Srigala
Perak
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
*******************
1
KI TAWANG
ALU
MELIHAT
siapa yang berdiri di depannya, Pendekar 212 Wiro Sableng merasa tidak enak.
Dia langsung membentak. " Kau datang menyelinap dalam kegelapan malam!
Membokong secara pengecut! Apa tujuanmu Ki Tawang Alu?!"
Si kakek
tertawa bergumam. Sambil pegangi lengan kanannya yang sakit akibat bentrokan
dengan tangan Wiro tadi dia menjawab.
"Malam
boleh gelap! Kau boleh saja menuduhku sebagai pembokong pengecut! Tapi satu hal
jelas bagiku, seperti terangnya matahari di siang bolong!"
"Tua
bangka sialan! Aku tidak begitu suka melihat tampangmu yang putih seperti
poncong hidup! Jadi jangan berpantun mengumbar syair didepanku! Katakan terus
terang apa maksudmu muncul di tempat ini?!"
"Kalung
kepala srigala perak! Aku tahu patung itu ada padamu!"
"Sebelumnya
kau sudah memeriksa menggeledah sendiri! Kau tidak menemukan kalung itu pada
diriku! Kau ini gila atau tolol!"
"Aku
tidak gila, tidak juga tolol! Aku terlalu cerdik untuk kau tipu, anak muda bau
kencur! Mana kalung perak kepala srigala itu! Lekas serahkan padaku!"
Wiro
tatap kakek bermuka putih. Sambil menyeringai dia membatin. "Aku ingat
pembicaraan dengan empat gadis anggota Kelompok Bumi Hitam itu. Antara mereka
dengan kakek jelek ini seperti ada ketidak cocokan…."
"Jangan
cengangas-cengenges di hadapanku! Kalau kau tidak segera menyerahkan kalung
kepala srigala itu, kau bakal menyesal sampai ke liang kubur!"
"Busetttt!
Matipun aku belum! Bagaimana kau bisa bilang aku bakal menyesal sampai ke liang
kubur!"
"Kalau
begitu biar sekarang kubunuh saja kau!" Kakek bernama Ki Tawang Alu lalu
angkat tangan kanannya. Dalam gelap murid Sinto Gendeng melihat tangan si kakek
bergetar pertanda ada hawa sakti atau tenaga dalam yang dialirkan ke tangan
itu.
Wiro
tetap menyeringai. "Kau bunuhpun aku sampai tujuh kali kalung kepala
srigala itu tak bakal kau dapatkan!"
Ki Tawang
Alu turunkan tangan kanannya. "Apa maksudmu! Jangan berdusta kalung itu
tidak ada padamu! Aku tahu, waktu aku memeriksa kalung itu kau sembunyikan di
mulutmu!"
"Kalau
kau benar tahu, mengapa kau tidak memaksa mengambil! Malah pada orang-orangmu
kau katakan kalung itu tidak ada padaku! kau menipu mereka! Berarti ada
keculasan dalam hatimu!"
Tampang
si kakek sesaat berubah. Rahangnya menggembung. "Urusanku dengan
orang-orangku apa perdulimu! Hatiku culas atau tidak juga apa perdulimu!
Sekarang katakan saja! Kau mau menyerahkan kalung kepala srigala itu atau
tidak?!"
"Kalung
itu tidak ada padaku!" jawab Wiro. "Kakek muka putih, terus terang
aku muak melihatmu!" Wiro putar tubuh hendak berlalu. Tapi si kakek cepat
menghadang.
"Tunggu!
Kalau kalung itu sekarang tidak ada padamu, dimana beradanya? Kau serahkan pada
siapa?!"
"Empat
gadis berkerudung hitam itu mencegatku di satu tempat. Mereka bilang kalung itu
sangat mereka perlukan. Karena aku merasa kalung itu memang milik mereka. lalu
kuserahkan pada salah seorang dari empat gadis itu…."
"Empat
gadis! Bagaimana kau tahu mereka adalah empat orang gadis!" Ki Tawang Alu
bertanya heran.
"Aku
melihat sendiri wajah-wajah mereka. Cantik semua! Mereka yang memperlihatkan
wajah padaku!"
Ki Tawang
Alu kelihatan terkejut mendengar keterangan Wiro itu, alisnya yang putih sampai
berjingkraj keatas. Rahangnya menggembung.
"Anak
muda tolol! Kau sudah kena tipu! Empat gadis itu tidak berhak memiliki kalung
itu! Kau ingat kepada siapa kalung itu kau serahkan?!"
"Gadis
bernama Mentari Pagi!" jawab Wiro.
Kembali
rahang Ki Tawang Alu menggembung.
"Kalau
kau berdusta, kalau ternyata kalung itu tidak ada pada gadis bernama Mentari
Pagi itu kau bakal tahu rasa. Gurumu si nenek bau pesing itu akan kubuat
menemui ajal secara mengenaskan!"
Terkejutlah
Pendekar 212 mendengar ucapan si kakek. "Jahanam keparat! Apa yang telah
kau lakukan terhadap guruku?!" teriak Wiro. Sekali lompat saja dia ada di
hadapan si kakek. Tangan kanannya menyambar. Lidah Ki Tawang Alu mencelat
terjulur keluar begitu Wiro mencekik lehernya!
Megap-megap
si kakek berkata. "Bunuh! Patahkan batang leherku! Kau tak bakal melihat
gurumu seumur-umur!"
"Jahanam!"
Wiro kembali merutuk. Tangannya bergerak.
"Braaakkkk!"
Ki Tawang
Alu dibantingnya hingga jatuh punggung di tanah. Tapi sambil menyeringai kakek
ini berusaha bangkit berdiri. "Gurumu berada di tanganku! Kusembunyikan di
satu tempat. Saat ini masih dalam keadaan aman. Tapi jika keteranganmu dusta
dan aku tidak menemukan kalung itu, kematian gurumu semudah aku membalikkan
telapak tangan!"
"Kurang
ajar! Telapak tanganmu yang mana? Yang kiri atau yang kanan?!" Wiro
membentak.
Ki Tawang
Alu mengekeh. "Kau lihat saja nanti…."
"Aku
mau lihat sekarang!" kata Pendekar 212. Secepat kilat tangannya kanannya
menyambar kedepan.
"Kraaakkk!"
Sekali
remas saja patahlah tulang telapak tangan kanan Ki Tawang Alu. Kakek ini
menjerit kesakitan setinggi langit. Walau Wiro berhasil mematahkan telapak
tangan kanan si kakek tapi dia harus membayar cukup mahal. Karena tak kalah
cepatnya tangan kiri Ki Tawang Alu menghantam ke depan. Murid Sinto Gendeng berusaha
mengelak dengan jurus Kilat Menyambar Puncak Gunung uakni ilmu silat yang
didapatnya dari Tua Gila, namun jotosan si kakek masih mampu mendarat telak di
dada kirinya.
Murid
Sinto Gendeng laksana digebuk dengan palu godam raksasa. Tubuhnya mencelat lalu
jatuh terjengkang ke tanah. Dadanya serasa hancur dan mendenyut sakit. Sesaat
dia sulit bernafas dan pandangannya menggelap. Ketika dia berusaha menarik
nafas dalam dari mulutnya keluar darah. Wiro berteriak marah. Kerahkan tenaga
dalam lalu melompat bangkit. Gerakannya terhuyung-huyung. Memandang ke depan Ki
Tawang Alu tak kelihatan lagi.
"Jahanam
bermuka putih itu menculik Eyang Sinto Gendeng! Kalau sampai guruku cidera aku
bersumpah akan menguliti tubuhnya!" Sambil pegangi dadanya yang sakit Wiro
melangkah ke jurusan timur di mana dia menduga kaburnya kakek bernama Ki Tawang
Alu itu.
*******************
2
PELANGI
INDAH
MALAM
gelap gulita. Udara dingin luar biasa seolah tubuh dibungkus es. Semakin tinggi
ke puncak Gunung Merapi, semakin sengsara keadaan Pendekar 212. Kakinya terasa
sakit dan berat, sukar diajak melangkah. Dadanya seperti diganduli batu berat.
