WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
******************
1
MENUNGGU
EMPAT PULUH SEMBILAN TAHUN
BUKU ini
merupakan sisi lain dari serial Wiro Sableng yang terbit sebelumnya, berjudul
"Munculnya Sinto Gendeng". Dalam seri tersebut dikisahkan bagaimana
Pendekar 212 Wiro Sableng dan Eyang Sinto Gendeng bersama seorang kakek sakti
bernama Ki Rana Wulung menyelamatkan Sri Baginda dan menghancurkan kaum
pemberontak yang didalangi oleh keponakan Raja sendiri yaitu Pangeran Jingga.
Tugas ke
tiga orang itu dalam membantu menyelamatkan Kerajaan tidak mudah. Kaum
pemberontak dibantu oleh beberapa tokoh silat kelas tinggi, antara lain Bergola
Ijo (mati), Suto Abang (melarikan diri), Si Tangan Besi (mati), Malaikat Serba
Biru (mati), dan Nenek Kelabang Merah (mati).
Keadaan
bertambah ricuh karena ternyata beberapa pejabat tinggi Kerajaan berkhianat dan
ikut membantu kaum pemberontak. Mereka di antaranya adalah Raden Aryo Braja
yang Kepala Balatentara Kerajaan (mati) dan Turonggo Wesi (Perwira Tinggi
Balatentara Kerajaan, mati).
Sebagai
balas budi jasa besar ke tiga orang itu, walau mereka menolak namun Raja
memaksa menyerahkan sebuah peta yang menunjukkan letak sebuah telaga rahasia
yang penuh dengan kandungan emas. Kisah telaga rahasia ini kemudian dituturkan
dalam serial Wiro Sableng ke-37 berjudul "Telaga Emas Berdarah".
Ketika
Eyang Sinto Gendeng berkelahi hidup mati melawan Nenek Kelabang Merah, guru
Pendekar 212 itu mengeluarkan satu ilmu sakti yang mampu memancarikan dua larik
sinar biru dari sepasang matanya. Pendekar 212 terkejut melihat kejadian itu.
Dua larik sinar biru itu ternyata luar biasa hebatnya. Wiro menyadari, selama
digembleng di puncak Gunung Gede sang guru tidak pernah mewariskan ilmu
kesaktian itu padanya. Diam-diam sang pendekar merasa kecewa. Apa betul ucapan
orang bahwa seorang guru tidak pernah mengajarkan atau mewariskan semua ilmu
kepandaiannya pada seorang murid?
Karena
tidak suka memendam hati yang membuatnya merasa tidak enak, di sebuah sungai
kecil Wiro berkata pada sang guru.
"Eyang,
rupanya benar ucapan orang. Bahwa tidak ada guru yang mengajarkan seluruh
kepandaian pada muridnya!"
Saat itu
Sinto Gendeng hentikan larinya, berpaling pada sang murid dengan wajah merah
dan membentak.
"Apa
maksudmu anak sableng?"
"Tadi
kulihat Eyang mengeluarkan ilmu aneh. Dua larik sinar biru melesat keluar dari
mata dan merontokkan tubuh kelabang sakti…!"
"Hemm…
begitu?"si nenek bergumam. "Ucapan orang itu mungkin benar. Tapi aku
mau tanya. Berapa usiamu sekarang, anak sableng…?"
"Dua…
dua puluh satu Eyang!"
"Betul!
Itu berarti kau harus menunggu empat puluh sembilan tahun lagi untuk dapat
menguasai ilmu itu!"
Wiro
garuk-garuk kepalanya.
"Mengapa
begitu, Eyang?"
"Selama
sepasang matamu masih terpikat pada keindahan dunia, selama kedua matamu masih
suka melihat wajah perempuan cantik dan tubuh yang bagus mulus, selama kau suka
melihat aurat perempuan yang terlarang yang bukan istrimu, selama itu pula kau
tak bakal dapat menguasal ilmu itu!"
Mendengar
ucapan sang guru Pendekar 212 Wiro Sableng jadi tertegun diam. Sambil
garuk-garuk kepala dia membuka mulut untuk mengatakan sesuatu. Tapi sang guru
ternyata sudah berkelebat lenyap dari hadapannya.
"Ah…
nenek-nenek itu mungkin benar. Aku masih suka melihat wajah cantik, melihat
dada kencang dan paha putih. Ha… ha… ha…. Biarlah aku tidak menguasai ilmu itu!
Ha… ha… ha!"
******************
2
DIKURUNG
JARING LIMA PENJURU JAGAD
WIRO memandang
ke langit. Sang surya dilihatnya telah menggelincir jauh ke barat. Sebentar
lagi sang mentari ini akan segera tenggelam. Siang akan berganti dengan malam.
Setelah merenung sesaat Pendekar 212 segera tinggalkan tempat itu. Untuk
menghibur hati dia berjalan sambil bersiul-siul membawakan lagu tak menentu. Di
satu tempat Wiro hentikan siulannya. Telinganya menangkap suara gemericik
kucuran air. Mendadak saja pemuda ini merasa haus. Maka diapun melangkah ke
jurusan datangnya suara. Tidak sampai berjalan sejauh sepuluh tombak, Wiro
hentikan langkah. Di depan sana ada sebuah pancuran bambu yang airnya mengucur
jatuh ke atas bebatuan lalu tersebar kemana-mana dalam bentuk aliran-aliran
kecil. Di sebuah batu tak seberapa besar di dekat pancuran, Wiro melihat si
nenek duduk sambil bertopang dagu, menatap ke arah air yang mengucur dari mulut
pancuran bambu.
"Sedang
apa nenek ini berada di sini," berpikir Wiro. Lalu senyumnya menyeruak.
Kembali dia membatin. "Janganjangan dia sengaja menunggu aku di sini.
Jangan-jangan dia berubah pikiran hendak mengajarkan ilmu dua larik sinar biru
yang bisa melesat keluar dari mata itu!" Berpikir begitu Wiro segera
dekati Eyang Sinto Gendeng dan menegur.
"Eyang,
aku kira kau sudah pergi jauh. Ternyata nongkrong di sini. Apakah kau hendak
mandi membersihkan diri dengan air pancuran?"
"Anak
sableng! Jangan kau berani menghina aku! Siapa yang mau mandi? Apa kau kira aku
tidak pernah mandimandi?!" Si nenek bicara dengan suara keras mata
melotot. Tapi pandangannya tidak beralih dari arah pancuran.
Sang
murid kembali tersenyum. Dalam hati dia berkata. "Nek, kalau kau sering
mandi, tubuhmu tidak dekil begitu dan pakaianmu tidak bau pesing!"
"Anak
setan! Apa yang barusan kau ucapkan dalam hati?!"
Hardikan
si nenek membuat Wiro Sableng tergagau. "Celaka, mungkin dia tahu apa yang
tadi kubilang dalam hati!"
Wiro
cepat berkata. "Maafkan aku Nek, aku tidak berucap apa-apa. Cuma aku heran
melihat kau ada di sini. Kau seperti tengah memikirkan sesuatu. Seolah ada
ganjalan dalam hatimu. Eyang, mungkin juga kau mendadak berubah pikiran?"
