataram, kemudian Nusantara diduduki VOC yang akhirnya menjadi
Hindia-Belanda. Banyak sejarah yang tercerai-berai akibat lamanya waktu dan
zaman.
Namun bisa jadi keturunan Angling Dharma sekarang masih ada
dan tersembunyi. Biasanya mereka diberikan pawisik atau wangsit dari para
leluhur Nusantara.
Tapi yang terpenting dari warisan leluhur sesungguhnya bukan
terletak pada genetik siapa kakek-nenek moyangnya, tetapi kebijaksanaannya
dalam memberikan manfaat kepada sesama makhluk.
No comments:
Post a Comment