Setiap dia menarik nafas tenggorokannya terasa panas dan lehernya seperti di
cekik. Hanya semangat baja dan niat untuk menyelamatkan Eyang Sinto Gendeng
yang tidak diketahuinya dimana beradanya membuat Wiro akhirnya mampu sampai ke
puncak timur gunung Merapi. Inipun ditempuhnya satu hari perjalanan. Jika dia
tidak cidera dalam waktu setengah hari saja pasti dia sudah sampai di tempat
itu.
Di satu
pendakian berbatu-batu Pendekar 212 jatuhkan tubuhnya, duduk menjelepok di
tanah.
"Lereng
timur gunung ini luas sekali. Malam gelap begini. Dimana aku harus mencari!
Kalau sampai tidak bertemu markasnya orang-orang kelompok Bumi hitam itu, bukan
saja aku yang celaka, tapi Eyang Sinto Gendeng juga bakal sengsarasebelum
menemui ajal! Bangsat Ki Tawang Alu! Apa yang telah kau lakukan terhadap
guruku!" Wiro kepalkan tinju kiri kanan lalu sandarkan punggungnya ke
sebuah batu di belakangnya. Menurut jalan pikiran Wiro, setelah tahu dimana
beradanya kalung kepala srigala perak itum Ki Tawang Alu pasti menuju ke
markasnya di puncak timur gunung Merapi. Itu sebabnya walau harus menyabung
nyawa dan mungkin saja menemui ajal di tengah jalan, dia tetap bertekad naik
puncak gunung itu untuk mencari si kakek. Kalau dia tidak sampai dapat mengorek
keterangan dimana gurunya berada dan apa yang terjadi dengan nenek sakti itu,
tekadnya sudah bulat untuk menyabung nyawa, memilih sama-sama mati dengan Ki
Tawang Alu!
Dalam
keadaan menderita sakit dan letih setengah mati serta lapar dan haus sepasang
mata Wiro terasa berat. Sekejapan lagi matanya hendak terpejam tiba-tiba dia
melihat nyala api, kecil dan jauh sekali.
"Nyala
api itu…" desis Pendekar 212 sambil seka darah yang masih menetes di sela
bibirnya. "Aku harus menyelidik. Mungkin itu tempat kediamannya
orang-orang Bumi Hitam…." Wiro bangkit berdiri. Sosoknya terhuyung-huyung.
Dia memandang berkeliling. Matanya membentur satu pohon kecil. Di patahkannya
salah satu cabang kecil pohon ini. Lalu dipergunakannya sebagai tongkat untuk
membantunya berjalan.
"Anah,
pukulan apa yang dihantamkan kakek muka putih itu hingga aku sengsara setengah
mati begini rupa. Kapak Naga Geni 212 tidak mampu menyembuhkan. Mungkin pukulan
itu beracun dan kekuatannya sanggup menghancurkan gunung! Apalagi dadaku yang
hanya terdiri dari tulang dan daging! Kurang ajar! Ki Tawang Alu kau tunggu
pembalasanku!"
Tertatih-tatih
Pendekar 212 melangkah dalam gelapnya malam dan dinginnya udara menuju nyala
api di kejauhan.
*******************
EMPAT
bayangan hitam berkelebat menuju lereng timur Gunung Merapi. Walau udara gelap
dingin serta pohon dan semak belukar menghadang dimana-mana, namun ke empat
orang itu mampu berlari secepat angin, pertanda mereka mengenal betul kawasan
tersebut. Mereka bukan lain adalah Mentari Pagi dan Rembulan serta dua orang
kawannya dari Kelompok Bumi Hitam.
Tak
selang berapa lama ke empat gadis yang mengenakan jubah serta kerudung hitam itu
sampai di sebuah bangunan besar terbuat dari kayu dan memiliki kolong di
sebelah bawahnya. Bangunan-bangunan serupa dalam bentuk lebih kecil kelihatan
di sekeliling bangunan besar. Karena seluruh bangunan mulai dari tiang sampai
dinding dan atap dilapisi cat hitam maka dalam gelapnya malam bangunan itu
tampak angker sekali dan tidak ada satu peneranganpun kelihatan.
"Lekas
naik ke atas dan salah satu dari kalian nyalakan pelita!" Mentari Pagi
berkata pada teman-temannya. Dua orang segera melompati tangga rumah panggung.
Mentari Pagi dan Rembulan menunggu di bawah tangga. Ketika di atas sana mereka
melihat ada nyala pelita, keduanya segera melompat ke tangga. Namun gerakan
mereka tertahan. Dari samping melesat satu bayangan hitam bermuka putih.
"Ki
Tawang Alu!" seru Mentari Pagi ketika mengenali siapa yang datang.
"Syukur
kalian sudah sampai di sini. Tadinya aku merasa khawatir…." kata kakek
muka putih seraya usap dagunya. Dua matanya sesaat jelalatan. Membuat Mentari
Pagi dan Rembulan merasa tidak enak. Sebenarnya sudah sejak lama para gadis
dalam kelompok Bumi Hitam tidak menyenangi kakek ini. Namun kedudukannya
sebagai Wakil Pimpinan membuat mereka merasa sungkan dan tetap menaruh hormat.
Ketika
Rembulan melihat tangan kanan si kakek dibalut gadis ini langsung bertanya.
"Ki Tawang Alu, mengapa tanganmu?"
Si kakek
tarik nafas dalam. "Inilah yang harus aku beritahu padamu. Dalam
perjalanan kesini, aku dihadang oleh pemuda asing berambut gondrong…."
Mentari
Pagi dan Rembulan saling berpandangan. "Maksudmu pemuda bernama Wiro
Sableng berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 itu…?"
Si kakek
mengangguk.
"Pasal
lantaran apa dia menghadang? Padahal…"
"Bukan
cuma menghadang. Tapi malah menyerangku tanpa sebab-musabab! Dia membuat tangan
kananku cidera. Tapi aku sendiri sempat menghajarnya hingga jatuh terjengkang.
Mungkin saat ini dalam keadaan sekarat atau mungkin juga sudah menemui
ajal!"
Mentari
Pagi dan Rembulan sama-sama keluarkan seruan tertahan. Sementara itu di atas
tangga bengunan besar, beberapa orang gadis berkerudung hitam yang telah
membuka kerudung masing-masing memberi isyarat pada Mentari Pagi dan Rembulan.
Dua gadis di bawah bangunan balas memberi isyarat.
"Ki
Tawang Alu, pembicaraan kita lanjutkan nanti! Kami akan naik ke atas untuk
mengobati Pimpinan…." berkata Mentari Pagi.
"Hai,
rupanya kalian sudah mendapatkan kalung kepala srihgala itu?" tanya si
kakek.
Ketika
Mentari Pagi mengangguk, Ki Tawang Alu berkata gembira. "Jasa kalian besar
sekali! Pimpinan dan aku pasti tidak melupakan!"
"Jasa
kami tidak apa-apa. Kami hanya menjalankan tugas. Yang berjasa sebenarnya
adalah pemuda bernama Wiro Sableng," kata Rembulan pula. "Dia yang
menyerahkan secara sukarela kalung kepala srigala itu pada kami."
"Aneh,
waktu kuperiksa benda itu tidak ada padanya. Tahu-tahu ada dan malah diberikan
pada kalian. Kalau begitu, hemmm…. Perlihatkan dulu benda itu padaku. Biar
kuperiksa…."
Mentari
Pagi sebenarnya ingin cepat-cepat naik ke atas rumah. Tapi si kakek sengaja
tegak di depan tangga seperti menghalangi dan ulurkan tangannya. Karena Ki
Tawang Alu memang adalah pimpinan mereka juga maka Mentari Pagi mau tak mau
keluarkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak dan menyerahkannya pada
si kakek.
Ki Tawang
Alu menerima benda itu dengan wajah gembira dan mata berkilat-kilat.
Diperhatikannya sesaat kalung kepala srigala itu. Lalu dia berbalik
membelakangi dua gadis dan memegang kalung itu kearah cahaya pelita yang
memancar dari bangunan sebelah atas. Sambil anggukkan kepala kakek ini lalu
balikkan tubuhnya kembali dan serahkan kalung kepala srigala yang terbuat dari
perak itu kepada Mentari Pagi.
"Lekas
kau naik ke atas dan lakukan penyembuhan terhadap pimpinan kita!"