"Anak
setan! Apa maksudmu?! Pikiran aku yang mana yang berubah? Atau kau mau bilang
aku berubah jadi setengah waras atau mendadak jadi sinting?!" Sinto
Gendeng kembali membentak. Dua matanya tetap saja menatap ke arah pancuran
bambu.
"Maksudku,
mungkin aku tidak usah menunggu empat puluh sembilan tahun. Kau mau mengajarkan
ilmu dua jalur sinar biru itu sekarang juga…."
"Benar-benar
anak setan! Bertahun-tahun kau ikut aku di puncak Gunung Gede! Apa selama itu
kau pernah melihat aku berubah pikiran?!"
"Memang
tidak pernah Eyang," jawab Wiro masih senyum dan kali ini sambil garuk
kepala. "Tapi pertimbangan tertentu bisa membuat seseorang berubah.
Misal, kau menyadari tantangan dan bahaya di dalam rimba persilatan semakin
besar. Hingga…."
"Hingga
aku merasa perlu membekalimu dengan ilmu dua larik sinar biru itu!
Begitu?!"
"Kira-kira
begitu Nek," jawab Wiro lalu tertawa lebar.
Lima
tusuk kundai perak yang menancap di kulit kepala si nenek berjingkrak. Mulutnya
yang kempot digembungkan.
"Anak
setan! Lekas angkat kaki dari sini! Jangan sampai aku menggebukmu karena
muak!"
"Eyang,
maafkan aku. Bukan maksudku membuatmu marah. Aku tidak memikirkan lagi soal
ilmu itu. Juga tidak untuk masa empat puluh sembilan tahun mendatang. Apa
perlunya kepandaian di usia sudah bau tanah. Justru ilmu itu harus dimanfaatkan
selagi muda untuk menolong sesama…. "
Sinto
Gendeng cemberut sebentar lalu tertawa mengekeh.
"Anak
sableng! Kau pandai memilih kata-kata agar hatiku bisa terenyuh! Hik… hik… hik!
Sekalipun angin sejuk atau angin api mendera hatiku, jangan harap Sinto Gendeng
bisa berubah pikiran! Sudah! Pergi sana! Jangan mengganggu diriku lebih
lama!"
Wiro
membungkuk hormat. "Jika begitu kehendak Eyang, aku minta diri sekarang.
Tapi kalau boleh aku memberi nasihat sebaiknya Eyang jangan lama-lama berada di
tempat ini…."
"Eh,
memangnya kenapa? Siapa yang berani melarang?!" Sinto Gendeng pelototkan
mata ke arah air pancuran.
"Tidak
ada yang melarang Eyang. Setahuku di sekitar sini ada binatang buas aneh
berkepala macan tapi cuma punya dua kaki. Makhluk ini jahat sekali, paling suka
menggeragot benda jelek dan bau-bau!"
"Anak
setan jahanam! Mentang-mentang aku jelek dan bau! Kau sengaja menghina
mempermainkan diriku! Makhluk apapun yang ada di sekitar sini siapa takut! Kau
memang minta digebuk!" Saking marahnya Sinto Gendeng gerakkan tangan kiri
hendak memukul sang murid.
Tapi
sambil tertawa gelak-gelak Wiro sudah melompat. Pemuda ini lambaikan tangannya.
"Selamat tinggal Eyang…. " Wiro menyelinap ke balik serumpunan pohon
bambu hutan. Baru berjalan belasan langkah tiba-tiba di belakangnya terdengar
si nenek berseru.
"Anak
setan! Tunggu! Lekas kau kembali ke sini!"
Wiro
tersenyum sendiri. "Ah, pasti dia benar-benar berbalik hati. Pasti dia
memanggilku untuk mengajarkan ilmu kesaktian dahsyat itu. Mulutnya yang perot
itu memang suka bicara kasar. Tapi aku tahu hatinya seperti emas…." Sambil
tertawa-tawa Wiro kembali ke tempat gurunya. Si nenek masih duduk di tempat
tadi dan tetap menatap ke arah pancuran bambu.
"Nek,
aku sudah di sini. Ada sesuatu yang hendak kau sampaikan padaku?"
"Malam
ini malam apa?!" Sinto Gendeng tiba-tiba ajukan pertanyaan.
Wiro jadi
garuk-garuk kepala. Sebelumnya dia menduga si nenek akan bicara soal ilmu
kesaktian itu. Ternyata malah mengajukan pertanyaan aneh.
"Aku
bertanya, kau tidak menjawab! Apa mulutmu mendadak gagu?! Atau kupingmu
tiba-tiba budek?!" Sinto Gendeng membentak.
Sang
murid garuk kepala, cepat-cepat menjawab. "Hari ini hari Kamis, Nek. Malam
nanti jelas malam Jum’at…."
"Bocah
tolol! Aku juga tahu kalau hari ini hari Kamis dan nanti malam Jum’at! Yang aku
ingin tanya malam nanti malam apa? Apa malam Legi, Pahing, Pon, Wage atau
Kliwon?! Dasar anak setan! Sudah dua puluh satu tahun masih saja konyol dan
geblek!"
Pendekar
212 mau tak mau jadi garuk-garuk kepala. Dia berpikir-pikir. "Kalau aku
tidak salah, mungkin sekali malam nanti adalah malam Jum’at Kliwon, Nek…."
Untuk
pertama kalinya si nenek alihkan pandangannya dari air pancuran yang sejak tadi
diperhatikannya. "Jangan bicara kalau atau mungkin! Aku ingin yang
pasti!" Si nenek menghardik.
Wiro
perhatikan wajah sang guru. Seperti ada perubahan di muka si nenek yang hanya
tinggal kulit pembalut tulang itu. "Aku… aku yakin malam nanti adalah
malam Jum’at Kliwon," kata Wiro setelah berpikir lagi.
"Kau
yakin?!"
"Yakin
sekali Nek," jawab Wiro. Dalam hati dia merasa heran, mengapa sang guru
bertanya begitu. Ketika dia memperhatikan lagi-lagi Wiro melihat wajah si nenek
berubah.
"Kalau
kau yakin sebentar malam adalah malam Jum’at Kliwon ya sudah! Pergi
sana…."
"Jadi
kau memanggilku hanya untuk bertanya itu Nek? Jadi sekarang aku pergi
saja?"
"Apa
kau tuli?!" sentak Sinto Gendeng.
"Aku
segera pergi Nek. Apa ada hal lain yang bisa kulakukan untuk Eyang sebelum
pergi?" tanya Wiro.
"Tidak
ada! Aku hanya ingin kau tinggalkan tempat ini!" jawab Sinto Gendeng lalu
kembali dia memandang ke arah pancuran bambu.
Melihat
sikap sang guru begitu rupa sambil tersenyum Pendekar 212 segera tinggalkan
tempat itu. Lupa kalau sebelumnya dia merasa haus. Sesaat kemudian sang surya
sudah lenyap di kaki katulistiwa sebelah barat. Siang berganti malam. Kegelapan
mulai merayap pekat.
