Dosa Yang
Tersembunyi
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
******************
1
SI
PINCANG MANTILO
KELELAWAR
Pemancung Roh menggeledah semua kamar yang ada di dalam bangunan bawah tanah.
Namun Bintang Malam tidak ditemui. Dia lalu memeriksa tempat-tempat lain yang
diduganya bisa dijadikan tempat persembunyian. Tetap saja istri yang paling
disayanginya dan tengah hamil itu tidak ditemukan. Istri paksaan lainnya yang
berjumlah sebelas orang tidak satupun mengetahui dimana beradanya atau kemana
perginya Bintang Malam. Malah diam-diam sebelas perempuan itu sama bersepakat,
jika ada kesempatan mereka juga akan melarikan diri. Kelelawar Pemancung Roh
tidak bodoh.
"Kalau
mereka punya anggapan Bintang Malam kabur melarikan diri, pasti dalam benak
sebelas perempuan ini juga ada rencana seperti itu!" Kelelawar Pemancung
Roh memerintahkan semua istrinya masuk ke kamar masingmasing. Lalu pintu
dikuncinya dari luar. Di depan pintu yang terakhir dikuncinya Kelelawar
Pemancung Roh berpikir. “Jahanam rambut gondrong itu membantai dua puluh
kelelawar kepala bayi. Tapi masih ada puluhan kelelawar biasa yang menjaga
kawasan Teluk. Kalau perempuan itu memang melarikan diri, puluhan kelelawar
pasti akan mencegah, akan menyerangnya. Aku punya dugaan Bintang Malam belum
meninggaikan Teluk Akhirat. Pasti bersembunyi di satu tempat. Dimana…?"
Kelelawar
Pemancung Roh kembali ke ruang batu yang ada kolam dan kursi besar. Duduk
sendirian di kursi batu di depan kolam Ikan Dajal penguasa Teluk Akhirat itu
ingat pada Sinto Gendeng. Salah satu kelelawar kepala bayi memberitahu padanya
bahwa atas perintah Tuyul Orok si nenek dibawa ke Bukit Jati, dimasukkan ke
dalam Goa Air Biru. Jika nenek itu memang berada di goa tersebut berarti dia
harus segera menuju ke tempat itu. Tapi menyadari bahwa Pendekar 212 Wiro
Sableng, murid Sinto Gendeng masih ada di dalam bangunan bawah tanah. Kelelawar
Pemancung Roh jadi berpikir-pikir. Apakah dia lebih dulu membunuh Wiro baru
kemudian Sinto Gendeng. Atau Sinto Gendeng dulu menyusul muridnya
"Pendekar
212 membunuh dua puluh kelelawar kepala bayi, membunuh anak-anakku. Jahanam itu
juga menciderai diriku. Dua tulang igaku dibuat patah. Dan dia pasti masih
berkeliaran di tempat ini! Siapa yang harus kuhabisi lebih dulu. Muridnya atau
sang guru? Apakah dendam empat puluhan tahun harus menunggu aku menyelesaikan
dendam hari ini?"
Kelelawar
Pemancung Roh meraba sisi tubuhnya sebelah kiri. Walau dua tulang iganya patah
akibat tendangan Wiro namun saat itu dia tidak merasa sakit sedikitpun. Bahkan
dia percaya dengan ilmu kesaktian yang dimilikinya dua tulang yang cidera itu
telah bertaut kembali. Inilah kehebatan makhluk aneh penguasa Teluk Akhirat
itu. Sambil terus berpikir dia keluarkan ikat kepala sutera hitam berbatu yang
berhasil di rampasnya waktu berkelahi dengan Wiro.
"Ini
bukan batu sembarangan. Pasti sebuah jimat yang bisa dijadikan senjata luar
biasa ampuh! Cahayanya bisa membuat mata buta. Batu ini juga dihuni satu
makhluk gaib. Muncul berupa kepala seekor srigala putih raksasa. Hampir aku ditelannya.
Setahuku Pendekar 212 Wiro Sableng tidak memiliki senjata seperti ini. Kalau
ini memang miiiknya, agaknya senjata akan makan tuan. Aku bisa membunuhnya
dengan benda ini!" Sambil menyeringai Kelelawar Pemancung Roh kaitkan kain
sutera hitam itu di kepalanya. Lalu kembali dia menimbang-nimbang.
“Membunuh
nenek keparat yang dalam keadaan tak berdaya itu jauh lebih mudah dari pada
menghadapi Pendekar 212. Ada baiknya sang murid terpaksa kubiarkan menunggu
kematiannya. Biar dendengkotnya aku habisi lebih dulu."
Kelelawar
Pemancung Roh turun dari kursi batu. Sambil melangkah tinggalkan tempat itu dia
memaki dirinya sendiri. "Menyesal besar aku! Mengapa tadi tidak
kulemparkan saja jahanam tua bangka itu ke dalam kolam. Biar dibantai Ikan
Dajal! Sekarang urusan jadi panjang tak karuan begini rupa.HANYA terpaut
selisih waktu sedikit saja, tak berapa lama setelah Kelelawar Pemancung Roh
meninggalkan ruangan batu. Wiro sampai di tempat itu. Sesaat dia bersandar di
dinding, pegangi dadanya yang sakit lalu menyeka darah yang setengah mengering
di dagunya. Dari balik pakaiannya Wiro mengeluarkan sebuah kantong obat.
Sepotong obat yang masih bersisa di dalam kantong itu segera ditelannya. Lalu
dia tegak bersandar ke dinding. Memperhatikan seputar ruangan.
"Kursi
batu itu, pasti itu yang dipakai Kelelawar Pemancung Roh untuk masuk dan keluar
ke pantai. Kekuatan gaib apa yang dimiliki jahanam itu bisa menaik turunkan
kursi batu begini berat…." Wiro palingkan pandangannya ke arah kolam batu
yang tertutup gelagar kayu.
Airnya
bening, tapi aneh pandanganku tidak bisa menembus sampai ke dasar. Apa isi
kolam ini? Mengapa ditutup begini rupa? Kolam tempat mandi Kelelawar
Pemancung Roh?"
Selagi
Wiro berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba sudut matanya menangkap gerakan seseorang
di sampingnya. Wiro berpaling. Orang itu dengan cepat melenyapkan diri di balik
dinding. Dari sosoknya yang kecil jelas dia bukan Kelelawar Pemancung Roh. Wiro
cepat mengejar. Dia hanya menemui satu lorong batu kosong. Di salah satu bagian
dinding lorong batu tergantung sebuah lukisan. Lukisan beberapa gadis cantik
bertelinga seperti kelelawar dalam keadaan bugil.
Wiro
berhenti di depan lukisan besar itu seolah tengah menikmatinya. Namun
sebenarnya saat itu dia tengah memasang telinga. Dia mendengar suara nafas
orang. Wiro tersenyum. Garuk-garuk kepalanya.
“Gadis-gadis
bugil di dalam lukisan ini, walau seolah hidup dan tersenyum padaku jelas tak
bisa bernafas." Ucap sang pendekar dalam hati. Lalu dia ulurkan tangan
turunkan lukisan besar itu. Baru sedikit lukisan digeser tiba-tiba dari balik
lukisan melompat seorang pemuda. Rupanya di balik lukisan itu ada satu ruangan
kosong sedikit lebih kecil dari ukuran sebuah lemari.
"Hai!
Berhenti! Jangan lari!" Teriak Wiro.
Diteriaki
seperti itu pemuda yang lari dengan terpincangpincang malah mempercepat
larinya. Tapi dia jadi terkejut pucat ketika entah bagaimana kejadiannya
tahu-tahu Wiro sudah berada di depannya, menghadnng larinya. Pemuda pincang ini
cepat balikkan diri lari ke arah berlawanan. Wiro segera mengejar. Begitu
terkejar dia puntir telinga pemuda ini.
“Ampun!
Jangan bunuh! Jangan bunuh diriku!" Pemuda itu berteriak kesakitan sambil
berusaha menarik tangan Wiro.
“Siapa
mau membunuhmu?!” Wiro masih belum lepaskan jewerannya.
“Kau… kau
membunuh puluhan kelelawar kepala bayi. Pasti kau juga mau membunuhku…"
"Aku
membunuh mereka karena mereka mau membunuhku! Apakah kau juga mau
membunuhku?"
“Ti…
tidak. Aduh, ampun…"
"Pincang,
siapa namamu? Apa tugasmu di tempat ini?" Tanya Wiro dan perlahan-lahan
lepaskan jewerannya.
Si pemuda
perhatikan Wiro dari kepala sampai ke kaki. Wajahnya masih menunjukkan rasa
takut. Setelah agak yakin Wiro tidak bermaksud jahat padanya baru dia mau
menjawab.