"Kau
sendiri tidak turut menyaksikan Ki Tawang Alu?" tanya Mentari pagi seraya
mengambil kalung yang diserahkan si kakek muka putih.
"Aku
biar tetap berada di sini. Berjaga-jaga! Aku khawatir pemuda jahat itu bisa
saja muncul melakukan sesuatu yang tidak kita ingini!"
Rembulan
hendak mengatakan sesuatu membantah ucapan si kakek. Namun Mentari pagi cepat memberi
isyarat. Dua gadis ini membuka kerudung yang menutupi kepala serta wajah
masing-masing. Lalu melompati tangga naik ke atas bangunan kayu.
Di atas
bangunan kayu ada satu ruangan luas diterangi sebuah pelita besar. Di salah
satu sudut ruangan ada sebuah perasapan besar, mengepulkan asap menebar
harumnya bau setanggi. Suasana di ruangan itu terasa mencekam dan sakral karena
setiap dinding di hias dengan bunga-bunga aneh terbuat dari kain berwarna
hitam.
Tujuh
orang gadis berjubah hitam tanpa kerudung tegak mengelilingi sebuah
pembaringan. Ada sesosok tubuh terbujur di atas pembaringan ini, tertutup
dengan sehelai kain sutera tipis berwarna hitam. Salah seorang dari tujuh gadis
itu memegang sebuah bokor terbuat dari kuningan. Bokor ini berisi air sangat
jernih dan dingin karena berasal dari embun yang di kumpulkan. Tujuh bunga
melati mengapung di permukaan air dalam bokor.
Ketika
Mentari Pagi dan Rembulan masuk ke dalam ruangan, tujuh gadis segera menyibak memberi
tempat. Mentari Pagi dan Rembulan mengambil tempat berdiri di dekat kepala
sosok yang terbujur di atas pembaringan. Sesaat setelah menatap sosok yang ada
di atas pembaringan itu, Mentari Pagi keluarkan kalung kepala srigala dari
balik jubah hitamnya lalu dimasukkan ke dalam bokor kuningan.
Seorang
gadis memberikan sebatang tongkat kecil terbuat dari bambu. Dengan tongkat ini
Mentari lalu mengaduk cairan dalam bokor. Terdengar suara berkelentingan ketika
kalung kepala srigala yang berputar-putar bersentuhan dengan dinding bokor.
Setelah itu seorang gadis lain memberikan sebuah benda berbentuk koas terbuat
dari benang sangat halus. Mentari celupkan koas ini kedalam bokor lalu memberi
isyarat pada Rembulan.
Dengan
tangan gemetar Rembulan pegang ujung kain sutera hitam di bagian kepala orang
yang terbujur di atas pembaringan. Semua mata yang ada di ruangan itu memandang
tak berkesip. Mereka menunggu dengan dada berdebar.
Perlahan-lahan
dan sangat berhati-hati Rembulan menarik kain sutera hitam itu dari kepala ke
arah kaki. Beberapa mata tampak seperti mau dipicingkan begitu mereka melihat
wajah yang tersingkap, di susul bagian dada dan perut terus ke paha dan sampai
di ujung kaki. Rata-rata para gadis yang ada di situ merasakan tengkuk mereka
menjadi dingin.
Sosok di
atas pembaringan ternyata adalah satu sosok seorang nenek berambut putih. Kulit
diwajah maupun di sekujur tubuh sampai ke kaki hanya merupakan kulit keriput
sangat hitam dan tak lebih sabagai pembalut tulang. Sosok itu tidak bergerak
bahkan bernafas pun seperti tidak. Dua matanya terpejam.
Mentari
Pagi memutar pandangan matanya berkeliling. Kecuali gadis yang memegang bokor
dan dirinya sendiri, maka semua yang ada di tempat itu mengangkat tangan,
menampungkan telapak tangan ke atas, sejajar dengan kepala. Mulut mereka
berkomat-kamit. Lalu terdengar suara menggema perlahan seperti orang berdoa.
Mentari memegang gagang koas di dalam bokor. Lalu perlahan-lahan koas itu di
angkatnya. Bagian koas yang basah dengan hati-hati disapukannya ke wajah orang
yang terbujur. Begitu air di permukaan koas mengering, koas di celupkannya ke
dalam bokor lalu diangkat lagi dan kembali disapukan di seluruh permukaan
wajah. Selesai membasahi wajah, koas berpindah disapukan ke bagian dada, perut,
terus pada dua kaki. Tidak ada satu bagian tubuhpun, depan dan belakang yang
tidak diusap dibasahi dengan air dalam bokor itu.
Setelah
selesai melakukan hal itu Mentari Pagi usap-usap dua tangannya lalu seperti
teman-temannya dia menampungkan dua tangan ke atas. Dari mulutnya perlahan-lahan
keluar ucapan. Bersamaan dengan itu semua mata di pejamkan.
"Gusti
Allah, Penguasa Yang Maha Kuasa. Kau Yang Maha Pengasih. Dengan KasihMu Kau
menjadi Yang Maha Penyembuh. Dengan Kasih dan KuasaMu kami memohon,
sembuhkanlah Pelangi Indah Pimpinan kami. Karena hanya kepada Engkaulah tempat
kami meminta."
Setelah
beberapa saat, diikuti oleh gadis-gadis lainnya Mentari Pagi buka ke dua
matanya. Mereka memandang ke sosok tubuh di atas pembaringan. Lalu saling
pandang satu dengan lainnya. Paras mereka jelas tampak berubah, pucat dan
sangat khawatir.
"Tuhan
tidak mendengar permintaan kita! Sosok pimpinan kita tidak berubah…." kata
Mentari Pagi dengan suara gemetar.
Beberapa
mata mulai tampak berkaca-kaca. Di antara para gadis ada yang tidak dapat membendung
tetesan air mata mereka. Rembulan tundukkan kepala menahan sesenggukan. Ketika
dia hendak menutup kain sutera hitam itu kembali, Mentari Pagi mencegah. Gadis
ini memberi isyarat pada temannya yang memegang bokor kuningan. Yang di beri
isyarat datang mendekat. Dengan agak gemetar Mentari Pagi lalu celupkan
tangannya ke dalam bokor, mengambil kalung kepala srigala yang terbuat dari
perak murni. Lalu dia melangkah mendekati pelita besar di sudut ruangan.
Di bawah
penerangan pelita Mentari Pagi dan Rembulan serta beberapa gadis perhatikan
dengan seksama kalung perak itu.
"Palsu!"
kata Mentari pagi dengan suara keras tapi bergetar. "Kalung ini
palsu!"
*******************
3
MUSUH
DALAM SELIMUT
RUANGAN
di atas rumah panggung itu menjadi geger. "Kita tertipu!" ujar
Rembulan dengan muka pucat.
"Pemuda
bernama Wiro Sableng itu menipu kita! Memberikan kalung palsu mencuri yang
asli!" kata Mentari Pagi penuh geram sambil kepalkan tangan.
"Rembulan!
Pimpin enam orang kawanmu! Cari pemuda itu sampai dapat! Seret ke sini! Jika
dia melawan bunuh di tempat!"
"Akan
kulakukan!" jawab Rembulan. "Namun ada satu hal perlu aku tanyakan.
Jika pemuda itu memang memalsukan kalung kepala srigala itu, kapan dan
bagaimana dia bisa melakukannya? Membuat kalung tiruan tidak mudah. Perlu waktu
dan perlu seorang juru tempa yang ahli! Sedang pemuda itu satu malam lalu kita
temui. Mungkin kalung itu didapatnya sudah dalam keadaan palsu?"
"Maksudmu
Lima Laknat Malam Kliwon yang memalsukan?"
"Aku
menduga begitu," jawab Rembulan.
"Aku
tidak sependapat denganmu. Lagi pula aku sangsikan kebenaran ucapanmu. Karena
suara hatimu dipengaruhi oleh suara batin. Karena kau menyukai pemuda itu. Aku
tetap yakin dia yang memalsukan kalung itu. Bukankah sejak dulu aku sudah
mengatakan dia bukan saja memiliki kepandaian silat dan kesaktian tinggi tapi
juga kecerdikan luar biasa seperti ular! Dengar, aku tahu hatimu meragu! Biar
aku sendiri yang akan memimpin pencarian atas dirinya!"