Sinto
Gendeng tarik nafas panjang. Dia ulurkan dua tangannya untuk rnenampung air
pancuran yang sejuk. Maksudnya hendak minum beberapa teguk. Namun gerakannya
tertahan ketika telinganya yang tajam mendengar suara-suara berkelebat. Nenek
sakti ini melirik. Lima bayangan hitarn berpencar. disekelilingnya
"Mereka
sudah datang…" kata si nenek dalam hati. "Mereka sengaja mengurungku
dengan Jaring Lima Penjuru Jagat. Selama ini mereka mengagulkan tak ada yang
mampu menembus kurungan itu. Weehhhhh! Aku mau lihat apa benar begitu! Hik…
hik… hik."
******************
3
DENDAM
DELAPAN TAHUN
SINTO
GENDENG!" satu suara membentak dalam kegelapan. Orangnya tegak mende kam
di sebelah kanan si nenek. "Delapan tahun mencarimu! Akhirnya kau kami
temui juga! Kelahiran kehendak Yang Kuasa! Kematian kehendak takdir! Sebelum
kami bantai kami masih memberi kesempatan padamu untuk bertobat minta ampun!"
Di tempatnya
si nenek tampak tidak bergerak. Lalu terdengar suara tawanya cekikikan.
Mula-mula perlahan saja tapi lama-lama tambah keras dan dahsyat. Lima orang
dalam gelap kerenyitkan kening karena telinga mereka menjadi sakit laksana
dicucuk. Kelimanya saling pandang lalu berusaha tutup jalan pendengaran
masing-masing. Ada yang mengerahkan tenaga dalam, ada pula yang menempelkan
telapak tangan ke telinga kiri kanan.
"Delapan
tahun rupanya singkat sekali! Langkah dan pertemuan memang bukan manusia yang
mengatur! Tetapi ada banyak manusia yang merasa seolah pandai dan berkuasa!
Padahal kebodohan mereka terkadang berakhir di pinggir comberan liang kubur!
Hik… hik…
hik!"
Kata-kata
Sinto Gendeng itu membuat lima orang yang mengurung dalam gelap menjadi marah.
Namun mereka masih bisa mengendalikan diri.
"Sinto
Gendeng, apakah saat ini kau masih membawa Kapak Maut Naga Geni 212 dan batu
hitam sakti pasangannya?" orang di sebelah kiri bertanya.
"Weehhhh!
Kalian masih saja menanyakan senjata mustika itu. Apa selama ini tidak sanggup
membuat senjata sendiri?!"
"Kami
bukan sengaja serakah untuk dapatkan senjata orang lain!" orang di sebelah
belakang menjawab. "Tapi jika kau mau menyerahkan senjata itu mungkin kami
masih mau memilihkan cara mati yang paling enak bagimu! Ha… ha… ha!
"Ucapanmu
polos juga! Tapi aku tidak percaya kalau hatimu juga polos! Delapan tahun kau
menguntit aku! Apa hanya karena inginkan kapak sakti itu? Pasti ada maksud lain
yang tidak terpuji! Bicara saja terang-terangan agar kalau kubunuh kalian satu
persatu
aku tidak penasaran lagi! Hik… hik… hik!" Sinto Gendeng balas tertawa.
Orang di
samping kanan Sinto Gendeng mendengus marah. Dia bergerak melangkah. Tapi
segera dibentak oleh si nenek sambil jentikkan tangan kanannya.
"Bicara
tetap di tempat! Jangan berani mendekat!"
"Wuuussss!"
Jentikan
si nenek menimbulkan satu gelombang angin yang membuat sebuah batu serta tanah
di depan orang yang barusan bergerak terbongkar besar! Orang ini cepat bersurut
dan tegak diam di tempatnya.
"Nah,
begitu lebih baik. Sekarang silahkan bicara! Dan awas! Aku tidak begitu suka
melihat orang bicara ngawur!"
"Kami
datang membekal dendam!" orang di sebelah kanan berucap datar.
"Weehhh!
Dendam yang mana? Delapan tahun kemanamana membawa dendam pasti kau repot
keberatan! Hik… hik!"
"Malam
ini dendam itu akan kutumpas habis dengan nyawa dan darahmu!"
"Aku
bersyukur kalau kau bisa melakukan itu! Sekarang majulah mendekat. Biar kulihat
tampangmu!"
Orang di
sebelah kanan melangkah maju. Empat temannya melakukan hal yang sama walau
tidak terlalu mendekati si nenek karena mereka tahu bagaimana berbahayanya
Sinto Gendeng.
"Wallaahhh!
Kau ternyata pakai topeng seperti muka barong! Mana aku bisa mengenali
dirimu!" Sinto Gendeng geleng-gelengkan kepala. Sambil berbuat begitu dia
melirik empat orang lainnya. Mereka semua berjubah hitam dan juga mengenakan
topeng menutupi wajah masing-masing.
"Walau
kami menutupi muka dengan topeng! Tapi orang rimba persilatan mana yang tidak
tahu siapa kami! Sinto Gendeng! Jangan berpura-pura tidak tahu dendam apa yang
kami bawa!"
"Kau
betul, siapa tidak tahu diri kalian! Lima manusia berjubah hitam yang separoh
dari usianya sengaja menjalani hidup dengan menutup muka! Hik… hik… hik. Lima
Laknat Malam Kliwon! Begitu rimba persilatan menggelari kalian karena selalu
muncul menebar maut hanya pada malam-malam Kliwon! Banyak orang menganggap
kalian angker dan hebat! Tapi jangan menjual nama dan tampang di depan Sinto
Gendeng!" .
"Bagus!
Ternyata kau sudah tahu siapa kami jadi tidak perlu susah payah berikan
keterangan!" Orang di sebelah kanan ini lalu memberi tanda dengan goyangan
kepala pada empat kawannya. Dalam gelap, lima sosok berjubah hitam itu segera
melesat menyerbu si nenek yang sampai saat itu masih tetap duduk di atas batu
di depan pancuran bambu.
"Hilang!"
dua diantara lima orang itu berseru kaget ketika mereka dapatkan Sinto Gendeng
tidak ada lagi di atas batu dan mereka hanya melompati tempat kosong.
Di
belakang mereka tiba-tiba terdengar suara tawa cekikikan. "Jaring Lima Penjuru
Jagat! Kalian agulkan sebagai tidak bisa ditembus lawan! Nyata nya aku bisa
molos! Hik… hik… hik! Sungguh memalukan!" ‘
Lima
orang yang dalam rimba persilatan dijuluki sebagai Lima Laknat Malam Kliwon
kertakkan rahang sama menggeram. Kelimanya serentak berbalik. Lima tangan serta
merta menghantam.
"Kraakkkk!"
Sebatang pohon patah dan tumbang.
"Braakkk!"
Serumpunan semak belukar setinggi dada mental berantakan.
"Byaaarr!"
Sebuah batu besar ikut amblas hancur di hantam lima pukulan tangan kosong yang
mengandung tenaga dalam tinggi.
"Hik…
hik… hik! Kalian menyerang siapa? Aku ada di sini!"
Kaget
lima orang bertopeng itu bukan alang kepalang. Mereka berpaling! Gila betul! Si
nenek yang tadi ada di belakang dan sama-sama mereka hantam dengan pukulan yang
bisa mencerai beraikan sekujur tubuhnya kini tahutahu terlihat duduk
enak-enakan di atas batu di depan air pancuran. Malah saat itu enak saja dia
kelihatan keluarkan susur lalu dimasukkan ke dalam mulut dan mengunyah
terkempot-kempot!