“Saya
Mantilo. Saya mengurus segala keperluan Sang Pemimpin."
“Berarti
kau tahu banyak seluk beluk tempat ini. Kalau aku bertanya jangan sekali berani
berdusta! Katakan di mana Sang Pemimpinmu berada”.
“Saya
tidak tahu. Mungkin dia tidak ada di tempat ini. Sudah kabur…"
"Kalau
dia pergi ke tempat lain, kau pasti tahu kemana perginya. Jangan coba berdusta.
Bisa-bisa kubetot dua telingamu, kujadikan seperti telinga kelelawar…."
"Saya
benar-benar tidak tahu. Biasanya Sang Pemimpin hanya bersamadi di Teluk. Atau
pergi ke Bukit Jati."
"Saat
ini dia tidak bersamadi di Teluk. Kursi batunya ada di sini. Berarti dia pergi
ke Bukit Jati. Tunjukkan aku jalan ke sana.”
"Demi
Tuhan, jangan! Jangan paksa aku menunjukkan jalan ke Bukit Jati itu. Sang
Pemimpin akan membunuhku seperti dia membunuh sepuluh kelelawar kepala bayi.
Padahal mereka adalah anak-anaknya sendiri. Nyawaku jauh lebih tidak berharga
baginya dibanding dengan kelelawar bayi itu."
"Kau
boleh pilih, mati ditangan Sang Pemimpin yang belum tentu kejadiannya, atau
mati di tanganku saat ini juga!" Wiro angkat tangan kanannya siap hendak
menggebuk kepala Mantilo.
Si
pincang ketakutan setengah mati.
"Tidak…
Jangan. Saya akan tunjukkan…."
"Tunggu,
ada apa di Bukit Jati itu? Kenapa makhluk kampret itu suka pergi ke sana."
"Disitu
ada Goa Air Biru. Di situ ada seorang kakek bernama Ki Sepuh Tumbal
Buwono…"
Keterangan
pemuda pincang terputus karena di ujung lorong terdengar suara
teriakan-teriakan perempuan disertai suara pintu digedor.
"Suara
jeritan perempuan. Banyak sekali. Suara gedoran pintu. Siapa mereka? Apa yang
terjadi?" tanya Wiro.
"Mereka
para istri Sang Pemimpin. Sang Pemimpin membunuh anak-anak mereka lalu mengunci
mereka di dalam kamar masing-masing. Mereka sekarang berada dalam ketakutan.
Ingin keluar dari kamar."
"Pasti
ada sebabnya pemimpinmu berbuat begitu."
"Salah
seorang istri Sang Pemimpin melarikan diri. Istriistri lainnya tidak tahu
kemana perginya…."
"Bintang
Malam, pasti yang lari itu istrinya yang bernama Bintang Malam." pikir
Wiro. "Mantilo, lekas antarkan aku ke Goa Air Biru."
"Saya
akan antarkan. Tapi apakah sebelas istri Sang Pemimpin itu tidak perlu ditolong
lebih dulu. Saya mendengar ancaman Sang Pemimpin. Jika dia tidak menemui
istrinya yang lari dan sebelas perempuan itu tidak memberitahu dimana beradanya
istrinya yang satu itu maka semua mereka akan diceburkan ke dalam kolam Ikan
Dajal."
“Hem….
Hatimu baik juga masih mau mengingatkan menolong orang lain. Pasti mereka
perempuan-perempuan cantik dan masih muda-muda ujar Wiro sambil senyum. Mantilo
juga ingin tersenyum tapi tidak berani. “Tadi kau menyebut kolam Ikan Dajal.
Kolam apa itu." Eh, tadi aku melihat sebuah kolam bertutup gelagar kayu
hitam. Letaknya di depan kursi batu di ruangan sana…
"Betul,
itu kolam yang saya maksudkan. Kolam Ikan Dajal adalah kolam maut. Jika
seseorang diceburkan ke sana, ikan raksasa yang ada didalamnya akan melahap
habis dag orang itu. Dalam beberapa kejapan mata saja orang itu hanya akan
tinggal tulang belulang. Sebelumnya ada seorang nenek aneh hendak diceburkan
Sang Pemimpin ke dalam kolam. Entah mengapa dia menunda. Ketika Sang Pemimpin
kembali si nenek sudah lenyap entah ke mana."
Wiro
terkejut mendengar keterangan si pincang Mantilo.
"Kau
tahu pasti, nenek itu lenyap bukan diceburkan ke dalam kolam Ikan Sundal?"
"Ikan
Dajal, bukan Ikan Sundal…"
"Dajal
sama Sundal hampir sama! Kenapa perlu diributkan!" bentak Who. "Jawab
pertanyaanku. Kau yakin nenek itu tidak dicemplungkan ke dalam kolam?"
"Saya
yakin. Karena setiap ada orang atau binatang suguhan yang diceburkan ke dalam
kolam, saya yang selalu mengambil tulang belulangnya, dibantu seorang teman.
Namanya Habili. Saya tidak tahu dia berada di mana sekarang.”
Wiro
garuk kepalanya. Keterangan pemuda pincang bernama Mantilo itu mungkin benar.
Tapi mungkin pula Kelelawar Pemancung Roh memang telah menceburkan si nenek ke
dalam kolam maut lalu menyurun Habili membersihkan kolam.
Ada
sesuatu yang mundadak muncul dibenak Wiro. Keterangan Pelangi Indah. Dipadu
dengan keterangan Bintang Malam, Kelelawar Pemancung Roh memiliki nyawa
pinjaman Nyawanya berada pada satu makhluk yang tidak pernah menginjakkan kaki
di tanah. Ikan adalah makhluk yang seumur hidup selalu berada dalam air dan
tidak punya kaki dan tidak mungkin menginiak tanah.
"Pecah
sekarang rahasia kematian makhluk jahanam itu!" Wiro kepalkan tinju.
"Mantilo. Sebelum kita menolong sebelas perempuan itu, aku harus lebih
dulu memusnahkan Ikan Dajal dalam kolam batu. Ikut aku, jangan coba
lari!"
******************
2
MIMPI DUA
GADIS CANTIK
SEJAK
Pendekar 212 meninggalkan puncak timur Gunung Merapi yang menjadi tempat
kediaman Kelompok Bumi Hitam, gadis cantik bernama Rembulan korap kali
kedapatan oleh teman-temannya sedang duduk menyendiri. Hal ini juga telah
diketahui oleh Pelangi Indah. Ketua Kelompok Bumi Hitam.
Pagi itu
kembaii Pelangi Indah menemui Rembulan tengah duduk bermenung diri dekat
pancuran besar tempat di mana para gadis bersiram mandi dan mencuci pakaian
sambil bercengkerama. Ketika rombongan temantemannya pergi Rembulan sengaja
mencari tempat duduk yang baik dekat pancuran. Kain hitam tipis yang jadi cadar
wajahnya terlipat di atas pangkuan.
Gadis itu
tidak tahu berapa lama dia duduk termenung di tepi pancuran itu ketika
tiba-tiba dia nendengar ada langkah kaki bergerak perlahan mendatangi ke arah
tempatnya duduk. Cepat-cepat Rembulan mengenakan cadar hitamnya dan bangkit
berdiri. Ternyata yang datang bukan siapa-siapa melainkan Pelangi Indah,
sahabat dan Ketua Kelompok Bumi Hitam. Sang Ketua tidak mengenakan cadar.
Rembulan buka kembali cadar yang barusan dikenakannya.
"Benar
rupanya keterangan para sahabat. Kau duduk menyendiri, termenung di tempat ini.
Sudah lama kau berkelakuan seperti ini. Rembulan, gerangan apa yang ada di
dalam pikiran dan hatimu?"
Rembulan
tersipu.
“Duduklah
aku akan duduk di sebelahmu. Mungkin ada yang hendak kau jelaskan padaku.”
Rembulan
kembali duduk ke atas batu besar dekat pancuran. Pelangi duduk di sebelahnya.
"Apa
yang harus aku jelaskan Ketua?" tanya Rembulan.
"Mengapa
kau akhir-akhir ini banyak bersepi diri, termenung seperti memikirkan
sesuatu?"
"Tidak
ada yang aku pikirkan, perlu apa pula bermenung diri. Hanya saja…."
"Hanya
saja apa?" tanya Pelangi Indah.
"Udara
di puncak Merapi belakangan ini terasa agak panas. Tempat ini, agaknya
satu-satunya tempat yang paling tepat untuk duduk menyejukkan diri."
“Menyepi
seorang diri, tidak mengajak sahabat lainnya?" Ujar Pelangi Indah.
"Kalau
semua para sahabat anggota Kelompok Bumi Hitam berada di tempat ini, lantas siapa
yang menjaga tempat kediaman kita?"