"Aku
tetap ikut bersamamu!" kata Rembulan. Begitu Mentari Pagi dan enam
kawannya keluar dari kamar Rembulan segera mengikuti. Semua gadis ini kembali
mengenakan kerudung masing-masing.
Di bawah
tangga Ki Tawang Alu menunggu dengan muka menunjukkan kekhawatiran.
"Aku
mendengar suara ribut-ribut di atas sana. Ada apa?" si kakek bertanya.
Mentari
Pagi acungkan kalung kepala srigala sambil berkata. "Kalung yang diberikan
pemuda bernama Wiro Sableng itu ternyata kalung palsu! Sama sekali tidak
mempunyai kekuatan dan berkah kesaktian untuk menyembuhkan pimpinan kita
Pelangi Indah!"
Muka
putih Ki Tawang Alu menjadi merah saking marahnya. "Sedari semula aku
sudah tahu kalau pemuda itu licik! Saat ini dia pasti sudah meregang nyawa
akibat hantamanku!"
"Kita
harus memastikan! Aku dan kawan-kawan akan mencarinya! Menggebuknya sampai
setengah mati sebelum dia mengaku dimana beradanya kalung yang asli!"
"Mentari
Pagi, sebaiknya kau tetap berada di sini menjaga pimpinan" kita. Biar aku
yang mencari pemuda laknat itu!" kata kakek muka putih pula.
"Kalian
tak usah bersusah payah! Aku sudah ada disini!" Tiba-tiba satu suara
menyeruak dari kegelapan. Sesaat kemudian seorang berpakaian putih muncul
dengan langkah terhuyung-huyung. Tak berapa jauh dari tangga, orang ini
tergelimpang jatuh menelungkup.
"Pendekar
212 Wiro Sableng! Dia yang menipu kita!" teriak Ki Tawang Alu lalu
melompat dan injakkan kaki kanannya ke tengkuk orang yang bergelimpang di
tanah.
"Ki
Tawang Alu, kau pasti telah menganiaya guruku! Kalau kau tidak memberitahu
dimana kau sembunyikan guruku, kubunuh kau saat ini juga!"
"Pemuda
ular! Orang bicara lain kau bicara lain!" bentak Mentari Pagi. "Mana
kalung kepala srigala yang asli!"
Wiro
melirik ke atas. "Kau tentu Mentari Pagi. Bukankah aku sudah menyerahkan
benda itu malam kemarin?!"Betul! Tapi yang kau berikan padanya adalah
kalung kepala srigala palsu" kata Ki Tawang Alu sambil pindahkan
injakannya dari tengkuk ke kepala Pendekar 212. Kau binatang cerdik! Penipu
keparat!"
"Kakek
muka putih! jaga mulutmu! Bukan aku binatang cerdik tapi kau yang jahanam
busuk! Malam lalu kau sengaja menghadangku menanyakan kalung kepala srigala
itu. Karena kau tahu aku menyembunyikan kalung itu dalam mulutku! Kau kecewa
begitu mengetahui kalung itu telah kuserahkan pada Mentari Pagi. Tapi dasar kau
manusia jahat busuk! Sebelumnya kau telah menganiaya dan menculik guruku!"
Kakek
muka putih tertawa mengekeh. "Kau pandai bersilat lidah menutupi
kekejianmu sendiri! Buat apa bicara panjang lebar denganmu! Mampus lebih baik
bagimu!"
"Tunggu!
Jangan bunuh dia sebelum dia memberitahu dimana kalung asli itu berada !"
berseru Mentari Pagi.
"Mentari
Pagi, kau pernah bersumpah atas nama Gusti Allah bahwa kalung itu adalah milik
pimpinanmu! Saat ini aku juga bersumpah demi Gusti Allah, kalung yang
kuserahkan padamu adalah satu-satunya kalung yang ada padaku….."
Mentari
Pagi dan Rembulan serta semua gadis berkerudung di tempat itu menjadi terkesima
mendengar ucapan Wiro itu. Namun Ki Tawang Alu cepat memotong dengan hardikan.
"Siapa
percaya sumpah manusia bejat sepertimu!"
Wiro
tidak perdulikan hardikan si kakek. Dia tetap menatap ke arah Mentari Pagi dan
lanjutkan ucapannya. "Kalau sekarang kalian cerita segala macam kalung
palsu pasti salah satu di antara kalian di sini yang telah melakukan
keculasan!"
Mendengar
kata-kata Wiro itu Rembulan bergerak mendekati Mentari Pagi dan membisiki
sesuatu.
"Mulutmu
berbisa! Otakmu kotor! Kau memang layak mampus saat ini juga!" teriak Ki
Tawang Alu marah. Kaki kanannya diinjakkan keras-keras ke kepala Wiro. Bila hal
itu sampai terjadi niscaya kepala murid Sinto Gendeng ini akan pecah berantakan.
Karena Ki Tawang Alu pergunakan kesaktian yang di sebut Injakan Seribu Kati.
Jangankan batok kepala manusia, batu besarpun akan hancur lebur!
Sesaat
sebelum kaki Ki Tawang Alu bergerak menginjak, Wiro selinapkan tangan kirinya
ke pinggang. Lalu tahu-tahu berkiblat sinar putih dalam gelapnya malam. Udara
menjadi panas dan suara seolah ada seribu tawon menyerbu mengaungi tempat itu.
Semua
orang berseru kaget sambil bersurut mundur. Ki Tawang Alu melompat sampai satu
tombak. Sedikit saja dia terlambat kaki kanannya yang tadi dipakai menginjak
kepala Wiro akan terbabat putus.
Pendekar
212 tegak agak terhuyung. Di tangan kanannya tergenggam Kapak Maut Naga Geni
212. Pengerahan tenaga dalam waktu membabatkan senjata mustikanya tadi membuat
darah kembali mengucur di sela-sela bibirnya.
"Berani
mencari mati! Makan tanganku!" teriak Ki Tawang Alu. Tangannya melesat ke
depan. Tangan itu telah berubah menjadi kaki srigala. Kuku-kuku runcing mencuat
ke depan, membeset ke arah batang leher Wiro. Wiro kembali kiblatkan kapak
saktinya. Lawan bertindak cepat dan cerdik. Sambil tundukan kepala dan mengelak
ke samping si kakek kembali menyerang. Kali ini dengan tangan kirinya.
"Breeeetttt!"
Pakaian
Wiro robek besar di bahu sebelah kiri. Murid Sinto Gendeng cepat bertindak mundur.
Merasa di atas angin Ki Tawang Alu kembali menggempur. Dia pergunakan dua
tangannya yang berbentuk kaki-kaki srigala itu. Yang kiri menyambar ke muka
sedangkan yang kanan membeset ke perut Pendekar 212. Kali ini si kakek terlalu
menganggap enteng senjata di tangan lawan.
Wiro
tekuk salah satu lututnya seraya mundurkan kaki yang lain. Kapak Naga Geni 212
yang sudah dipindah ke tangan kanan melesat ke depan. Sinar putih menyambung
dikegelapan malam disertai suara mengaung dan hamparan hawa panas. Lalu
craaassss!
Ki Tawang
Alu menjerit setinggi langit. Darah muncrat dari tangan kirinya yang buntung
karena tidak sempat ditarik selamatkan diri. Mukanya yang putih berubah merah
mengelam. Terhuyung-huyung dia mundur menjauhi lawan. Susah payah dengan tangan
kanannya dia menotok urat besar di pangkal leher serta lipatan siku. Darah
serta merta berhenti tapi rasa sakit dan hawa panas menjalari sekujur tubuhnya.
Tangan kirinya terkulai tidak bisa di gerakkan lagi. Kalau saja tadi dia tidak
menotok lengannya niscaya racun Kapak Maut Naga Geni 212 akan menjalar sampai
ke dalam jantungnya dan nyawanya tidak tertolong lagi. Melihat gelagat yang
tidak menguntungkan itu si kakek segera berteriak pada gadis-gadis berkerudung
hitam.
"Orang
telah mencelakai diriku! Jangan diam saja! Lekas bunuh pemuda jahanam
itu!"