"Perempuan
tua bangka jahanam! Serbu dia dengan jurus Lima Bintang Jatuh!" salah
seorang dari lima orang bertopeng berteriak marah.
Lima
sosok berjubah hitam melesat dua tombak ke udara. Lalu benar-benar seperti
bintang jatuh ke limanya kemudian menukik ke arah Sinto Gendeng. Lima tangan
laksana palu godam diayunkan ke lima bagian tubuh Sinto Gendeng!
******************
4
LAKNAT
BERNASIB MALANG
DARI
cepatnya alur serangan serta sambaran angin yang menerpa tubuhnya Sinto Gendeng
sadar kalau lawan telah mengeluarkan jurus yang tak bisa dibuat main. Karenanya
nenek sakti ini juga tak mau berlaku ayal. Di atas batu tubuhnya berputar
setengah lingkaran. Dua tangan dihantamkan ke atas. Kaki kiri ditendangkan ke
depan.
"Bukkk!"
"Bukkk!"
"Dukkkk!"
Dua
lengan Sinto Gendeng bergetar hebat begitu bentrokan dengan dua lengan lawan.
Tubuhnya terhenyak jatuh ke bawah. Dua lawan terpental beberapa langkah. Satu
jotosan melanda bahunya sebelah kiri membuat si nenek menggeram kesakitan. Di
sebelah depan, satu dari lima lawannya yang berhasil ditendangnya mencelat sambil
mengeluarkan jeritan. Orang ini terhampar di tanah, menggeliat-geliat sambil
pegangi perut. Kelihatannya dia cukup kuat karena sesaat kemudian dia bangkit
berdiri kembali dan bergabung dengan empat temannya.
Perkelahian
lima lawan satu itu berkecamuk semakin hebat. Lima Laknat Malam Kliwon
lancarkan serangan sambil mengurung rapat. Walau sampai enam jurus di muka
mereka masih belum mampu mendaratkan serangan di tubuh lawan namun keadaan
Sinto Gendeng saat itu benar-benar berbahaya. Seolah hanya tinggal menunggu
waktu saja. Gilanya si nenek menghadapi serbuan lima pengeroyok dengan tenang.
Mulutnya yang dipenuhi susur terkempot-kempot dan termonyong-monyong.
Memasuki
jurus ke sembilan serangan Lima Laknat Malam Kliwon bertambah gencar laksana
air bah. Sinto Gendeng mainkan jurus-jurus pertahanan Tameng Sakti Menerpa
Hujan, Benteng Topan Melanda Samudera, Dinding Angin Berhembus Tindih Menindih.
Jurus-jurus
pertahanan itu diselingnya dengan jurusjurus menyerang Segulung Ombak Menerpa
Karang, Membuka Jendela Memanah Rembulan, Di Balik Gunung Memukul Halilintar
serta Kepala Naga Menyusup Awan. Lalu tidak lupa pula dia hantamkan
pukulan-pukulan sakti Orang Gila Mengebut Lalat, Kunyuk Melempar Buah, dan
Angin Puyuh.
Lima
pengeroyok lambat laun menjadi leleh juga nyali mereka. Dikeroyok lima ternyata
si nenek bukan saja mampu bertahan tapi malah balas menyerang dengan ganas.
Yang bisa mereka lakukan hanyalah menjaga diri masing-masing dan mengurung
rapat agar lawan tidak lolos. Disamping itu mereka terus memutar otak bagaimana
bisa merobohkan Sinto Gendeng.
Di jurus
ke dua puluh sembilan satu celah tipis, untuk mendaratkan serangan terlihat
oleh tiga dari lima pengeroyok. Mereka bersirebut cepat untuk susupkan jotosan
ke dada, kepala dan ulu hati lawan. Hampir serangan itu akan mengenai sasaran
tiba-tiba Sinto Gendeng keluarkan pekik keras. Tubuhnya bergelung seperti ular
menggeliat lalu melesat ke udara. Bersamaan dengan itu kaki kanannya menendang.
Inilah jurus yang disebut Ular Naga Menggelung Bukit. Sebenarnya jurus ini
mempergunakan gerakan tangan untuk melibas tubuh lawan. Tapi si nenek gantikan
tangan dengan kaki dan bukan untuk merangkul melainkan untuk menendang!
"Braaakkk!"
Tendangan
kaki kanan Sinto Gendeng bersarang di dada lawan paling depan. Orang ini adalah
yang sebelumnya juga telah terluka di dalam akibat tendangan Sinto Gendeng.
Melihat kawan mereka terkapar mengerang di tanah dan ada darah meleleh keluar
dari bawah topengnya, empat anggota Lima Laknat Malam Kliwon menjadi leleh
nyalinya. Salah seorang dari mereka berbisik pada kawan di sebelahnya.
"Delapan
tahun memburu tidak sangka kita hanya menemui kesia-siaan! Jahanam betul!
Ternyata nenek ini sangat tinggi ilmu kepandaiannya! Beri tanda pada
kawankawan, agar segera tinggalkan tempat ini!"
"Bagaimana
dengan teman yang satu itu?" sang kawan bertanya.
"Tidak
ada waktu untuk mengurusnya. Melihat keadaannya nyawanya tak bisa ditolong!
Kalau kita menghabiskan waktu menolongnya salah-salah kita bakal kena digebuk
nenek keparat itu! Apa kau tidak sadar. Sampai saat ini dia masih belum
mengeluarkan Pukulan Sinar Matahari! Apa lagi kalau dia sampai menyerang dengan
Sepasang Sinar Inti Roh, kita semua bisa celaka!"
"Kalau
cuma pukulan Sinar Matahari mengapa perlu ditakutkan? Lagi pula kita belum
pasti apa benar dia memiliki ilmu kesaktian bernama Sepasang Sinar Inti Roh
itu!"
"Sudah!
Jangan banyak cerita! Kalau kau mau mampus lebih dulu silahkan tinggal di sini!"
Setelah
saling memberi tanda empat dari lima manusia berjubah dan bertopeng hitam itu
akhirnya segera berkelebat melarikan diri.
Sinto
Gendeng cabut susurnya lalu meludah ke tanah. Dia tiada niat hendak mengejar
empat orang yang kabur itu. Dia memasukkan kembali susur ke dalam mulutnya lalu
segera dekati orang yang ditinggalkan kawankawannya. Setelah pandangi sebentar
wajah bertopeng itu Sinto Gendeng tertawa cekikikan.
"Laknat
bernasib malang! Kawan-kawanmu sudah pada kabur! Kalian biasa membunuh orang di
malam Kliwon! Kini justru kau sendiri yang bakal menerima mampus di malam
Kliwon ini! Hik… hik… hik!"
Dari
balik topeng orang berjubah hitam yang tergeletak di tanah terdengar suara
bergumam. Dia seperti hendak mengatakan sesuatu namun yang keluar justru
lelehan darah, mengucur semakin banyak dari bawah topengnya.