Pelangi
Indah tertawa.
"Rembulan,
kau pandai menyimpan rahasia hati. Tetapi harap mau berterus-terang padaku.
Jika ada kegelisahan atau ada ganjalan di hatimu, siapa tahu aku bisa
menolong."
Rembulan
terdiam, lalu berpaling menatap wajah jeiita Pelangi indah.
"Sang
Ketua, terima kasih kau ada perhatian begitu besar terhadapku. Sebenarnya ini
hanya satu hal kecil saja. Yang aku merasa tidak perlu menjelaskan atau
menceritakan pada Ketua."
"Rembulan,
kau lupa pada semua pelajaran yang ada dalam kitab pegangan kita. Antara Hitam
Dan Putih. Di situ ada bab yang mengupas perihal masalah-masalah kecil. Begitu
banyak manusia menganggap enteng hal-hal kecil, bahkan melupakannya. Manusia
lupa bahwa mereka terantuk dan tergelincir lalu jatuh oleh batu kecil, bukan
batu besar. Sahabatku, kau tak ingin berbagi rasa dengan aku Ketuamu?"
Rembulan
pegang tangan Pelangi Indah. Setelah diam sejenak dia berkata.
"Tadi
malam…"
"Tadi
malam kenapa? Ada apa?" tanya Pelangi Indah ketika dilihatnya Rembulan
ragu-ragu meneruskan ucapan.
"Aku
bermimpi."
"Aahh….
Apa mimpimu? Suatu yang bagus? Suatu yang indah?"
"Ketua
masih ingat pada pemuda bernama Wiro Sableng yang beberapa waktu lalu berada di
sini?"
Pelangi
Indah berdiri dari duduknya. Jari-jari tangannya yang halus dan bagus memotes
selembar daun pepohonan di dekatnya, lalu kembali duduk di samping Rembulan.
"Tentu
saja aku ingat pemuda itu. Siapa bisa melupakan orang yang telah menolong kita
begitu besar. Jadi kau bermimpi tentang dirinya?"
"Benar
Ketua."
"Bagaimana
mimpimu itu?"
"Aku
melihat Wiro berdiri di puncak satu bukit batu. Di tangan kanannya dia memegang
ikat kepala kain sutera hitam berbatu yang menurut Ketua telah diberikan
padanya. Tiba-tiba langit yang tadinya terang benderang berubah kelam. Lalu
ada satu makhluk besar bercahaya seperti seekor burung raksasa menukik dari
langit, menembus kegelapan dan menyambar pemuda itu. Wiro pergunakan ikat
kepala kain sutera untuk membentengi diri dan memukul makhluk yang menyerang.
Makhluk itu menguik keras, terpental tapi sempat merampas ikat kepala kain
sutera lalu terbang dan lenyap di langit gelap. Wiro sendiri terpelanting dari
puncak bukit batu, jatuh terguling ke dalam sebuah jurang. Suara jeritannya
yang keras dan panjang terasa seolah masih bergaung di telinga….”
Rembulan
berpaling. Dilihatnya Pelangi Indah memandang ke arah pancuran. Dari raut
wajahnya sang Ketua seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Ketua,
apakah kau mendengar apa yang barusan saya tuturkan?" Bertanya Rembulan.
"Aneh…"
Ucap Pelangi Indah.
“Mimpiku
aneh menurut Ketua?"
"Mimpimu
dan mimpiku."
"Rupanya
Ketua juga bermimpi?"
Pelangi
Indah mengangguk. "Mimpiku sangat sama dengan mimpimu."
Bagaimana
bisa terjadi?" uiar Rembulan.
"Justru
itulah makanya aku katakan aneh. Bedanya aku bermimpi dua malam yang lalu dan
kau baru tadi malam." Jawab Pelangi Indah pula. Lalu dia menatap paras
Rembulan dan dalam hatinya Ketua Kelompok Bumi Hitam ini berkata.
"Mimpimu adalah sebagian saja dari apa yang membuat dirimu sering
termenung dan memencilkan diri. Ada hal lain yang lebih besar yang menyebabkan
kau berkeadaan seperti ini."
"Ketua…."
“Hemmm?"
“Mungkinkah
pemuda itu tengah berada dalam bahaya?’"
"Bukan
itu saja. Agaknya petunjuk dalam mimpi memberitahu bahwa ikat kepala kain
sutra yang ditempeli batu Mustika Mata Srigala telah dirampas seseorang dari
tangan Wiro."
"Wiro
adalah seorang pendekar besar. Apa semudah itu musuh mengalahkan lalu merampas
ikat kepala kain sutera hitam?" Ujar Rembulan pula.
“Setiap
ilmu itu, betapapun tingginya pasti selalu ada yang lebih tinggi. Ujar-ujar
mengatakan Di atas lagit masih ada langit. Ini membuat seseorang berilmu tinggi
tidak boleh lengah, harus selalu menambah dan mengasah ilmu, bersikap rendah diri
sambil terus menjaga kewaspadaan."
"Pendekar
212 memiliki dan melakukan semua itu. Mengapa dia masih dapat dikalahkan?"
Kata Rembulan pula.
Pelangi
Indah menyahuti. "Acap kali kejahatan itu selalu berada satu langkah di
depan kebenaran. Harap camkan itu baik-baik. Ingat sewaktu Ki Tawang Alu
memperlakukan kita secara culas dengan ilmunya yang tinggi?"
Rembulan
angguk-anggukkan kepala. "Saya akan selalu ingat ucapan dan nasihat
Ketua."
Pelangi
Indah bangkit dari duduknya. Dia melangkah mendekati pancuran, membasahi dua
tangannya lalu mengusapkan air sejuk itu ke wajahnya hingga wajah yang cantik
itu tampak segar dan lebih cantik. Kemudian Pelangi Indah balikkan badan ke
arah Rembulan.
"Rembulan
sahabatku. Dari keterangan Wiro, kita tahu bahwa dia dan gurunya akan menuju
Teluk Akhirat. Mungkin di tempat itu dia mengalami malapetaka. Dan musuh yang
dihadapinya pasti bukan lain Kelelawar Pemancung Roh."
Mendadak
saja Rembulan sudah menduga apa yang ada dalam pikiran Ketua Kelompok Bumi
Hitam itu. Maka dia cepat berkata.
"Ketua,
kita masih berhutang budi pada Pendekar 212. Sampai kapanpun dan apapun yang
kita lakukan untuknya rasanya semua budi besarnya itu tidak akan terbalas.
Karenanya izinkan aku meninggalkan Gunung Merapi. Aku akan ke Teluk Akhirat
untuk melihat keadaannya. Jika memang benar dia dalam bahaya aku akan berusaha
menolong."
Pelangi
Indah tersenyum. Dalam hati gadis ini berkata. "Sebenarnya perihal diri
pemuda itulah yang setiap hari menjadi lamunannya. Kini dia hendak bertindak
mendahului diriku. Jangan-jangan apa yang aku rasakan menjadi perasaannya
pula. Ah, apakah aku harus berterus terang padanya agar tidak kedahuluan?"
“Rembulan,
hatimu sungguh baik. Tidak melupakan budi orang. Wiro telah berjasa besar bagi
Kelompok Bumi Hitam. Namun lebih dari itu aku merasa dirikulah yang paling
berhutang besar padanya. Kalau dia tidak menyerahkan Kalung Srigala Perak itu
seumur hidup aku akan tersiksa dalam Santet Seratus Tahun." (Baca serial
TDS sebelumnya berjudul "Srigala Perak")
"Jadi
Ketua mengizinkan aku segera berangkat menuju Teluk Akhirat? Kalau begitu aku
mohon restumu."
"Tidak
Rembulan." ucap Pelangi Indah yang membuat wajah Rembulan berubah karena
putus harapan. “Aku sendiri yang akan pergi ke Teluk Akhirat."
"Ketua
bisa mewakilkan padaku."
"Tanggung
jawab tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam ada padaku. Jadi aku harus turun
tangan sendiri. Selama aku pergi kau menjadi wakilku di sini."
Rembulan
terdiam. Kepala ditundukkan. Lalu suaranya terdengar perlahan ketika berucap.
“Aku menurut apa kata Ketua.”
Pelangi
Indah dekati gadis itu, pegang bahunya lalu berkata. “Rembulan, perasaan kita
bisa saja sama. Namun sekali ini kau harus mengalah. Bukan karena aku Ketua.
Kuharap kau bisa mengerti…"
Di balik
rimbunan semak belukar seorang bermata bagus dan sejak tadi mengintip serta
mendengar percakapan Pelangi Indah, perlahan-lahan menggeser kakinya. Dalam
hati orang ini berkata. "Aku harus mendahului Ketua. Jika kemudian hari
Ketua menghukumku karena telah berlaku lancang mendahului, aku pasrah. Aku tidak
bisa melupakan dirinya. Aku bahagia dalam hukuman asalkan dapat bertemu dengan
dia, apa lagi bisa menolongnya. Aku tahu jalan memintas mencapai Teluk Akhirat.