Beberapa
orang gadis siap bergerak. Namun mereka menunggu isyarat dari Mentari Pagi yang
saat itu tampak ragu. Apalagi gadis bernama Rembulan. Sejak tadi dia tidak
percaya pada semua ucapan kakek muka putih. Selain itu semua gadis merasa ngeri
melihat kedahsyatan kapak bermata dua di tangan Wiro.
"Kalian
boleh membunuhku!" kata Wiro seraya sisipkan senjata mustikanya ke
pinggang. Lututnya tertekuk. Luka dalam akibat pukulan Ki Tawang Alu malam lalu
cukup parah. Dalam keadaan jatuh berlutut dia teruskan ucapannya. "Tapi
sebelum menghabisiku, geladah dulu tua bangka muka putih itu. Bagaimana caranya
aku tidak tahu! Tapi aku merasa yakin kalung srigala yang asli itu ada
padanya!"
"Aku
pimpinan di sini! Aku yang memberi perintah pada kalian! Jangan dengarkan
ucapannya yang beracun! Lekas bunuh pemuda itu!" teriak Ki Tawang Alu.
Tubuhnya terasa semakin panas dan jalan darahnya tidak karuan.
Rembulan
berbisik pada Mentari Pagi. "Apa yang di katakan pemuda itu mungkin betul.
Aku ingat sewaktu Ki Tawang Alu memegang kalung kepala srigala yang kau
serahkan padanya. Saat itu dia membalikkan badan, mengarahkan kalung ke cahaya
pelita di atas rumah. Kita semua tahu dia memiliki kepandaian Secepat Kilat
Membalik Tangan. Bukan mustahil dia menukar kalung itu dengan yang
palsu…."
"Beri
isyarat pada teman-teman untuk mengurung…." balas berbisik Mentari Pagi.
Lalu dia maju mendekati si kakek.
"Ki
Tawang Alu, kau terluka parah. Perlu mendapat rawatan. Sebaiknya kau lekas naik
ke atas rumah. Tapi sebelumnya aku ingin mengatakan sesuatu dulu. Jika
sekiranya kecurigaan kami keliru harap dimaafkan. Menurut pemuda itu kau
kembali menemuinya untuk meminta kalung kepala srigala itu. Padahal sebelumnya
di depan kami kau telah menggeledah dan menyatakan kalung itu tidak ada
padanya. Mana yang benar. Kalung yang di berikan pemuda itu padaku aku yakin
itu adalah kalung yang asli. Bagaimana tiba-tiba berubah menjadi kalung palsu
yang tidak ada khasiatnya, apakah kau bisa menerangkan?"
"Mentari
Pagi!" kata Ki Tawang Alu dengan suara bergetar dan rahang menggembung.
"Kau tidak layak menanyai diriku. Jika kau memaksa kau akan kupecat
sebagai anggota Kelompok Bumi Hitam dan kuusir dari tempat ini! Kau
dengar?!"
"Aku
mendengar dan mohon maafmu. Tapi jika kau tidak mau menjawab pertanyaanku tadi,
terpaksa kami menggeledah dirimu!"
"Gadis
kurang ajar! Berani kau berkata begitu! Kau dan kawan-kawanmu telah termakan
ucapan pemuda sinting itu!" Ki Tawang Alu bicara setengah berteriak.
Selain itu diam-diam dia memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ternyata para
gadis yang berjumlah lebih setengah lusin itu telah mengurungnya. "Kalian
semua lekas naik ke atas rumah! Biar aku menghabisi pemuda itu!"
Mentari
Pagi dan Rembulan cepat menghadang gerakan si kakek ketika Ki Tawang Alu hendak
mendekati Pendekar 212 Wiro Sableng. Habislah kesabaran Wakil Pimpinan Kelompok
Bumi Hitam ini. Didahului teriakan garang dia menyerang Mentari Pagi dengan
tangan kanannya yang cidera dan saat itu telah berubah menjadi kaki srigala.
Mentari Pagi dan kawan-kawannya tak tinggal diam. perkelahian delapan lawan
satu segera berkecamuk sementara Pendekar 212 yang terduduk di tanah hanya bisa
memperhatikan.
Sebagai
Wakil Pimpinan Kelompok Bumi Hitam tentu saja Ki Tawang Alu memiliki kepandaian
tinggi. Namun dikeroyok lawan begitu banyak yang rata-rata memiliki kepandaian
hanya satu atau dua tingkat saja dibawahnya, apalagi dia dalam keadaan luka dan
cuma punya satu tangan, setelah bertempur empat jurus si kakek muka putih
segera terdesak hebat.
Mentari
Pagi dan kawan-kawannya sebanarnya tidak bermaksud menurunkan tangan jahat
terhadap Ki Tawang Alu yang bagaimanapun tetap mereka hormati sebagai pimpinan
mereka. Karenanya mereka hanya berusaha merobek pakaian si kakek di beberapa
bagian tertentu. Mengira dirinya hendak di telanjangi orang Ki Tawang Alu jadi
naik pitam dan mengamuk. Tapi gerakannya yang sembrawutan membuat keadaannya
malah tambah terdesak.
"Breeetttt!"
Tangan
kanan Mentari Pagi yang berubah bentuk seperti kaki srigala berhasil merobek
pakaian Ki Tawang Alu di pinggang kiri. Sebuah kantong kain yang tergantung di
balik pakaiannya ikut robek dan terpental ke udara. Dari robekan kantong
melesat keluar sebuah benda putih perak. Ki Tawang Alu cepat melompat, berusaha
menjangkau benda itu. Namun satu sambaran angin dengan keras melabrak tubuhnya
hingga dia terpental dan jatuh terbanting di tanah. Ternyata dalam keadaan luka
di dalam yang cukup parah Pendekar 212 Wiro Sableng masih mampu lancarkan pukulan
Kunyuk Melempar Buah. Untuk sesaat si kakek terhenyak tak berkutik di tanah.
Dari mulutnya meleleh darah kental!
Benda
yang melesat ke udara jatuh ke bawah. Sebelum menyentuh tanah Wiro cepat
ulurkan tangan kanannya menyambuti benda itu, yang ternyata adalah kalung
kepala srigala terbuat dari perak putih. Begitu kalung berada dalam
genggamannya satu hawa aneh mengalir masuk ke dalam tubuhnya. Rasa sakit di
dadanya agak berkurang walau sekujur badannya masih teras lemas.
Mentari
Pagi, Rembulan dan semua gadis yang berada di tempat itu cepat mendatangi Wiro.
Mereka memperhatikan tangan kanan si pemuda yang menggenggam. Perlahan-lahan
murid Sinto Gendeng buka genggaman tangannya. Terlihatlah kalung kepala srigala
putih bermata merah. Wiro angkat tangannya ke arah Mentari Pagi.
"Ambillah!
Aku yakin ini kalung asli. Aku merasakan ada hawa aneh masuk ke tubuhku begitu
benda ini berada dalam genggamanku…" kata Pendekar 212 pula.
*******************
4
SANTET
SERATUS TAHUN
REMBULAN
dan tiga
orang gadis anggota kelompok yang menamakan diri Kelompok Bumi Hitam membawa
murid Sinto Gendeng ke dalam sebuah kamar. Kamar ini bersebelahan dengan kamar
besar di mana Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam berada. Wiro di
baringkan di atas sebuah ranjang kayu. Seseorang masuk membawa sebuah pelita
kecil. Empat Gadis membuka kerudung hitam masing-masing hingga Wiro dapat
melihat wajah mereka yang cantik-cantik.
"Kalian
hendak melakukan apa?" tanya Pendekar 212. Matanya menatap ke arah
Rembulan.
"Kau
dalam keadaan terluka parah. Kakek muka putih itu telah memukul dadamu di arah
jantung dengan pukulan Seribu Kati. Jika tidak diobati nyawamu mungkin tidak
tertolong. Tapi saat ini ada hal lain yang harus kami dahulukan. Yaitu menolong
Pelangi Indah pimpinan kami. Kami akan kembali kesini. Kalau kami kembali harap
kau sudah membuka bajumu! Harap kau berbaring dan jangan banyak bergerak.
Jangan sekali-kali turun dari atas ranjang. Apapun yang kelak kau dengar tidak
usah mejadi perhatianmu apalagi kau pikirkan."
"Membuka
baju? Aku… Hai tunggu!" Wiro berseru.