Dengan
mempergunakan ujung kaki kirinya yang kurus hanya tinggal tulang serta kotor,
enak saja Sinto Gendeng tanggalkan topeng di muka orang. Begitu wajahnya
tersingkap kagetlah si nenek, sampal dia keluarkan suara seruan tertahan dan
tersurut dua langkah.
"Kau!"
******************
5
BAHALA
DARI TELUK AKHIRAT
ORANG
yang tergeletak di tanah keluarkan suara mengerang. Darah semakin banyak keluar
dari mulutnya. Matanya menatap sayu pada Sinto Gendeng. Orang ini ternyata
adalah seorang kakek berambut dan berkumis kelabu. Walau sudah tua serta dalam
derita menahan sakit luar biasa, wajahnya masih kelihatan gagah.
"Suro
Ageng!" berseru Sinto Gendeng. "Apa mataku tidak salah melihat? Benar
kau…?!" Sepasang mata si nenek melotot tak berkesip.
Si kakek
kedipkan matanya satu kali.
"Kau
tidak salah melihat Sinto. Ini memang aku… Suro Ageng…."
Sinto
Gendeng jatuhkan dirinya dan duduk di samping kakek bernama Suro Ageng itu.
"Belasan tahun kita tidak bertemu, mengapa tahu-tahu jadi begini…? Ah!
Kalau aku tahu siapa dirimu tentu aku tidak akan menurunkan tangan
jahat…."
"Kau
tidak salah Sinto! Berani berbuat berani menerima akibat! Itu nasib
diriku!"
"Suro…."
Sinto Gendeng perbaiki letak kepala si kakek hingga lebih tinggi. "Mengapa
kau melakukan ini? Mengapa kau sampai jadi anggota Lima Laknat Malam
Kliwon?"
"Aku
terjebak Sinto. Pimpinan mereka meracuniku dengan tuba sejak sepuluh tahun
silam. Jika aku dan kawan-kawan berhasil membunuhmu baru dia akan memberikan
obat penawar!"
"Jahanam!
Siapa orang yang jadi biang racun pimpinan Lima Laknat Malam Kliwon itu?"
"Aku
sendiri tidak tahu. Lagi pula percuma untuk menyelidik. Apakah selama belasan
tahun berpisah kau selalu balk-baik Sinto?"
Si nenek
tidak menjawab. Matanya menatap pada wajah yang tengah sekarat menahan sakit
itu. Dua mata si nenek tampak berkaca-kaca.
"Sinto,
apakah masih ada rasa cinta dalam dirimu terhadapku seperti di masa muda dulu….
"
"Gila!
Kau bicara apa ini!" sentak Sinto Gendeng. Tapi kemudian dia merasa
menyesal berkata kasar begitu dan gigit bibirnya. Tengkuknya terasa dingin.
"Ah,
kau masih galak seperti dulu saja…" kata Suro Ageng menyeringai lalu
mengerang kesakitan.
Sinto
Gendeng tersenyum dan usap kepala si kakek. "Aku akan mengobatimu! Kau
pasti bisa sembuh dan hidup lagi di jalan yang benar!" Si nenek meraba ke
balik pakalan bututnya. Namun Suro Ageng gelengkan kepala dan berkata.
"Aku
berterima kasih mendengar ucapanmu. Satu pertanda kau masih mengasihiku. Tapi
tak ada gunanya Sinto. Lukaku sangat parah. Salah satu sisi jantungku agaknya
sudah remuk…."
"Aku
yang menyebabkan! Aku yang menendangmu tadi!" kata Sinto Gendeng
sesenggukan. Lalu pukul-pukul kepalanya sendiri.
Suro
Ageng tersenyum. "Kau tahu Sinto, betapa aku merasa bahagia. Karena tidak
pernah menyangka bakal menemui ajal di sampingmu…." Darah mengucur lagi
dari mulut si kakek.
"Jangan
berkata begitu Suro. Kau akan sembuh! Kau pasti sembuh!" Kembali si nenek
meraba ke balik pakaiannya di mana dia menyimpan sejenis obat sangat ampuh.
Kali ini Suro Ageng diam saja, memperhatikan apa yang dilakukan Sinto Gendeng.
Namun
belum sempat nenek sakti itu mengeluarkan bungkusan obat dari balik pakaiannya
sekonyong-konyong dari kegelapan melesat satu bayangan aneh menebar bau
busuknya binatang hutan.
"Sinto
awas! Aku merasa ada bahaya mengancam dirimu…" kata Suro Ageng.
"Siapa
berani mencari mati! Apa lagi dalam keadaan aku hendak menolongmu!"
"Makhluk
yang katanya mencari mati itu bernama Kelelawar Pemancung Roh!" satu suara
menjawab lalu orang yang bicara ini melangkah mendekati Sinto Gendeng dan Suro
Ageng.
Orang ini
bertubuh besar tinggi dengan sepasang kuping mencuat ke atas. Dia memiliki dua
buah tangan panjang menjela sampal ke bawah lutut, hitam berbulu. Dua matanya
sangat kecil dan sipit, seolah terpejam.
Baik
Sinto Gendeng maupun Suro Ageng sama-sama terkejut melihat munculnya orang ini.
Si kakek cepat berbisik. "Sinto, ingat. Empat puluh tahun silam kau pernah
mengobrak-abrik sarang kaum pemberontak di selatan. Delapan diantara orang yang
kau basmi itu punya pertalian darah sangat erat dengan Kelelawar Pemancung Roh
dari Teluk Akhirat ini. Hati-hati Sinto…."
"Aku
ingat. Siapa takut…!"
"Baiknya
segera kau tinggalkan tempat ini. Bukan menganggap enteng dirimu. Tapi manusia
ini punya ilmu jahat berupa hawa beracun yang bisa membunuh siapa saja dalam
waktu singkat! Hawa itu tidak berwarna dan tidak berbau!"
"Kau
tenang saja Suro. Biar aku yang menghadapi monyet tangan panjang ini!"
Sinto
Gendeng bergerak bangkit. Gerakannya tertahan ketika dia melihat satu keanehan
terjadi dengan sosok orang bernama Kelelawar Pemancung Roh itu. Bersamaan
dengan gerakan mengangkat ke dua tangannya ke atas tiba-tiba tubuhnya yang
tinggi besar menciut pendek sampai hanya tinggal setinggi lutut. Sebaliknya dua
tangannya yang hitam berbulu semakin besar dan panjang.
"Plaakkk!"
"Plaakkk!"
Ada suara
seperti kepakan sayap. Dua buah benda lebar memayungi tempat itu hingga suasana
menjadi sangat gelap. Dalam kegelapan itu Sinto Gendeng mendongak ke atas. Si
nenek tercekat!
Di
ujung-ujung tangan orang yang tubuhnya mengecil itu kini kelihatan dua ekor
kelelawar raksasa mengepakkan sayap tiada henti. Dua matanya yang memancarkan
sinar merah memandang membersitkan maut pada Sinto Gendeng. Mulutnya terbuka
lebar memperlihatkan gigi-gigi runcing pertanda beringas. Sepasang kaki dua
kelelawar raksasa ini ternyata menjadi satu dengan tangan orang yang
memegangnya.