Dua hari lebih cepat dari jalan biasa."
Sebelum
Pelangi Indah dan Rembulan tinggalkan tempat itu, orang dibalik scmak belukar
telah lebih dulu berkelebat pergi.
******************
3
MUSNAHNYA
IKAN DAJAL
PENDEKAR
212 Wiro Sableng dan pemuda pincang Mantilo sampai di ruangan yang ada kursi
batu dan kolam besar. Wiro mengelilingi kolam itu dua kali. Dia tidak melihat
benda apapun di dalam kolam walau airnya jernih bening.
"Aneh,
tak ada ikan besar yang kau katakan itu. Aku tidak melihat apa-apa.” Kata murid
Sinto Gendeng sambil menatap Mantilo.
“Memang
begitu keadaannya. Tak satu matapun bisa menembus sampai ke dasar kolam.
Percaya pada saya, ikan maut itu ada di dalam kolam batu ini."
"Perlu
aku buktikan dulu,” kata Wiro. Dia melangkah mendekati kolam. Ketika dilihatnya
Mantilo berjalan ke arah kursi batu. Wiro segera membentak "Kau mau
berbuat apa?”
"Saya
tahu bagaimana caranya menggeser kayu penutup kolam.” jawab Mantilo.
"Kalau
begitu lakukanlah. Awas kalau kau berani menipu!”
Mantilo
memanjat ke atas kursi batu besar. Dengan ibu jarinya dia menekan kuat-kuat
sebuah tombol di lengan kursi sebelah kanan. Perlahan-lahan gelagar kayu
penutup kolam bergeser ke samping. Mantilo melompat turun dari atas kursi batu.
“Jangan berdiri terlalu dekat ke kolam. Ikan Dajal mampu melesat keluar kolam,
membuat sambaran yang bisa memutus leher. Itu sebabnya Sang Pemimpin menutup
bagian atas kolam."
Tanpa
perdulikan ucapan Mantilo. Wiro melangkah maju. Dia berdiri dua langkah di tepi
kolam.
"Pelangi
Indah memberitahu. Nyawa Kelelawar Pemancung Roh ada pada satu makhluk yang
tidak pernah menginjak tanah. Aku yakin makhluk di dalam kolam inilah tempat
dia menumpangkan nyawa! Kalau aku binasakan Ikan Dajal ini. Kelelawar Pemancung
Roh pasti amblas kekuatannya."
Baru saja
Wiro berkata dalam hati, tiba-tiba tidak terduga dan dalam kecepatan luar
biasa, satu makhluk putih besar sekali melisat keluar kolam.
“Wuttt"
Dalam
kejutnya Wiro melihat satu benda tipis laksana golok besar menebas, membeset di
atas kepalanya. Dengan cepat murid Sinto Gendeng rundukkan kepala dan melompat
ke belakang. Dia sampai terjengkang di lantai batu dalam usaha menyelamatkan
kepala. Tak urung ada bagian rambut di atas ubun-ubun serta ujung ikat kepalanya
kena disambar dan dibabat putus! Dinginlah tengkuk sang pendekar. Wajahnya
sesaat pucat tak berdarah. Mantilo melompat dan menarik bahunya, berusaha
menjauhkan Wiro dari tepi kolam.
“Gila!
Hampir kepalaku dibuat menggelinding!" Wiro garuk-garuk kepala lalu
bangkit berdiri. Mantilo kembali memberi ingat agar Wiro menjauhi kolam. Tapi
pemuda pincang ini jadi tertegun ketika dia melihat bagaimana Wiro mengangkat
tangannya ke atas dan perlahan-lahan sebatas siku ke bawah tangan itu berubah
menjadi seperti perak, putih menyilaukan. Udara di ruangan batu itu mendadak
terasa panas sekali.
Tiba-tiba
Wiro hantamkan tangan kanannya ke dalam kolam.
"Wusss!"
Satu
sinar putih berkiblat. Ruangan batu laksana diterangi kilatan petir. Udara
panas luar biasa membuat Mantilo menjerit ketakutan dan lari ke arah pintu
“Byaaarrr!"
Air kolam
batu seperti mendidih dan muncrat ke atas.
Kembaii
Mantiio menjerit ketika dapatkan kulit lengannya yang kecipratan air kolam
melepuh seolah diguyur air panas.
Di dalam
kolam muncul suara aneh. Seperti suara orang menggergaji tidak berkeputusan.
Lalu suara itu lenyap. Berganti dengan suara seperti belasan kerbau melenguh
bersamaan. Air kolam kembali muncrat. Ada bau aneh, bau daging terpanggang.
Lalu, dengan mata mendelik Wiro melihat bagaimana dari dalam kolam
perlahan-lahan mengapung keluar satu sosok makhluk raksasa dalam keadaan
kelojotan. Sosok ini berbentuk seekor ikan luar biasa besarnya. Hampir seluruh
tubuh ikan ini yang tadinya berwarna putih kini menggembung merah terkelupas
dan mengepulkan asap. Salah satu matanya hancur tinggal merupakan rongga
kosong hangus. Mulut ikan ini terbuka lebar, memperlihatkan barisan gigi dan
taring besar setajam deretan mata gergaji raksasa. Darah hitam mengucur tiada
henti dari mulut makhluk ini.
"Ikan
Dajal…" desis Wiro. Pasti ini makhluknya yang bernama Ikan Dajal. Mudah
mudahan Eyang Sinto belum menjadi santapannya. Kalau sampai orang tua itu sudah
dilahapnya, kualat aku seumur-umur."
Wiro
palingkan kepala ke arah dimana tadi Mantilo berada. Tapi ternyata pemuda
pincang itu ak ada lagi di tempat itu.
"Sialan!"
maki Wiro.
Dia
segera keluar dari ruangan batu. Wiro tidak tahu mau menuju kemana. Sementara
itu di kejauhan kembali terdengar suara teriakan-teriakan serta gedoran pintu.
Sebelas istri Kelelawar Pemancung Roh rupanya masih terus berusaha keluar dari
dalam kamar yang dikunci.
Di depan
Wiro ada beberapa lorong batu. Dia berpikirpikir apakah akan menolong
perempuan itu lebih dulu baru mencari jalan ke Goa Air Biru.
“Perempuan-perempuan,
walau dikunci dalam kamar paling tidak untuk sementara berada dalam keadaan
aman. Tapi kalau guruku, siapa yang menjamin keselamatannya?" Wiro garuk
kepala. Akhirnya dia kembali ke lorong yang ada lukisan. Menyusuri lorong ini
sejauh dua puluh tombak, Wiro melihat cahaya terang di depannya. Ketika dia
sampai di ujung lorong dan menyeruak di antara semak belukar yang menutupi.
Wiro dapatkan diri di satu tempat. jauh dari pantai.
Wiro
memandang berkeliling. "Bukit Jati… Goa Air Biru. Dimana letaknya?"
Selagi
dalam kebingungan seperti itu tiba-tiba Wiro mendengar suara menguik riuh di
atas kepalanya. Murid Sinto Gendeng dongakkan kepala. Sekitar dua puluh
kelelawar beterbangan berputar-putar di atas kepalanya. Melihat hal ini Wiro
segera alirkan tenaga dalam ke tangan kanan. Sesaat lagi binatang sisa makhluk
peliharaan Kelelawar Pemancung Roh itu pasti akan menyerbunya dengan ganas.
Tapi aneh, setelah ditunggu beberapa lama kelelawar-kelelawar itu tidak
menyerang.
"Aneh,
mereka hanya berputar-putar di atas kepalaku sambil menguik. Apa artinya
ini?" pikir murid Sinto Gendeng. Tiba-tiba dilihatnya kelelawar kelelawar
itu berputar ke bawah lalu dengan kecepatan lebih rendah terbang ke arah
timur. Wiro terus memperhatikan tapi tetap tak bergerak di tempatnya.
Di depan
sana kelelawar terbang kembali ke arah Wiro. berputar beberapa kali, melayang
rendah dan kembali terbang ke arah timur. Demikian sampai tiga kali. Wiro
menggaruk kepala coba mengartikan apa maksud binatang-binatang itu berkelakuan
seperti itu. Kali keempat kelelawar melakukan hal yang sama. Wiro rasa-rasa
mulai tahu apa yang dimaui binatang tersebut. Dia berlari mengikuti arah
terbangnya kelelawar menuju timur.