Rembulan
berpaling. "Tetaplah tenang di atas ranjang. Jangan banyak bertanya,
jangan bergerak. Kami harus menolong pimpinan kami. Jika dia bisa diselamatkan
maka kau juga akan dapat diselamatkan. Tapi jika dia tidak bisa diselamatkan
berarti nyawamupun tidak mungkin ditolong!"
Paras
Pendekar 212 berubah. "Rembulan tunggu dulu. Ada yang hendak aku
tanyakan…" kata Wiro.
Tapi
gadis-gadis itu sudah meninggalkan kamar dan menutup pintu. Pendekar 212
memandang seputar kamar. Dia mencium bau wangi setanggi. Tapi di kamar itu tak
ada perasaan pertanda bau itu datang dari ruangan lain. "Aneh, bangunan
dan juga kamar ini berwarna hitam pekat. Di dinding ada bunga-bunga hiasan
terbuat dari kain. Juga berwarna hitam. Tempat apa ini? Siapa gadis-gadis itu sebenarnya?
Hal apa yang menimpa diri pimpinan mereka? Lalu kalau mau mengobati mangapa aku
harus berbaring begini rupa. Aku di suruh membuka baju! Aneh! Jangan-jangan
mereka bukan mau mengobati diriku. Tapi hendak menepati janji yang mereka
ucapkan malam itu! Mau menyerahkan diri padaku…."
Selagi
Wiro berpikir-pikir sperti itu tiba-tiba dari ruangan sebelah dia mendengar
suara orang banyak seperti tengah membaca doa. "Gadis-gadis itu…"
desis Wiro. "Mereka menyebut-nyebut nama Gusti Allah, menyebut Tuhan.
Berarti mereka memang bukan orang-orang persilatan golongan sesat. Biar kuintip
apa yang terjadi di ruangan sebelah."
Mendadak
sang pendekar menjadi tercekat. Telinganya menangkap suara sesuatu. "Suara
mengereng. Walau halus tapi aku yakin itu suara binatang…."
Perlahan-lahan
Wiro turun dari atas ranjang. Tanpa suara dia melangkah mendekati dinding kamar
dari balik mana dia mendengar suara orang-orang berdoa. Mula-mula dia hanya
menempelkan telinganya kedinding. Lalu memperhatikan dinding itu dengan teliti
sambil meraba-raba. "Ini satu keanehan lagi. Dinding ini jelas terbuat
dari kayu. Dari papan yang disambung satu dengan lain. Tapi mengapa tidak ada
sedikit celahpun? Aku tak bisa mengintip…." Wiro memandang ke arah pintu
di sebelah kanan. Dia dekati pintu ini dan pergunakan tangannya untuk membuka.
Tidak bisa. Pintu tak dapat terbuka. Dicobanya mencongkel juga tak berhasil.
Akhirnya dikeluarkannya Kapak Maut Naga Geni 212. namun baru tangannya meraba
senjata mustika itu, di ruang sebelah terdengar suara riuh, diseling suara
seperti isak tangis. Lalu ada suara kaki-kaki melangkah. Wiro batalkan niatnya
membuka pintu dengan kapak lalu kembali naik ke atas tempat tidur.
*******************
Di kamar
sebelah tempat pimpinan Kelompok Bumi Hitam terbaring dalam tubuh tak bergerak,
mata terpejam dan sekujur kulit berwarna hitam keriput. Mentari Pagi masukkan
kalung kepala srigala yang asli ke dalam bokor kuningan. Saat itu juga air di
dalam bokor mengepulkan asap putih. Hawa sejuk membungkus seluruh ruangan.
Pelita besar menyala lebih terang dan bau setanggi di sudut ruangan menebar
lebih wangi.
Seperti
yang dilakukan sebelumnya, para gadis lalu memanjatkan doa meminta kesembuhan
atas diri pimpinan mereka kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Lalu dengan koas halus
Mentari Pagi sapukan air di dalam bokor ke seluruh permukaan kulit wajah dan
tubuh orang yang terbaring di atas ranjang dalam ujud nenek-nenek. Juga seperti
sebelumnya semua gadis itu menunggu dengan perasaan cemas khawatir. Namun
perasaan itu serta merta lenyap. Di balik harapan yang muncul menyeruak rasa
ngeri melihat apa yang kemudian terjadi, walau mereka telah pernah menyaksikan
hal itu sebelumnya sampai dua kali.
Wajah dan
sosok tubuh yang di poles dengan air kembang dari dalam bokor kuningan
mengeluarkan hawa seperti kabut tipis yang memancarkan tujuh warna pelangi.
Kabut ini kemudian bergulung menjadi satu lalu perlahan-lahan bergerak ke arah
bokor kuningan. Bokor yang di pegang salah seorang gadis itu tiba-tiba bergerak
keras dan memancarkan cahaya terang.
Lalu
terjadilah satu hal luar biasa. Dari dalam bokor melayang keluar kalung perak
berbentuk kepala srigala bermata merah. Sedikit demi sedikit kalung itu
membesar. Sepasang matanya yang merah menyorotkan cahaya merah muda, lalu
berubah menjadi merah pekat. Perubahan ukuran kepala srigala itu semakin besar
hingga kini mencapai dua kali kepala srigala sungguhan. Sorotan dua sinar merah
yang keluar dari mata semakin terang dan angker seperti sambaran nyala api.
Tapi sebaliknya sinar itu tidak mengeluarkan hawa panas melainkan sejuk luar
biasa.
Kepala
srigala julurkan lidahnya beberapa kali lalu bergerak melayang ke tengah
ruangan. Setelah berputar-putar sebanyak tujuh kali di atas pembaringan, kepala
ini bergerak menukik. Dua sinar merah yang keluar dari matanya menyapu wajah,
dada, perut terus ke paha dan samping ke ujung kaki orang yang terbujur di atas
ranjang. Hal ini terjadi sampai tujuh kali berturut-turut.
Hal luar
biasa kembali terjadi. Sosok wajah dan tubuh yang tadi keriput hitam itu
perlahan-lahan membentuk daging yang dilapisi kulit segar berwarna putih.
Rambut panjang tergerai yang tadinya berwarna putih kini telah berubah menjadi
subur hitam berkilat. Sepasang mata yang sejak tadi terpejam perlahan-lahan
terbuka. Dan seulas senyum merekah di bibir yang sebelumnya selalu terkatup.
Kini kelihatanlah satu sosok tubuh seorang gadis berambut hitam, berwajah luar
biasa cantiknya. Inilah Pelangi Indah, pimpinan Kelompok Bumi Hitam. Wajah dan
sosok tubuhnya yang bagus mulus sesuai dengan namanya.
Semua
gadis yang ada di sekeliling pembaringan menyerukan rasa syukur, berulang kali
menyebut nama Tuhan bahkan ada yang setengah berlutut dan keluarkan isak
tangis.
Di udara
dalam ruangan, kepala srigala raksasa perlahan-lahan menyusut menjadi kecil
kembali hingga akhirnya kembali ke bentuknya semula berupa kalung perak. Kalung
kepala srigala ini kemudian melayang tujuh kali lalu masuk kembali ke dalam
bokor berisi air kembang melati.
Mentari
Pagi cepat ambil kalung di dalam bokor sementara di atas pembaringan sosok
Pelangi Indah bergerak bangkit dan duduk. Rembulan cepat menutupi tubuh yang
tidak terlindungi itu dengan sehelai jubah tipis berwarna itam. Mentari Pagi
mengikatkan sehelai ikat kepala ke kening sang pemimpin. Ikat kepala ini
terbuat dari kain sutera hitam yang di bagian tengahnya melekat satu batu
permata berwarna hitam tapi memancarkan cahaya seperti pelangi. Dengan sutera
barbatu permata itu terikat di keningnya, Pelangi Indah bukan saja tambah
cantik jelita tapi juga gagah sekali, penuh wibawa. Mentari Pagi ulurkan
tangannya menyerahkan kalung kepala srigala yang terbuat dari perak kepada sang
pemimpin. Pelangi Indah ambil benda itu lalu menciumnya penuh takzim, kemudian
memasukkannya ke dalam satu kantong di sebelah dalam pakaian sutera hitamnya.
Setelah itu dia memandang pada gadis-gadis yang mengelilinginya di seputar
ranjang.
