" Kenapa
kitab suci selalu menggambarkan surga dalam bentuk duniawi ? "
Saya
tersenyum. Saya suka membahas agama dalam bentuk konteks - kejadian atau
peristiwa pada masanya - daripada teks. Karena dengan konteks akhirnya kita
bisa memahami sesuatu dengan logika.
"Saya
kasih contoh begini..." Kuseruput kopiku dulu.
"Anggap
saja pada tahun 1980-an, emakmu berkirim surat kepadamu. Bunyinya 'Nak, emak
kirim uang sekolahmu lewat wessel ya'. Wessel itu adalah sarana pengiriman uang
melalui kantor pos. Kemudian pada tahun 2017, kamu membaca kembali surat itu.
Tentu bahasa surat ibumu masih berbunyi wessel, padahal sarana pengiriman uang
sekarang sudah bermacam-macam mulai transfer sampai mobile banking.
Apakah surat
si emak salah… ?
Tentu tidak,
karena itu ditulis pada masanya, saat sarananya masih wessel. Meski makna
mengirimkan uangnya sama, tetapi sarananya sudah berbeda sesuai perkembangan
zaman.. "
Kusulut
sigaretku. Kuhembuskan asapnya ke atas dan membentuk bayangan peristiwa masa
lalu.
" Kita
coba kembali ke ratusan tahun lalu, masa di mana agama diturunkan. Disini saya
mengambil contoh agama Islam...
Islam datang
saat masyarakat arab masih jahiliyah, bodoh dan barbar. Mereka hidup dalam
ketidak-aturan. Urusan mereka hanya harta, tahta dan wanita. Dan disana - pada
waktu itu - kaum lelaki sangat dominan...
Nah,
kebayang seorang Rasul menjelaskan konsep 'reward and punishment' kepada
manusia pada waktu itu. Sulit sekali, karena keterbatasan pikiran umatnya.
Akhirnya
dibahasakanlah konsep 'reward and punishment ' - yang kita kenal dengan surga
dan neraka – sesuai bahasa dan wujud materi yang dikenal manusia pada waktu
itu. Serendah-rendahnya bahasa manusia dengan makna setinggi-tingginya.
Karena buat
bangsa arab dulu wanita adalah bagian dari kenikmatan, maka diwujudkanlah surga
ada bidadarinya dalam wujud wanita, meski orang juga tidak tahu bidadari sebenarnya
itu bentuknya bagaimana.. Karena bangsa arab tinggal di gurun yang panas terik,
maka digambarkanlah surga dengan keindahan dunia, ada sungai dan pohon yang
sangat sejuk...
Karena
dibahasakan dengan bahasa sederhana, bahasa dengan perumpamaan wujud yang
mereka kenal di dunia, maka pesan kebaikan pun sampai dan dimengerti manusia
pasa zamannya.."
Aku melanjutkan
ngopiku.
"Tetapi
zaman sekarang tentu berbeda. Manusia sudah mengenal surga dalam ruang - ruang
pembahasan filsafat. Sehingga surga lebih dikenal sebagai konsep. Karena dunia
surga bukan dunia materi - maka jelas kenikmatannya jauh lebih besar daripada
sekedar kenikmatan duniawi...
Apakah
Alquran yang dikumpulkan ratusan tahun itu salah ?
Tentu tidak.
Yang salah adalah manusia sekarang yang menafsirkannya masih memakai pola pikir
ratusan tahun lalu. Terjebak teks, lupa melihat kapan agama itu diturunkan..
Sehingga
ketika menjelaskan tentang surga ia membayangkan pesta seks dan ngaceng melulu,
sama seperti orang arab saat barbar dulu.."
Logika
berfikir dan penuangan secara sederhana itu membuka ruang berfikirnya. Ia
akhirnya mencoba memahami agama melalui akal dan bukan sebatas dogma..
"Lagian
ngapain mikirin surga ? Mending sibuk mencari amal, karena banyaknya poin amal
akan menimbulkan ketenangan. Dan ketenangan dalam dada manusia itu termasuk
surga dunia..."
Aku
mengakhir pembicaraan itu. Sudah hampir malam, saatnya pulang.
"Buk,
tolong hitung semuanya dan masukkan ke bon saya, ya.. " Kataku.
Si ibu
warkop tampak kesal dan memaki dengan medoknya, "Mari ndakik-dakik ngomong
surgo, trus ngutang meneh. Bonmu penuh, dul. Kon surgo, awakku neroko !"
Akhirnya -
seperti di film - terjadilah kejar”an keliling warung antara seseorang dengan
kantong pas”an yang dikejar oleh ibu” yang mengayunkan gagang sapu...
No comments:
Post a Comment