Tak
berapa lama berlari pohon-pohon kelapa mulai berkurang, berganti dengan
pohon-pohon lain. Di satu tempat kelelawar yang terbang di udara kembali
membuat gerakan berputar. Memandang ke depan Wiro melihat satu bukit kecil
membentang dari barat ke arah timur. Bukit ini tertutup oleh pohon-pohon jati
yang dari besar serta bentuknya telah berumur puluhan tahun.
"Bukit
Jati." ujar Wiro. "Kelelawar itu menuntunku ke bukit ini. Sekarang di
mana terletaknya Goa Air Biru. Lalu bagaimana aku harus berterima kasih pada
binatangbinatang itu?"
Di atas
sana kelelawar yang terbang berputar perlahanlahan turun merendah melewati
sebuah pohon kelapa yang putus disambar petir. Tiba-tiba itu satu demi satu
kelelawar itu menukik ke arah semak belukar. Lenyap sebentar lalu keluar lagi.
Kemudian kembali menukik memasuki semak belukar, sesaat setelah itu keluar
kembali.
Wiro kini
maklum. Binatang-binatang itu berusaha memberitahu bahwa Wiro harus masuk ke
balik semak belukar itu. Tidak menunggu lebih lama, begitu sekitar dua puluh
kelelawar keluar dari semak belukar untuk ketiga kalinya Wiro segera
mendatangi, menguak semak belukar dan terkejut melihat sebuah goa batu berwama
biru.
"Aku
benar-benar berterima kasih pada kalian." ucap Wiro sambil memandang ke
udara. Dia hanya bisa melambaikan tangan. Kalau dari dulu kalian bersikap
bersahabat denganku, tidak akan aku membunuh kawankawan kalian." Wiro
lambaikan tangannya sekali lagi. Kelelawar di atas sana keluarkan suara menguik
panjang lalu melesat lenyap ke arah utara.
******************
4
WULANDAYU
SATU
sosok tinggi besar melangkah memasuki Goa Air Biru. Dia berhenti di depan
telaga, memandang berkeliling dengan cepat lalu memperhatikan Ki Sepun Tumbal
Buwono yang duduk tak bergerak dalam cegukan batu, sepasang mata terpejam.
“Tidak
ada siapa-siapa di sini selain tua bangka itu. sepuluh kelelawar kepala bayi
memberitahu mereka telah membawa Sinto Gendeng ke tempat ini. Mungkin anakanak
jahanam itu berdusta padaku. Atau mungkin Sinto Gendeng memang sudah ke sini,
lalu ada yang memindahkannya ke tempat lain.” Kelelawar Pemancung Roh mengelilingi
telaga satu kali, lalu masuh ke dalam cegukan batu.
“Ki
Sepuh, aku tahu kau tidak sedang bersemadi. Kau juga tidak sedang tidur. Buka
dua matamu dan jawab pertanyaanku!” Suara keras Kelelawar Pemancung Roh
menggaung dalam cegukan batu.
Perlahan-lahan
orang tua yang kepalanya dimasukkan dalam kerangkeng besi membuka dua matanya.
Dua bola mata yang kebiruan menatap ke arah Kelelawar Pemancung Roh.
“Ada kain
sutera hitam berbatu melingkari keningnya. Batu itu agaknya bukan batu
sembarangan. Dari mana agaknya murid murtad ini mendapatkannya?” Ki Sepuh
berkata dalam hati. Lalu baru keluarkan ucapan.
“Damar
Soka, ratusan hari telah berlalu sejak terakhir kali kau datang ke sini. Hari
ini kau muncul. Katakan apa penyebabnya."
"Tua
bangka jahanam! Sudah berapa kali aku katakan! Jangan kau pernah berani
menyebut nama itu! Aku adalah Kelelawar Pemancung Roh penguasa Teluk Akhirat!
Bukan Damar Soka!"
Ki Sepuh
Tumbal Buwono tertawa perlahan. "Kau takut pada namamu sendiri. Kau takut
pada baying-bayangmu sendiri. Padahal seumur hidup bayang-bayang itu selalu
mengikuti kemana kau pergi. Tidak ada satu orangpun bisa melupakan masa silam.
Apa lagi dengan selangit dosa seperti dirimu.”
"Ki
Sepuh, jika kau berani berpanjang dan berlancang mulut, saat ini juga akan
kutarik ke dua kakimu sampai lehermu putus dan kepalamu tertinggal di dalam
kerangkeng besi celaka itu!”
Kembali
Ki Sepuh tertawa perlahan.
"Aku
mencari dua orang yang kabur dari bangunan kediamanku. Pertama seorang nenek
bernama Sinto Gendeng. Aku mendapat keterangan sepuluh tuyul kepala bayi
membawa nenek itu ke dalam goa ini…"
"Lalu
apakah kau ada melihat nenek yang kau cari itu?" tanya Ki Sepuh pula.
"Siapa orang kedua yang tengah kau cari?’
"Istriku.
Bintang Malam."
"Hemmm….
Apakah kau juga melihat perempuan itu di sini?"
Sepasang
mata sipit Kelelawar Pemancung Roh yang aslinya bernama Damar Soka itu
mendelik. Mulutnya bergumam beberapa kali.
"Aku
memang tidak melihat. Tapi aku yakin dua orang itu pernah berada di tempat ini.
Lekas kau beri tahu ke mana keduanya dipindahkan? Siapa yang memindahkan?"
“Dua
orang yang kau cari tidak pernah datang ke tempat ini."
"Kau
berdusta! Aku tahu!" Suara Kelelawar Pemancung Roh menggelegar. Dia
melangkah ke hadapan Ki Sepuh, memegang rantai besi yang menjulai dari langit-langit
batu ke bagian atas kerangkeng besi di kepala si kakck. "Sekali kutendang
tubuhmu atau kubetot rantai besi ini, lehermu akan putus. Apa itu yang kau
inginkan?"
"Aku
sudah lama menunggu saat yang kau sebutkan itu. Lima tahun mendekam di tempat ini
aku tidak pernah tidur. Kematian akan membuatku tidur nyenyak. Ha… ha…
ha…"
Saking
geramnya Kelelawar Pemancung Roh goyang rantai besi hingga kerangkeng di kepala
Ki Sepuh ikut bergerak. Bagian berbentuk mata gergaji taiam yang melingkar di
leher si kakek menggores kulit dan daging lehernya. Untuk kesekian kalinya
darah mengucur. Walau rasa sakit bukan alang kepalang tapi dengan menggigit
bibir Ki Sepuh bisa bertahan hingga dia tidak sampai berteriak.
Kelelawar
Pemancung Roh lepaskan pegangannya pada rantai besi lalu melangkah mengitari
tubuh Ki Sepuh Tumbal Buwono yang mengenakan jubah biru besar gombrong. Di
belakang tubuh si kakek dia berhenti agak lama. Memandang ke langit-langit
cegukan, memperhatikan lantai batu lalu melihat ke arah telaga. Ki Sepuh
pejamkan mata, tidak bergerak tapi sengaja batuk-batuk beberapa kali agar Kelelawar
Pemancung Roh tidak mendengar suara hembusan nafas dua orang yang mendekam di
dalam jubah gombrongnya.
Di dalam
jubah kalau Bintang Malam dalam takutnya berusaha menahan nafas, si nenek Sinto
Gendeng setengah mati menahan air kencingnya agar tidak terpancar.
Kelelawar
Pemancung Roh keluar dari cegukan batu.
"Ki
Sepuh, aku memang tidak menemukan siapa-siapa di tempat ini. Tapi aku tahu kau
berdusta! Kalau aku bisa membuktikan aku akan kembali untuk memutus
lehermu!"
"Lebih
cepat kau lakukan lebih baik. Dan mungkin aku akan mengucapkan terima kasih
adamu. Damar Soka.”
Karena
kembali disebut dengan nama aslinya. Kelelawar Pemancung Roh melompat ke
hadapan Ki Sepuh. Tangan kanannya diulurkan.
“Srett!"
Lima jari
tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah menjadi cakar besi bergelimang darah!
"Kau
ingin mengorek jantungku, atau mau membusai perutku, silahkan. Makin cepat kau
membunuhku lebih enak rasanya."
"Tua
bangka jahanam!"
Lima jari
tangan Kelelawar Pemancung Roh bergetar berkeretakan. Tapi tangan itu tidak
bergerak. Makhluk tinggi besar ini tidak melakukan apa-apa.
Ki Sepuh
Tumbal Buwono menyeringai.
Kelelawar
Pemancung Roh bantingkan kakinya ke lantai batu hingga tempat itu bergetar, air
telaga bergoyang bergemericik. Dengan rahang menggembung penguasa Teluk
Akhirat berkata.
“Jika aku
kembali menemuimu, mungkin itulah batas terakhir kehidupanmu!"