"Untuk
ke tiga kalinya kalian telah berbuat jasa besar. Menyembuhkan aku dari penyakit
yang selama ini kuderita dan tak pernah bisa disembuhkan kalau tidak dengan
kalung sakti kepala srigala yang terbuat dari perak murni itu. Beberapa waktu
lalu kalung yang juga merupakan lambang kepemimpinan Kelompok Bumi Hitam itu
telah lenyap di curi orang. Kalian berhasil mendapatkannya kembali dan
menyembuhkan aku dari santet Seratus Tahun yang membuat aku berubah menjadi
seorang nenek-nenek buruk mengerikan. Tidak tahu aku bagaimana harus membalas
budi jasa kalian…."
Semua
gadis yang ada di seputar ranjang jatuhkan diri berlutut. Mentari Pagi mewakili
mereka bicara.
"Kami
adalah anggota Kelompok Bumi Hitam. Kami adalah anak buahmu dan kau adalah
pimpinan kami! Semua apa yang kami lakukan merupakan satu kewajiban. Labih dari
itu kami menganggapnya sebagai tugas suci. Jadi kami mohon pimpinan jangan
bicara segala budi dan jasa."
Pelangi
Indah tersenyum dan pegangi pundak Mentari Pagi. "Ada dua hal yang tidak
biasanya kulihat dan kurasakan saat ini. Pertama, aku tidak melihat Ki Tawang
Alu, kakek yang menjadi Wakilku. Kedua aku merasa ada tarikan nafas berat
seseorang dibalik ruangan sebelah kiri. Dapatkah kalian menerangkan?"
"Pimpinan
kami Pelangi Indah," berkata Mentari Pagi. "Sebenarnya kesembuhan itu
sangat berkait dengan pertolongan seorang pemuda. Berminggu-minggu kami mencari
kalung yang hilang. Ternyata kalung mustika itu ditemukan oleh sipemuda. Dengan
sukarela dia menyerahkan kalung itu pada kami. Mengenai Ki Tawang Alu, kakek
muka putih itu ternyata memang ular kepala dua, musuh dalam selimut. Rembulan,
harap kau menuturkan apa yang telah terjadi…"
Rembulan
lalu menceritakan riwayat pengkhianatan Ki Tawang Alu. Pelangi Indah gelengkan
kepalanya. Wajahnya tampak merah pertanda marah.
"Aku
memang sudah lama menaruh curiga pada manusia satu itu. Kalau saja tidak
mengingat pesan Eyang Palopo, sejak dulu dia sudah kuusir dari sini. Tapi
sudahlah, buat apa memikirkan si pengkhianat itu. Dia seudah menerima balasan.
Menjadi cacat seumur hidup. Tapi kita harus berwaspada. Dia pasti akan mendekam
dendam kesumat dan sewaktu-waktu muncul lagi membalaskan sakit hati."
"Kami
siap siaga dan selalu waspada menjaga segala kemungkinan," kata Mentari
Pagi.
Lalu
Pelangi Indah bertanya. "Mengenai pemuda yang telah menolong dan
menyerahkan kalung mustika sakti, bahkan sampai mempertaruhkan jiwanya itu,
siapakah namanya dan dimana beradanya sekarang?"
"Namanya
Wiro Sableng. Konon dia yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212…."
jawab Mentari Pagi.
Terkejutlah
Pelangi Indah sampai gadis ini bergerak turun dari atas ranjang dan menatap lekat-lekat
pada Mentari Pagi, lalu memandang berkeliling pada anak buahnya.
"Tidak
salahkah telingaku mendengar?!"
"Tidak,
yang aku ucapkan memang nama itu. Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212 dari Gunung Gede," mengulang Mentari Pagi.
Lalu Rembulan
menambahkan. "Pemuda itu sekarang ada dikamar sebelah. Dia berada dalam
keadaan…."
Belum
selesai ucapan Rembulan, Pelangi Indah telah keluar dari pintu ruangan.
*******************
5
KECUPAN
DALAM GELAP
BEGITU
mendengar pintu terbuka, murid Eyang Sinto Gendeng segera pejamkan mata,
berpura-pura tidak sadarkan diri. Tubuhnya tidak bergerak sedikitpun. Diam-diam
dia alirkan hawa sakti dingin hingga sekujur permukaan kulitnya menjadi dingin.
Berdiri
di depan tempat tidur, didampingi oleh para anak buahnya, Pelangi Indah
pandangi wajah dan sosok Pendekar 212. Dari mulutnya meluncur perlahan
kata-kata. "Sepuluh tahun lebih aku menunggu, akhirnya dapat juga aku
bertemu muka dengan pendekar ini…."
Dua
tangan Pelangi Indah bergerak ke depan lalu breeettt! Dia robek dada pakaian
Wiro. Seorang anak buahnya disuruh mengambil pelita dalam ruangan lalu
didekatkan ke tepi tempat tidur.
"Pukulan
Seribu Kati!" kata Pelangi Indah agak tercekat ketika melihat tanda biru
pada bagian dada kiri Wiro yang menggembung bengkak. "Ki Tawang Alu
benar-benar berniat jahat hendak membunuhnya dengan pukulan beracun itu…"
"Setahu
kami senjata berbentuk kapak yang terselip di pinggang Pendekar 212 adalah
senjata yang sangat ampuh melindungi diri dari racun. Juga bisa di pakai untuk
menyedot racun. Bagaimana mungkin sekarang dia tidak mampu melakukan
sesuatu….?"
Pelangi
Indah menjawab. "Setiap senjata mustika sakti bukanlah segala-galanya. Apa
kau tidak pernah mendengar ujar-ujar bahwa di atas langit masih ada langit
lagi? Keadaannya cukup parah. Kalau tidak lekas di tangani nyawanya tak bakal
tertolong…"
Mentari
Pagi ulurkan tangan memegang lengan Wiro. "Dingin…. Aliran darahnya
mungkin sudah mulai menyendat…."
Pelangi
Indah cabut Kapak Naga Geni 212 dari pinggang Wiro lalu menyerahkannya pada
Rembulan. Ketika dia memeriksa lagi bagian lain dari pinggang murid Sinto
Gendeng itu dan menemukan batu hitam pasangan Kapak Maut Naga Geni 212
terkejutlah pimpinan Kelompok Bumi Hitam ini. Tubuhnya bergetar dan
perlahan-lahan dia jatuhkan diri, membungkuk dengan satu lutut bersitekan ke
lantai kayu. Tentu saja hal ini membuat heran semua gadis yang ada di situ. Dia
adalah pimpinan tertinggi dalam Kelompok Bumi Hitam. Sementara Wiro walaupun
punya nama besar di rimba persilatan tetapi adalah orang luar. Mengapa kini
pimpinan mereka jatuhkan diri berlutut sambil pegang batu hitam dan
menekapkannya ke dada?
"Eyang
Palopo…" suara Pelangi Indah bergetar perlahan. "Batu mustika sakti
yang kau katakan itu telah kutemukan. Hanya sayang sudah menjadi milik orang
lain. Aku tidak dapat mengikuti pesanmu. Aku tidak mau mengambil benda yang
bukan milikku walau menurutmu asal usul batu ini adalah milik nenek moyang
kita…."
Pelangi
Indah cium batu hitam itu dengan khidmat lalu diserahkannya pada Mentari Pagi.
"Rembulan dan Mentari Pagi, jaga baik-baik dua senjata sakti milik pemuda
ini. Kembalikan padanya jika dia sudah sembuh kelak. Sekarang kalian semua
keluarlah dari kamar ini. Aku akan mengobatinya. Semoga Tuhan menolong diriku
dan dirinya…."
"Pimpinan
kami Pelangi Indah, jika kau tidak berkeberatan, aku sanggup membebaskannya
dari racun Pukulan Seribu Kati." berkata Mentari Pagi.
"Dia
telah menyelamatkan diriku dengan menyerahkan kalung kepala srigala. Kini
giliranku untuk meyelamatkan jiwanya," jawab Pelangi Indah pula.
Mendengar
ucapan sang Pemimpin walaupun diam-diam merasa kecewa Mentari Pagi, Rembulan
dan yang lain-lain sama membungkuk lalu tinggalkan kamar itu. Setelah hanya
tinggal berdua, Pelangi Indah sentuh kening Wiro dengan telapak tangan kirinya.