"Sinto!"
seru Suro Ageng. "Lekas tinggalkan tempat !nil"
Tapi si
nenek mana mau perduli. Malah dia sudah alirkan tenaga dalam ke tangan kanan.
Sosok
kerdil gerakkan dua lengannya. Tiba-tiba dua kelelawar jejadian menguik
dahsyat. Sebelum Sinto Gendeng sempat pentang tangannya untuk menghantam
mendadak dari mulut dua kelelawar itu menderu tiupan angin kencang.
"Seribu
Hawa Kematian!" teriak Suro Ageng. "Sinto! Lekas menyingkir!"
Walau
sudah diperingati begitu Sinto Gendeng tetap saja pasang kuda-kuda siap untuk
menghantam dengan pukulan sakti. Melihat hal ini Suro Ageng kumpulkan semua
tenaga yang ada lalu melompat. Ketika hawa beracun dari dua mulut kelelawar
menerpa, sosok si kakek berada di depan Sinto Gendeng, menghalangi
membentenginya. Namun perbuatannya sia-sia belaka karena hawa beracun yang
tidak terlihat dan tidak berbau itu telah menyungkup di sekitar mereka! Saat
itu juga ke dua orang itu megap-megap roboh ke tanah.
"Plaakk!"
"Plaakk!"
Dua
kelelawar raksasa kepakkan sayapnya. Sosok orang yang memegangnya membesar
kembali. Begitu sampai pada ukuran sebelumnya dua kelelawar serta merta lenyap.
Orang ini turunkan tangannya lalu setelah tertawa bergelak dia tinggalkan
tempat itu.
******************
6
PENGORBANAN
DI AKHIR HAYAT
DI SATU
jalan mendaki Pendekar 212 hentikan larinya. Memandang berkeliling dia hanya
melihat kegelapan. Hatinya gelisah. Bukan kegelapan itu yang membuatnya
gelisah. Dia merasa tidak enak karena ingat akan gurunya yang ditinggalkan sendirian.
Memang si nenek tidak kurang suatu apa. Tapi sikapnya tidak seperti biasa. Lalu
apa pula maksudnya menanyakan malam itu malam apa. Selagi dia berpikir-pikir
begitu rupa tiba-tiba dia melihat empat bayangan hitam berkelebat di antara
rerumpunan semak belukar. Wiro cepat menyelinap, mendekam di satu tempat gelap
dan mengintai. "Jangan-jangan para tokoh silat kaki tangan
pemberontak," pikir Wiro. "Kita kembali saja ke Kotaraja! Sialan,
tidak sangka setan satu itu tinggi sekali ilmunya!" Salah seorang dari
rombongan di dalam gelap berkata. Wiro memperhatikan. "Mereka mengenakan
jubah hitam. Muka memakai topeng hitam seperti barong. Siapa gerangan
orang-orang ini…" pikir Wiro. Lalu didengarnya salah seorang dari mereka
berkata menyahuti ucapan kawannya tadi. "Kotaraja sedang tidak aman. Apa
kau tidak dengar riwayat seorang pemuda sakti mandraguna yang menghabisi
pentolan pemberontak? Kita jangan sampai terlibat! Urusan kita ada yang lebih
penting." "Kalau begitu kita segera saja menuju ke puncak Merapi menemui
Pimpinan!" Tiga kawan yang lain menyetujui. Maka saat itu juga ke empat
orang itu berkelebat ke arah timur dan lenyap dalam kegelapan.
Wiro
keluar dari balik tempat pengintaiannya sambil usap-usap dagu, coba
menduga-duga siapa adanya ke empat orang itu. "Dari pembicaraan mereka
agaknya mereka bukan pentolan pemberontak. Lalu siapa yang disebut setan satu
yang tinggi sekali ilmunya itu?"
Setelah
berpikir beberapa saat lagi akhirnya Wiro memutuskan untuk kembali ke tempat
dia meninggalkan Eyang Sinto Gendeng. Mungkin dia tidak perlu menemui sang
guru. Asal melihat si nenek berada dalam keadaan tak kurang suatu apa hatinya
baru lega dan dia lantas akan lanjutkan perjalanan.
Karena
mempergunakan ilmu lari cepat dan me nempuh jalan yang sebelumnya sudah dilewati
maka dalam waktu singkat Wiro sampai kembali ke tempat dia meninggalkan Eyang
Sinto Gendeng. Namun betapa kejutnya setengah mati ketika melihat sang guru
tergeletak di tanah dengan mata nyalang tak berkesip dan mulut mengeluarkan
busah. Di sebelahnya terkapar seorang kakek yang juga mengeluarkan busah serta
darah dari mulutnya. Meskipun megap-megap sekarat tapi matanya kelihatan
nyalang.
"Guru!
Eyang!" teriak Wiro lalu jatuhkan diri dan letakkan kepala si nenek di
atas pangkuannya.
Sosok
kakek di sebelah Sinto Gendeng bergerak sedikit. "Anak muda, siapapun kau
adanya lekas ambil sebuah sapu tangan hitam dalam saku pakaianku…."
"Katakan
apa yang terjadi?! Kau siapa?!" Wiro memotong ucapan orang.
"Jangan
bertanya menghabiskan waktu! Sinto Gendeng dalam bahaya besar. Dia bisa mati
dalam beberapa kejapan kalau tidak segera ditolong. Didalam lipatan sapu tangan
hitam ada empat butir obat. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Masukkan
obat itu ke dalam mulut Sinto Gendeng! Lekas, lakukan segera! Jangan sampai
terlambat!"
Sesaat
Wiro masih bingung. Tapi kemudian dia segera lakukan apa yang dikatakan orang.
Di dalam saku kanan pakaian hitam si kakek memang dia menemukan sehelai sapu
tangan hitam. Dalam gulungan sapu tangan itu ada empat butir benda bulat sebesar
ujung jari kelingking. Dua berwarna putih, dua berwarna hitam. Seperti yang
dikatakan kakek tak dikenal itu Wiro masukkan obat itu ke dalam mulut gurunya.
Lalu dia mengurut tenggorokan Sinto Gendeng hingga empat butir obat tertelan
dan melewati tenggorokan lalu masuk ke dalam perut. Begitu masuk ke dalam usus
besar, Sinto Gendeng menggeliat dan keluarkan suara erangan keras. Dari
mulutnya mengepul asap aneh. Matanya yang tadi mendelik perlahan-lahan menutup.
Lalu sosok si nenek tidak bergerak lagi.
"Jahanam!
Kau menipu! Guruku menemui ajal akibat obat yang ditelannya!" teriak Wiro
marah. Tangan kanannya siap hendak menggebuk batok kepala si kakek.
"Anak
muda! Jangan cepat salah sangka! Jangan keburu menduga buruk. Gurumu hanya
pingsan tanda obat tengah bekerja. Walau tidak sembuh menyeluruh tapi yang
penting Sinto Gendeng sudah lolos dari lobang jarum kematian. Coba kau periksa
lengannya. Kau akan merasakan denyutan nadi tanda dia masih hidup…."
Wiro
cepat meraba pergelangan tangan kanan Sinto Gendeng. Hatinya lega. Ternyata
memang masih ada denyutan pada urat besar si nenek.