"Ancamanmu
sungguh enak didengar, Damar Soka. Di dalam arwah, aku pasti akan bertemu
dengan Wulandayu, ibumu yang kau bunuh secara keji! Jika ada titipan pesan,
pasti akan kusampaikan padanya."
Kelelawar
Pemancung Roh alias Damar Soka berteriak keras mendengar disebutnya nama
Wulandayu oleh si kakek. Seperti orang gila dia memukul-mukul dadanya sendiri
lalu sambil tiada hentinya merutuk dia tinggalkan Goa Air Biru.
Di dalam
jubah biru gombrong Bintang Malam keluarkan suara.
"Kek,
Kelelawar Pemancung Roh sudah pergi. Apa saya boleh keluar sekarang?"
"Aku
juga. Keringatmu baunya asem tidak enak. Bisa mati pengap aku di dalam
sini." Sinto Gendeng ikut bicara.
"Kalian
berdua tetap di dalam jubah sampai aku memberitahu bahwa kalian boleh
keluar."
Bintang
Malam diam saja. Tapi Sinto Gendeng memaki panjang pendek.
“Nek,
kancing mulutmu. Aku khawatir murid murtad itu masih belum pergi jauh dari
tempat ini.”
"Kalau
kelewat lama berada di sini, mulut atas memang bisa aku kancing. Tapi aku tidak
menjamin bisa mengancing mulut sebelah bawah! Hik… hik… hik!"
Ki Sepuh
terbatuk-batuk kecil mendengar ucapan Sinto Gendeng itu. Dia berkata. “Kalau
tadi aku tidak menceburkan dirimu ke dalam telaga hinggai bersih dan tidak
berbau, lalu tubuhmu masih digelimangi bau pesing, Kelelawar Pemancung Roh
pasti dapat mencium bau kencingmu dan dia akan tahu bahwa kau sembunyi di dalam
jubah. Sekarang kau tahu mengapa aku menyuruh menceburkan dirimu dalam telaga.
"
Sinto
Gendeng terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. “Ya sudah. Sekarang mulutku atas
bawah akan kukancing rapat-rapat!”
“Kek, aku
ada satu pertanyaan," Bintang Malam bersuara.
“Kau
lagi! Satu berhenti bicara satunya malah mmbuka mulut. Apa yang kau ingin
tanyakan?"
"Tadi
kau mengatakan ibu Kelelawar Pemancung Roh yang bernama Wulandayu itu mati
dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh sendiri."
Benar.
Dan itu merupakan satu dosa besar yang selama ini selalu berusaha disembunyikan
oleh murid murtad itu. Kenyataannya memang hanya ada tiga orang yang mengetahui
kejadian itu. Yang dua orang telah meninggal dunia. Tewas secara aneh. Mungkin
dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh. Orang ketiga masih hidup dan mungkin akan
segera menemui ajal pula. Orang itu adalah diriku sendiri!"
“Bagaimana
setega itu dia membunuh ibunya sendiri." Ujar Bintang Malam pula.
"Peristiwanya
sekitar tiga puluh tahun silam." tanpa di minta Ki Sepuh Buwono lalu
bercerita. “Semasa mudanya Damar Soka banyak berteman dan bergaul dengan
orang-orang jahat, termasuk para perampok. Dia suka berjudi, mengganggu anak
istri orang dan tukang mabuk. Waktu itu dia masih bujangan. Aku sebagai gurunya
berulang kali menemui dan menghukumnya, namun anak itu agaknya tidak bisa
dibuat jera, apalagi disuruh bertobat. Suatu hari akhirnya dia aku usir dari
pertapaan. Suatu malam dia kalah besar dalam perjudian. Dalam keadaan mabuk
berat dia pulang ke rumah. Entah setan apa yang masuk ke dalam dirinya, dia
melihat ibunya yang sedang tidur pulas bukan seperti ibunya. Tapi seolah-olah
perempuan itu adalah seorang lain, seorang gadis. Terjadilah perbuatan luar
biasa kejinya itu. Damar Soka merusak kehormatan ibunya. Ketika ibu dan anak
sadar apa yang terjadi Damar Soka lalu membunuh ibunya. Sebelum menghembuskan
nafas penghabisan. Wulandayu, ibu Damar Soka menjatuhkan sumpah dan kutuk
terhadap anaknya. Akibat sumpah dan kutuk itu sosok Damar Soka berubah seperti
ujudnya yang sekarang ini. Selain itu dia tidak akan menemui kematian dan
sepanjang hidupnya dia akan mengalami banyak kesengsaraan. Kecuali jika satu
makhluk yang meminjamkan nyawanya dibunuh lebih dulu. Sampai saat ini tidak
satu orangpun mengetahui makhluk apa itu adanya. Setelah peristiwa itu Damar
Soka melenyapkan diri selama hampir tiga puluh tahun. Ketika dia kembali
menemuiku kelihatannya dia sudah menjadi orang baik-baik. Aku menerimanya
kembaii sebagai murid. Memberi beberapa ilmu tambahan. Dia kemudian meminta
beberapa ilmu terlarang padaku. Aku hanya nemberikan satu ilmu Yaitu Ilmu
Seribu Hawa Kematian. Setelah ilmu itu kuberikan dia memaksa minta ilmu-ilmu
lainnya. Aku menolak. Diriku lalu diperlakukannya seperti yang kau saksikan
saat ini. Seluruh tenaga dalam dan kesaktianku disedotnya. Aku lalu
dikerangkeng seperti ini."
Bintang
Malam merasa dingin kuduknya mendengar cerita Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Sinto
Gendeng terdiam bungkam namun hatinya nenyumpah habis-habisan.
“Kek,
bagaimana kalau…."
"Ki
Sepuh Tumbal Buwono menepuk tangan Bintang Malam lalu berbisik.
"Ada
orang datang…."
******************
5
KEPALA-KEPALA
YANG MENGGELINDING
DUGAAN Ki
Sepuh Tumbal Buwono benar. Sekeluarnya dari dalam Goa Air Biru Kelelawar
Pemancung Roh berdiri di dekat semak belukar. Saat itu bukan saja dia berusaha
mengingat-ingat semua percakapan dengan si kakek yang membuatnya marah setengah
mati, tapi dia juga mengingat seluruh keadaan di dalam cegukan batu. Ada
sesuatu yang semula tidak mencurigakan, yang setelah berada di luar goa membuat
dia berpikir dua kali.
"Aku
ingat aku melihat ada alur air setengah mengering antara telaga dan cegukan
tempat tua bangka keparat itu duduk bersila. Dalam telaga air biru tidak ada
makhluk apapun. Tapi jejak air yang kulihat memberi pertanda sepertinya ada
satu benda besar dikeluarkan dari dalam telaga, lalu diseret sampai ke lantai
batu cegukan dinding." Makhluk tinggi besar itu mendongak ke langit.
"Aneh, tidak seekor kelelawarpun kelihatan berkeliaran. Mereka tidak
menemui ajal semua. Apa yang terjadi? Di mana kelelawar penjaga Teluk
Akhirat?" Sesaat perhatian Kelelawar Pemancung Roh terbagi. Namun kemudian
kembali ingatannya pada jejak panjang di lantai batu dalam telaga. "Aku
yakin ada seseorang di tempat itu. Si nenek jahanam. Lalu dimana Bintang
Malam?" Makhluk tinggi besar ini kepalkan dua junya. Lalu dengan cepat dia
balikkan badan, bergegas masuk ke dalam Goa Air Biru.
Di dalam
ruang cegukan batu Ki Sepuh Tumbal Buwono merasa tercekat ketika melihat
kemunculan Kelelawar Pemancung Roh untuk kedua kalinya.
“Agaknya
ada sesuatu yang mencurigainya. Mungkin dia tahu…"
Kelelawar
Pemancung Roh berdiri ditepi telaga. Alur air yang mulai mengering di lantai
batu masih kentara. Dia ikuti alur itu dan sampai di hadapan Ki Sepuh.
“Orang
tua pendusta! Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima. Kau menyembunyikan
orang di tempat ini!"
"Damar
Soka, kecurigaanmu tidak beralasan. Kau belum buta. Apa kau lihat ada orang
lain di tempat ini?!"
"Ada!"
teriak Kelelawar Pemancung Roh. Lalu dia melangkah ke belakang si kakek dan
menarik ke atas jubah biru gombrong Ki Sepuh. Matanya membelalak, mulutnya
memaki keras ketika dari balik jubah tersembul sosok Sinto Gendeng dan Bintang
Malam. Dengan amarah meluap Kelelawar Pemancung Roh cekal leher si nenek, jambak
rambut Bintang Malam lalu membantingkan ke dua orang ini di hadapan Ki Sepuh.
Sinto Gendeng terkapar, memaki tak berdaya sementara Bintang Malam setelah
keluarkan pekikan ketakutan, mendekam di lantai dengan wajah pucat.