Terasa dingin. Dia tersenyum lalu berkata.
"Pendekar
dari Gunung Gede, aku kagum dengan kekuatanmu, mampu bertahan terhadap pukulan
beracun pukulan Seribu Kati. Orang lain mungkin sudah menemui ajal. Tapi
bagaimanapun juga racun dalam tubuhmu harus dikeluarkan. Hanya satu hal yang
aku heran. Mengapa kau berpura-pura pingsan dan alirkan hawa dingin ke
permukaan kulitmu? Aku mendengar selain berkepandaian tinggi kau adalah seorang
pemuda konyol yang suka menggoda orang. Mungkin hal itu benar adanya…."
Menyadari
orang sudah mengetahui perbuatannya berpura-pura, sambil menahan tawa murid
Sinto Gendeng segera buka matanya. Begitu dia melihat wajah di atasnya langsung
saja dia terkesima. Dia telah menyaksikan kecantikan wajah Mentari Pagi yang
anggun penuh wibawa. Dia juga telah melihat kejelitaan paras Rembulan yang
sulit di cari bandingnya. Namun ternyata wajah gadis bernama Pelangi Indah yang
jadi pimpinan Kelompok Bumi Hitam itu melebihi kedua gadis itu. Selain cantik
dan berkulit putih mulus, dengan ikatan kain sutera hitam di kepalanya Pelangi
Indah benar-benar tampak gagah. Selain itu dia juga memiliki sepasang mata yang
tajam tapi bisa berubah lembut dan jika memandang seolah menyentuh sampai ke
lubuk hati.
"Pimpinan
Kelompok Bumi Hitam…."
"Kau
boleh memanggil namaku…."
"Hemmm….
Pelangi Indah, jangan menduga salah. Aku tidak tahu apa yang hendak dilakukan
orang-orangmu terhadapku. Ternyata kini aku mendapat kehormatan besar. Kau
sendiri yang hendak menolongku. Sejak satu hari ini dadaku sakit bukan kepalang
dan darah masih mengalir dari mulutku. Belum pernah aku mengalami cidera
seperti ini. Apa benar keadaanku gawat….?"
"Memang
gawat. Aku berusaha mengobati. Kau harap berdoa memohon pertolongan
Tuhan…." kata Pelangi Indah lalu keluarkan kalung kepala srigala perak
dari balik pakaiannya. Saat itulah Wiro menyadari betapa tipisnya jubah hitam
yang dikenakan si gadis hingga walau cahaya pelita dalam kamar tidak terlalu
terang namun dia dapat melihat jelas lekuk-lekuk tubuh Pelangi Indah mulai dari
dada sampai ke pinggang.
"Aku
mau kencing…." kata Pendekar 212 tiba-tiba.
"Jangan
berbuat macam-macam. Terlalu banyak kau bergerak racun dalam tubuhmu akan
menyebar kemana-mana…."
"Aku
tidak bergurau. Tapi biar sekali ini aku mengikuti ucapanmu. Akan kucoba
menahan kencing!" kata Wiro sambil menyeringai dan hendak menggaruk
kepala. Tapi lengannya cepat ditahan oleh Pelangi Indah. Kalung kepala srigala
yang di keluarkannya dari balik pakaian diletakkannya di dada kiri Pendekar 212,
tepat pada bagian yang bengkak membiru akibat jotosan Seribu Kati. Satu hawa
sejuk masuk menembus permukaan kulit Wiro.
"Kau
sudah siap….?" Pelangi Indah bertanya.
"Aku…
ya aku siap," jawab Wior walau dia tidak tahu apa yang akan dilakukan si
gadis.
Pelangi
Indah menatap ke arah pelita di sudut ruangan. Perlahan-lahan nyala api pelita
menjadi kecil meredup tapi tidak sampai padam. Ruangan yang tidak seberapa
besar itu menjadi temaram. Si gadis dekap pipi Pendekar 212 dengan ke dua
tangannya. Kepalanya lalu di turunkan mendekati wajah sang Pendekar. Lalu
tiba-tiba saja bibirnya sudah menyentuh bibir Wiro. Wiro merasakan satu kecupan
sangat keras hingga bukan saja lidahnya tertarik keluar tapi isi perutnya juga
seolah tersedot. Dari dadanya yang cidera dan dari perut keluar suara seperti
air menggelegak. Suara aneh ini berpindah ke tenggorokannya lalu dia merasa ada
cairan banyak sekali memenuhi mulutnya. Pelangi Indah menyedot. Cairan di dalam
mulut Wiro berpindah ke mulutnya. Lalu dia menyemburkan cairan dalam mulutnya
itu ke dinding. Dinding yang tadinya hitam berubah menjadi biru pekat. Pelangi
indah seka mulutnya yang basah. Bengkak membiru di dada kiri Wiro serta merta
lenyap. Rasa sakit hilang dan kekuatannya pulih kembali.
"Racun
jahat…." ujar Wiro seraya memperhatikan cairan biru yang menutupi dinding.
"Kau
selamat…" bisik Pelangi Indah.
Wiro
berpaling. Dilihatnya gadis cantik itu tegak berpegangan ke tepi ranjang.
Tubuhnya mandi keringat. Wjahnya kemerahan. Dia tertegak limbung. Wiro cepat
memegang pinggang gadis itu agar tidak jatuh. Untuk menyedot racun pukulan yang
ada dalam tubuh Wiro, si gadis telah mengerahkan tenaga luar dan dalam
habis-habisan. Itu sebabnya tubuhnya mandi keringat dan menjadi lemah. Dalam
keadaan terkulai letih tubuh si gadis jatuh di atas dada Pendekar 212. Kening
mereka saling bertindihan.
"Pendekar
212, sepuluh tahun aku menunggu kedatanganmu. Kau muncul membawa keselamatan
bagi diriku! Kau datang membawa batu hitam mustika sakti pelambang kepada siapa
aku harus tunduk dan menyerahkan diri. Wiro, kau tidak boleh meningglkan tempat
ini untuk selama-lamanya…"
Tentu
saja Wiro terkejut mendengar ucapan si gadis. "Aku berhutang nyawa
padanya. Kalau dia sampai memaksa urusan bisa jadi tidak karuan…" ujar
Wiro dalam hati. Lalu dia berkata.
"Pelangi
Indah, kau telah menyelamatkan jiwaku. Aku mengucapkan terima kasih. Tapi aku
tidak mengerti arti….."
Wiro
tidak dapat melanjutkan ucapannya. Karena bibir si gadis telah menempel di
bibirnya. Kembali dia merasakan satu kecupan keras.
"Astaga,
apakah ini masih merupakan kecupan untuk mengobati diriku atau kecupan
lain…." kata Wiro dalam hati. Tangan kanannya menggaruk kepala. Namun
kemudian perlahan-lahan tangan itu bergerak merangkul tubuh lembut Pelangi
Indah. Dalam keadaan seperti itu Pendekar 212 ingat akan niatnya untuk
medapatkan ilmu kesaktian yang bernama Sepasang Sinar Inti Roh. Dia harus
menunggu 49 tahun karena Sinto Gendeng menganggap dirinya belum mampu menerima
ilmu kesaktian itu mengingat dia merupakan seorang pemuda yang masih suka pada
wajah cantik dan tubuh mulus. Dalam hati Wiro membatin. "Nenek itu benar.
Dalam keadaan seperti ini bagaimana mungkin aku menolak. Siapa mau
menyia-nyiakan kesempatan! Walah! Biar tidak aku pikirkan dulu ilmu itu! Kalau
memang aku harus menunggu sekian lama apa boleh buat! Benar juga kata orang.
Sehabis sengsara biasanya datang bahagia tak terduga."
"Wiro,
apakah kau masih kepingin kecing?" tiba-tiba Pelangi Indah berbisik.
"Hemm….
Apa? Tadi aku cuma bergurau. Jangan khawatir, aku tidak bakalan ngompol di
celana!" Wiro menyeringai lalu tertawa tertahan-tahan.
Pelangi
Indah sendiri tak kuasa menahan tawanya. Untung saja Wiro cepat merangkul
tubuhnya hingga suara tawanya tenggelam di atas dada bidang sang pendekar.
TAMAT
No comments:
Post a Comment