"Orang
tua, harap kau menerangkan apa yang terjadi. Dan kau sendiri siapa?"
"Dua
pertanyaanmu tidak penting. Sebelum aku meregang nyawa ada beberapa hal yang
perlu aku beri tahu…. Pertama, Sinto Gendeng walaupun selamat dari kematian
tapi seumur hidup tubuhnya sebelah pinggang ke bawah akan mengalami kelumpuhan.
Hal kedua, satusatunya cara untuk mengobati kelumpuhan itu adalah mencari
sekuntum Bunga Matahari yang tumbuh menghadap matahari terbit dan hanya
mengembang pada saat terjadi gerhana matahari. Jika kau berhasil mendapatkan
bunga itu pada saat mengembang dan dimakan oleh Sinto Gendeng maka dia akan
sembuh dari kelumpuhan…."
"Aku
sudah mendengar ucapanmu Kek! Sekarang katakan apa yang terjadi! Siapa yang
melakukan malapetaka ini atas diri guruku? Lalu kau sendiri siapa?"
"Orangnya
dikenal dengan julukan Kelelawar Pemancung Roh. Sarangnya di Teluk Akhirat. Dia
menghantam Sinto Gendeng dengan racun Seribu Hawa Kematian. Tidak ada satu
orangpun yang mampu lolos dari kematian jika diserang. Racun itu berupa hawa
yang tidak kelihatan dan juga tidak berbau. Karena keadaannya lebih berat dari
udara maka hawa beracun ini selalu mengambang dari atas ke bawah. Akibatnya
tidak ada yang bisa lolos dari kematian…."
"Aku
pernah mendengar nama Kelelawar Pemancung Roh itu. Akan kucari dan kucincang
sampai lumat manusia keparat itu!" Pendekar 212 geram bukan kepalang.
"Hai! Kau belum menerangkan siapa dirimu!"
"Aku
Suro Ageng. Sahabat Sinto Gendeng di masa muda…. Aku…."
"Kalau
kau benar sahabat guruku kau harus kutolong…. Kau masih memiliki obat seperti
yang kau berikan pada Eyang Sinto Gendeng?"
"Sebenarnya
obat itu bisa dibagi dua, untukku dan untuk gurumu. Tapi jika dibagi dua daya
kekuatannya jadi berkurang. Gurumu mungkin tidak banyak tertolong. Aku
memutuskan menolongnya agar bisa hidup. Sedang diriku sendiri sudah pasrah
menghadapi maut…."
"Pasti
ada cara menolongmu Kek!" kata Wiro seraya memandang berkeliling.
Tiba-tiba matanya membentur topeng yang sebelumnya dipakai Suro Ageng. Wiro
lantas ingat pada empat orang dalam gelap yang ditemuinya sebelumnya. Ketika
dia memperhatikan pula pakaian si kakek, berdesirlah darahnya. Kakek ini
mengenakan jubah hitam seperti yang dipakai orang-orang itu! Murid Eyang Sinto
Gendeng jadi curiga.
"Kek,
sebelumnya aku melihat empat orang mengenakan topeng dan jubah hitam seperti
yang kau kenakan. Apakah kau punya sangkut paut dengan mereka…?"
"Anak
muda, kau pernah mendengar nama Lima Laknat Malam Kliwon?"
"Pernah…"
jawab Wiro. Lalu dia ingat. "Sebelumnya guruku pernah bertanya malam ini
malam apa! Bukankah malam ini malam Jum’at Kliwon? Berarti…!" Sepasang
mata sang pendekar mendelik. Tubuhnya bergeletar. "Kau salah satu dari
mereka!"
Suro
Ageng mengangguk perlahan.
Rahang
Pendekar 212 menggembung. "Bukankah jika Lima Laknat Malam Kliwon muncul
di malam Kliwon berarti ada orang yang bakal menjadi korbannya?! Jangan-jangan
kalian sebelumnya punya maksud keji terhadap guruku!"
"Kau
benar anak muda! Tapi maksud kami tidak kesampaian. Aku sendiri sangat
menyesal…."
"Kesampaian
atau tidak, menyesal atau tidak aku tidak perduli! Biar kupecahkan dulu batok
kepalamu!"
Wiro lalu
angkat tangan kanannya untuk menggebuk batok kepala Suro Ageng. Si kakek diam
saja. Tidak bergerak, berkedippun tidak seolah pasrah.
Tiba-tiba
dari samping terdengar ucapan Sinto Gendeng.
"Anak
setan! Kakek itu telah selamatkan nyawaku dengan nyawanya! Mengapa kau hendak
membunuhnya?!"
"Eyang!"
seru Wiro. Saat itu si nenek sudah bergerak bangkit dan duduk di tanah. Ketika
dia mencoba berdiri ternyata dia tidak mampu menggerakkan kedua kakinya. Dia
pergunakan tangan meraba dua kaki itu. Kaki itu tidak merasa apa-apa. Maka
menjeritlah si nenek! Lalu terkulai pingsan. Di saat yang sama kepala Suro Ageng
terkulai pula ke kiri. Orang ini tak bergerak lagi bertanda nyawanya melayang
sudah.
******************
7
SINTO
GENDENG LUMPUH
SOSOK
Sinto Gendeng bergerak. Dari mulutnya keluar erangan halus. "Nek, kau
sudah siuman Nek?" tanya Wiro yang duduk memangku kepala gurunya.
"Kepalaku
berat…. Mataku sulit dibuka. Tapi aku mendengar suaramu. Anak setan…. Apa yang
terjadi dengan diriku. Aku… aku tidak mampu menggerakkan dua kakiku. Aku tak
mampu bergerak duduk…."
"Eyang,
kau tiduran saja dulu. Jangan terlalu banyak bicara…."
"Anak
setan! Berani kau melarang aku bicara?!" bentak Sinto Gendeng. Mukanya
yang hanya tinggal kulit pembalut tulang kelihatan pucat.
"Nek,
biar aku ceritakan apa yang terjadi denganmu. Aku ingin ingatanmu pulih dan
tabah menerima kenyataan…."
"Tabah
menerima kenyataan? Eh, apa maksudmu anak sableng?! Memangnya apa yang
terjadi?!" tanya Sinto Gendeng pula.
"Dua
kakimu lumpuh Nek. Akibat racun Seribu Hawa Kematian…."
Perlahan-lahan
dua mata si nenek terbuka sedikit, makin lebar, tambah lebar dan akhirnya memandang
mendelik pada sang murid. Dia usap dua kakinya dengan tangan kanan. Tidak
terasa apa-apa. Dia coba gerakkan dua kaki itu. Dia tidak mampu melakukan.
Sinto Gendeng hendak menjerit tapi akhirnya sadar dan hanya bisa pasrah.
"Kelelawar
Pemancung Roh dari Teluk Akhirat…. Dia yang mencelakaiku. Dia melampiaskan
dendam empat puluh tahun lalu!" Rahang si nenek menggembung. Mukanya yang
seperti tengkorak tampak tambah angker. "Dendam akan berkelanjutan.