Dalam
hati Ki Sepuh mengeluh. "Nasib paling buruk sudah datang. Tadi tak ada
kecurigaan dalam dirinya. Bagaimana dia bisa kembaii dan menemukan dua orang
yang kusembunyikan dalam jubahku? Aku tidak takut mati. Tapi bagaimana nasib
dua orang ini?"
“Damar
Soka, aku siap menerima hukuman darimu. Jika aku melepas nyawa, kutukku akan
bersatu dengan kutuk ibumu. Hari nahasmu akan datang! Dan kau akan menemui ajal
dalam seribu sengsara!"
"Makhluk
jahanam ini pasti juga akan membunuh kami berdua! Hai! Aku tidak takut kau
bunuh. Aku berjanji tidak akan ikut-ikutan mengutukmu! Asal kau mau
membebaskan perempuan hamil ini. Membiarkannya keluar dari dalam goa sekarang
juga!" Sinto Gendeng keluarkan suara.
"Nenek
celaka! Tutup mulut peotmu! Nyawa kakek ini tidak ada harganya bagiku, apa lagi
nyawa kalian berdua! Buka mata kalian besar-besar. Lihat bagaimana aku
menghabisi tua bangka tak berguna ini!"
Habis
berkata begitu Kelelawar Pemancung Roh tendingkan kaki kanannya. Sinto Gendeng
berteriak marah. Untuk kesekian kalinya dia coba mengerahkan Ilmu Sepasang
Sinar Inti Roh. Tapi lagi-lagi gagal.
"Dukkk!"
Tendangan
Kelelawar Pemancung Roh mendarat telak di dada Ki Sepuh Tumbal Buwono.
Tendangan yang memiliki bobot hampir lima ratus kati itu bukan saja membuat
hancur dan melesak dada si kakek, tapi juga membuat tubuhnya mencelat mental ke
dinding batu sebelah belakang dalam keadaan tanpa kepala. Darah menyembur
mengerikan. Bintang Malam terpekik tubuhnya bergetar dilanda ketakutan. Sinto
Gendeng kembali berteriak keras dan keluarkan kutuk serapah habishabisan.
Sewaktu
Kelelawar Pemancung Roh menendang dada Ki Sepuh hingga tubuh kakek ini
terpental, kepalanya tak ikut mencelat karena tertahan oleh kerangkeng besi.
Bagian bawah kerangkeng yang berbentuk mata gergaji besar dan tajam dan
menjirat lehernya langsung menghunjam leher itu hingga putus! Apa yang terjadi
sungguh mengerikan. Darah yang muncrat dari potongan kepala serta yang
menyembur dari leher yang tcrsisa membasahi lantai batu!
Kelelawar
Pemancung Roh dengan beringas mencekal leher Sinto Gendeng dan Bintang Malam.
"Bagi
kalian berdua akan kupilihkan cara mati paling enak. Kalian akan kuceburkan ke
dalam kolam Ikan Dajal!" Sinto Gendeng kembali keluarkan kutuk serapah.
Bintang Malam menjerit tiada henti. Setengah berlari Kelelawar Pemancung Roh
segera keluar dari dalam Goa Air Biru. Namun makhluk tinggi besar ini serta
merta keluarkan suara menggembor dan hentikan langkah ketika di depan sana, di
mulut goa seorang pemuda berpakaian serba putih, rambut gondrong setengah
terbabat, tegak menghadang. Di tangan kanan pemuda ini memegang sebilah kapak
bermata dua memancarkan cahaya menyilaukan. Sementara tangan kiri yang diangkat
ke atas memancarkan warna seputih perak. Di luar goa saat itu udara mulai
redup karena sang surya sebentar lagi akan tenggelam.
"Keparat
kurang ajar!" maki Kelelawar Pemancung Roh.
"Makhluk
laknat! Lepaskan dua orang itu dan serahkan padaku ikat kepala kain sutera
hitam yang melingkar di keningmu!” Pemuda di mulut goa membentak lalu
melangkah mendekati Kelelawar Pemancung Roh.
Kelelawar
Pemancung Roh memandang dengan mata dibesarkan, rahang menggembung lalu tertawa
bergelak.
"Kalau
aku tidak mau melepaskan kedua orang ini dan tidak mau menyerahkan ikat kepala
kain sutera, kau mau berbuat apa?! Ha… ha… ha!"
"Aku
bersumpah membantaimu saat ini juga!"
Kelelawar
Pemancung Roh menyeringai, keluarkan suara mendengus.
"Pendekar
212, aku mau lihat kau bisa berbuat apa! Silahkan kau melepas pukulan Sinar
Matahari. Silahkan kau pergunakan Kapak Maut Naga Geni 212 untuk menyerangku.
Dua manusia tak berguna ini akan aku jadikan tameng menghadapi semua
seranganmu! Ha… ha… ha… ha!"
Pemuda
gondrong di mulut goa yang memang adalah Pendekar 212 Wiro Sableng adanya
tersentak kaget dan memaki dalam hati. Dia terpaksa berhenti empat langkah di
hadapan Kelelawar Pemancung Roh.
"Keluar
dari dalam goa! Cepat! Atau kubenturkan kepala gurumu dan perempuan celaka ini
satu sama lain!"
"Bangsat!
Aku harus berbuat apa!" Wiro lagi-lagi merutuk. Keadaannya tidak
menguntungkan. Ketika dengan terpaksa dia siap melangkah mundur ke arah mulut
goa, tiba-tiba di depan sana dia menyaksikan satu hal luar biasa.
Tubuh
tanpa kepala Ki Sepuh Tumbal Buwono yang terkapar di lantai batu secara aneh
tiba-tiba bergerak ke atas. Lalu laksana anak panah lepas dari busurnya tubuh
itu melesat ke arah Kelelawar Pemancung Roh yang tegak membelakangi sambil
mencekal Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Seram dan ngerinya darah masih
mengucur keluar dari kutungan leher. Kelelawar Pemancung Roh mendengar suara
bersiur di belakangnya Dia menoleh. Terlambat!
"Dukkk!"
Dua kaki
mayat Ki Sepuh Tumbal Buwono menumbuk keras punggung Kelelawar Pemancung Roh
lalu sosok tanpa kepala itu terbanting jatuh ke lantai. Makhluk tinggi besar
terpelanting ke depan. Sinto Gendeng dan Bintang Malam terlepas dari
cekalannya. Selagi dia terhuyunqhuyung coba mengimbangi diri, saat itulah Wiro
melompat ke depan. Tangan kiri melepas pukulan Sinar Matahan tangan kanan
babatkan kapak sakti. Dua sinar putih menyilaukan berkiblat disertai hawa panas
luar biasa. Goa Air Biru laksana neraka.
”Wuuutt!"
"Craass!"
"Wusss!"
Tubuh
Kelelawar Pemancung Roh mencelat jauh ke dalam goa, menghantam dinding batu,
terbanting jatuh ke lantai dalam keadaan hangus mengepulkan asap. Kepalanya
tak ada lagi di lehernya, menggelinding di lantai hitam hangus kepulkan asap,
lalu jatuh masuk ke dalam telaga. Ikat kepala kain sutera hitam yang ada batu
Mustika Mata Srigala masih melingkar di keningnya dan kelihatan merah membara.
Batu ini mengeluarkan suara cesss ketika bersentuhan dengan air telaga.
******************
6
ORANG DI
ATAS BIDUK
WIRO
selipkan kapak saktinya di balik pinggang pakaian lalu cepat memanggul Sinto
Gendeng dan Bintang Malam di bahu kiri kanan dan lari ke mulut goa. Ketika
muncul di pantai, sang surya telah tenggelam. Udara mulai kelam. Wiro mencari
tempat yang baik, lalu turunkan dua orang yang digendongnya.
Sementara
Bintang Malam masih tercekat diam dan pucat Sinto Gendeng menegur sang murid.
Tentu saja dimulai dengan makian.
“Anak
Setan! Rupanya kau berhasil menemukan rahasia kematian makhluk jahanam itu?
Kalau makhluk yang menjadi andalan nyawanya tidak dibunuh mana mungkin tadi
kau bisa membantai buntung kepala makhluk jahanam itu."
"Kira-kira
begitu Eyang.” Jawab Pendekar 212. "Di tempat kediamannya aku menemukan
seekor ikan raksasa bernama Ikan Dajal. Ikan ini adalah makhluk yang tidak
pernah punya kaki, tidak pernah menyentuh tanah. Makhluk itu sudah
kubinasakan."
"Aku
hampir saja dijadikan santapan makhluk celaka itu oleh Kelelawar Pemancung
Roh." Ucap Sinto Gendeng. "Anak Setan! Kau tahu apa yang terjadi
dengan diriku? Kelelawar Pemancung Roh menotok tubuhku sebelah atas dengan ilmu
totokan bernama Totokan Tiga Lapis Jalan Darah. Aku tidak bisa membebaskan
diriku. Menurut Ki Sepuh ada senjata tertentu yang bisa melepas totokan celaka
ini. Lekas kau pergunakan kapak saktimu…"
Ucapan
Sinto Gendeng terputus ketika tiba-tiba Bintang Malam berucap dengan wajah
memperlihatkan rasa kaget dan takut luar biasa. Tangannya gemetar menunjuk ke
pantai.
“Lihat…!"
Sinto
Gendeng memutar matanya. Pendekar 212 palingkan kepala.
"Edan!"
rutuk si nenek
"Gila
bagaimana mungkin!” ujar Wiro.
"Luar
biasa! Berarti dia belum mati. Dia tidak bisa dibunuh!"
"Berarti…"
Wiro menggaruk kepala. “Ikan Dajal itu bukan makhluk yang meminjamkan nyawa
pada Kelelawar Pemancung Roh!"
Dalam
udara Teluk Akhirat yang mulai remang menggelap kelihatan sosok tanpa kepala
Kelelawar Pemancung Roh berjalan dengan langkah terhuyunghuyung menuju pantai.
Di tangan kanannya dia menenteng kepalanya sendiri Wiro memperhatikan.
“Astaga!”
Pendekar 212 keluarkan seruan pendek.
"Apa
yang ada di benakmu Anak Setan?!" tanya Sinto Gendeng.
“Nek, kau
lihat kain hitam hangus dari sutera yang melilit di kutungan kepala Kelelawar
Pemancung Roh?"
Sinto
Gendeng delikkan mata. "Aku lihat. Aku belum buta."
"Benda
itu milikku. Ada batu menempel di kain hitarn itu…."
"Pasti
batu sakti. Dari mana kau mendapatkannya? Kau curi?"
"Tidak
Nek, seseorang memberikan padaku."
"Katamu
kain itu terbuat dari sutera. Pasti seorang perempuan yang memberikan padamu.
Cantik?"
“Nanti
saja aku ceritakan Nek. Saat ini aku harus segera mengambil benda itu."
"Jangan
bodoh. Tetap di tempatmu anak setan. Aku mencium ada bahaya di sekitar sini.
Lihat saja apa yang akan terjadi…"
"Tapi
batu sakti itu Nek."
“Nanti
bisa dicari. Kalau perlu aku ganti dengan biji kambing yang mengkilap!"
Wiro
menggerutu dalam hati. Dia siap hendak bergerak ke arah Kelelawar Pemancung
Roh. Tapi Sinto Gendeng kembali mempenngatkan.
"Anak
Setan, jangan berani bergerak di tempatmu!"
Saat itu
Kelelawar Pemancung Roh melangkah menuju ke arah laut. Di satu tempat dia
berhenti. Kutungan kepalanya diletakkan di atas leher. Lalu sambil menekan
kepala itu dia lanjutkan langkah.
"Dia
menuju ke laut. Ada apa? Apa yang hendak dilakukannya”’ ujar Wiro. Lalu dia
ingat keterangan Mentari Pagi. Makhluk itu tidak pernah jauh dari air.
Di depan
sana dua kaki Kelelawar Pemancung Roh mulai masuk ke dalam air laut. Lalu menyusul
pahanya. Setelah tubuhnya masuk sebatas dada di kejauhan terdengar suara aneh
berulang kali.
"Kukukkk..
kukuuukkk… kukuuk…"
"Suara
apa itu? Sinto Gendeng membuka mulut sambil memutar bola mata. Wiro dan Bintang
Malam memandang berkeliling.
Di dalam
laut Kelelawar Pemancung Roh lepaskan pegangan pada kepalanya. Bersamaan dengan
itu dari mulutnya keluar suara tawa bergelak. Suara tawa ini baru berakhir
ketika keseluruhan kepala Kelelawar Pemancung Roh tenggelam ke bawah air laut.
"Nek,
apakah… apakah Kelelawar Pemancung Roh benar-benar hidup kembaii?" Bintang
Malam bertanya.
"Kita
tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi." sahut Sinto Gendeng.
“Lihat!"
Wiro berseru snmbil menunjuk ke arah laut.
Dalam
udara yang mulai gelap, kepala Kelelawar Pemancung Roh kelihatan muncul dan
permukaan air. Dari mulutnya berulang kali dia menyemburkan air laut. Tibatiba
dari tengah laut muncul sebuah biduk. Di atasnya duduk seorang berikat kepala
kain merah, mengenakan pakaian serba hitam. Orang di atas biduk tidak mengayuh,
malah rangkapkan dua tangan di depan dada. Tapi biduk itu meluncur pesat dengan
sendirinya ke arah tersembulnya kepala Kelelawar Pemancung Roh. Di antara
hembusan angin, makhluk di dalam air ini mendengar suara riak air laut memecah
dipapas biduk. Dia palingkan kepala. Belum sempat Kelelawar Pemancung Roh
memperhatikan dengan jelas siapa adanya orang di atas biduk, tiba-tiba salah
satu tangan yang mendekap di dada bergerak dan sreeet! Kain sutera hitam
berbatu sakti yang melingkar di kening Kelelawar Pemancung Roh terbetot lepas.
Makhluk ini keluarkan teriakan keras. Namun sebelum dia sempat berbuat sesuatu,
biduk telah berputar lalu melesat ke tengah laut, lenyap dalam kegelapan Kepala
Kelelawar Pemancung Roh sendiri kemudian ikut lenyap dari permukaan laut.
Semua kejadian itu disaksikan oleh Wiro. Sinto Gendeng dan Bintang Malam dengan
terheran-heran.
"Anak
Setan, kau bisa menduga siapa orang di atas biduk itu?" Sinto Gendeng
bertanya.
"Sulit
kuduga Nek…." jawab sang murid. Lalu Wiro berusaha membebaskan totokan di
tubuh Sinto Gendeng. Dia bahkan mempergunakan kapak sakti namun totokan itu tak
bisa dimusnahkan.
Sinto
Gendeng menarik nafas panjang "Anak Setan, agaknya kau harus mencari
Kalajengking Putih…."
"Kalajengking
Putih? Buat apa Eyang?"
"Menurut
Ki Sepuh hanya binatang itu satu-satunya yang bisa memusnahkan totokan di
tubuhku."
Wiro
garuk garuk kepala Dalam hati dia mengeluh. “Tambah celaka nasibku. Bakalan
patah pinggangku! Dulu dia masih bisa kudukung di atas bahu. Kini dalam keadaan
lumpuh dan tertotok seperti ini terpaksa aku harus menggendongnya.
Kalajengking Putih! Binatang sialan! Ke mana aku akan mencarinya?’
Sebelum
meninggalkan Teluk Akhirat Wiro bersama Bintang Malam terlebih dulu membebaskan
sebelas perempuan istri-istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh. Lalu Wiro juga
mengurus jenazah Ki Sepuh Tumbal Buwono. Kerangkeng besi dihancurkan dengan
kapak sakti. Kepala si kakek disatukan dengan badannya lalu dikubur di tepi
pantai.
Yang
lebih merepotkan Pendekar 212, tidak seperti sebelas perempuan lainnya. Bintang
Malam tidak mau di antar pulang ke desanya. Perempuan yang tengah hamil muda
ini bersikeras akan ikut kemana Wiro dan Sinto Gendeng pergi.
“Anak
Setan," bisik Sinto Gendeng ke telinga muridnya. "Perempuan satu ini
memang jauh lebih cantik dari yang lain-lain. Ada apa dia ingin ikut
bersamamu…"
“Aku
tidak tahu Eyang…" jawab Wiro sambil menggaruk kepala.
"Pasti
ada apa-apanya. Eh, selama ini kau belum pernah melihat orang bunting secantik
dia, bukan? Jangan-jangan kau sudah berbuat yang aneh-aneh terhadapnya hingga
dia kecantel padamu? Apapun yang terjadi dengan Kelelawar Pemancung Roh,
perempuan itu sudah bisa disebut sebagai seorang janda."
“Aku
tidak pernah berbuat apa-apa Nek. Sumpah!" kata Wiro pula.
“Anak
Setan, ini satu pertanda bahwa kau benar-benar belum bisa menerima ilmu
Sepasang Sinar Inti Roh itu. Dengan perempuan bunting saja kau masih tergoda.
Aku tahu ini pengalaman baru bagimu. Hik… hik… hik!"
"Sumpah
Eyang, aku tidak punya hubungan apa-apa dengan perempuan itu." kata Wiro
mengulang sumpah. Sang guru hanya ganda tertawa.
TAMAT
No comments:
Post a Comment