Kelelawar Pemancung Roh benar-benar telah menanam racun! Dia kelak akan memetik
dan menelan buah racunnya! Selama bumi terhampar, selama langit berkembang aku
akan mencari dan membunuhnya…."
"Eyang,
untuk sementara harap kau tidak memikirkan segala dendam kesumat. Kita harus
mencari jalan bagaimana bisa menyembuhkan dirimu. Menurut kakek bernama Suro
Ageng itu…."
"Suro
Ageng!" Sinto Gendeng menyebut nama itu setengah menjerit. "Mana
dia?!" Sepasang mata si nenek berputar.
"Dia
ada di sebelahmu Nek. Tapi sudah mendahuluimu. Mati akibat Seribu Hawa
Kematian."
Dua mata
Sinto Gendeng mendelik. Dia gerakkan kepalanya ke kiri. Sosok Suro Ageng
tergeletak di sebelahnya. Tangan kirinya diulurkan memegang tangan si kakek.
Dia hendak menjerit namun yang keluar hanya sesenggukan. "Suro…. Kalau
saja dulu aku menerima lamaranmu dan kawin denganmu. Kau tidak akan mengalami
nasib seperti ini. Ah…."
Wiro jadi
terkesiap mendengar ucapan sang guru. Sambil garuk-garuk kepala dia berkata.
"Eyang, jadi kakek ini dulunya adalah kekasihmu di masa muda…?"
Si nenek
tidak menjawab. Dalam hati Wiro bertanyatanya, di masa mudanya dulu sebenarnya
berapa banyak si nenek ini punya kekasih. Mungkin karena begitu banyaknya
hingga dia bingung memilih, akhirnya tak pernah kawin-kawin. Kalau bukan dalam
keadaan seperti itu pemuda konyol ini tentu sudah menggoda sang guru.
Sinto
Gendeng usap-usap mukanya yang pucat beberapa kali. Dari mulutnya kemudian
meluncur ucapan.
"Aku
pantas bangga padanya. Dia sengaja mengorbankan nyawanya untuk menyelamatkan
jiwaku! Suro…. Sungguh tinggi budimu…."
"Eyang,
sebelum menghembuskan nafas kakek itu menerangkan bahwa satu-satunya obat yang
bisa menyembuhkan kelumpuhanmu adalah Bunga Matahari yang tumbuh menghadap
matahari terbit dan mekar pada saat gerhana matahari…."
Kulit
muka Sinto Gendeng mengerenyit.
"Orang
bisa berkata begitu. Tapi Gust! Allah menjadikan obat bukan cuma satu macam!
Pasti ada obat lain yang lebih mudah dari bunga matahari celaka itu! Kalau
mengalami kesulitan kita harus cari kawanku Si Raja Obat! Anak setan! Apakah
kau sudah siap?!"
"Siap
apa maksud Eyang?" tanya Wiro heran.
"Saat
ini juga kita harus berangkat ke Teluk Akhirat! Mencari manusia berjuluk
Kelelawar Pemancung Roh itu!"
"Eyang….
Keadaanmu belum pulih. Lagi pula kau…. Kau tak bisa berjalan sendiri…."
"Aku
tidak menyuruhmu mencari keledai atau kuda, apa lagi onta tunggangan!"
jawab si nenek.
"Aku
tahu Nek, maksudku kau harus istirahat dulu yang cukup. Jika kesehatanmu pulih
baru kita pikirkan apa yang harus kita lakukan…."
"Weehhhhh!
Kau tahu apa mengenai diri dan kesehatanku! Jangan kau mengatur diriku, anak
sableng!"
Wiro
garuk-garuk kepala. Tak ada jalan lain. Ketika dia hendak membantu si nenek
berdiri pandangannya membentur sebuah benda tergeletak di tanah dekat kaki Suro
Ageng. Wiro segera mengambilnya.
"Benda
apa itu…?" Sinto Gendeng bertanya.
Sambil
memperhatikan benda yang dipegangnya Wiro menjawab. "Sebuah kalung kepala
srigala. Terbuat dari perak. Rantainya sudah putus…."
"Kepunyaan
siapa menurutmu?" tanya si nenek.
"Sulit
kuduga Nek. Mungkin salah seorang dari komplotan Lima Laknat Malam Kliwon.
Mungkin juga punya makhluk kelelawar dari Teluk Akhirat itu…. "
"Simpan
baik-baik. Benda itu bisa kita jadikan bahan pelacak dimana sarangnya Lima
Laknat Malam Kliwon serta Kelelawar Pemancung Roh!"
Wiro
mengiyakan sambil mengangguk lalu masukkan kalung kepala srigala itu ke balik
pakaiannya.
"Sekarang
kita harus segera tinggalkan tempat ini!" kata Sinto Gendeng.
"Apa
tidak menunggu dulu sampai pagi hari Nek? Lagi pula bukankah kita harus
mengurus mayat kakek bernama Suro Ageng In!?"
"Mayat
Suro Ageng memang menjadi ganjalan. Tapi kalau kita melewati sebuah desa, kita
bisa upahkan orang untuk mengurusnya. Sekarang jangan banyak membantah. Kita
harus tinggalkan tempat ini. Teluk Akhirat cukup jauh dari sini!"
"Tapi
Nek, kau tak bisa berjalan sendiri. Apa lagi berlari!" ujar Wiro pula.
"Siapa
bilang aku akan jalan kaki sendiri?!" ujar si nenek seraya menyeringai.
"Memangnya
kau bisa terbang, Nek?"
"Weehhhh!
Kau yang menerbangkan aku, anak setan!"
Wiro
keheranan tak mengerti.
"Dukung
aku di pundakmu! Kau boleh berjalan biasa, berlari atau terbang!
Suka-sukamulah! Hik… hik… hik…."
"Nek!
Kau…."
"Jangan
berani membantah perintah seorang guru!"
"Aku
tidak membantah Eyang. Tapi bayangkan saja kalau aku harus membawamu
kemana-mana. Di dukung di atas bahu!"
"Lalu
apa kau mau mendukung aku seperti membedung bayi di depan dada? Hik… hik…
hik!"
"Kita
harus mencari binatang untuk tungganganmu…" kata Wiro pula.
"Aku
gamang kalau menunggangi binatang. Aku cuma mau didukung belakang. Nangkring di
atas pundakmu! Ayo tunggu apa lagi! Naikkan aku ke atas pundakmu Wiro!"
Pendekar
212 garuk-garuk kepala. "Celaka benar! Bagaimana aku bisa mendukung nenek
yang sekujur badannya bau pesirfg begini rupa!"
"Jangan
kau mengumpat atau memaki dalam hatimu anak setan! Jika kau tidak rela
mendukungku, cepat kau tinggalkan aku sekarang juga! Lalu mulai saat ini putus
hubungan kita sebagai murid dan guru!"
Wiro
memaki panjang pendek dalam hati. Namun dia memang tidak bisa menolak. Tubuh
sang guru diangkatnya lalu dinaikkannya di atas pundaknya. Leher dan pundaknya
kiri kanan langsung terasa dingin oleh rembesan air kencing yang menempeli kain
panjang butut yang dikenakan Sinto Gendeng. Rahang Pendekar 212 menggembung.
Kuping hidungnya bergerak-gerak. Celakanya si nenek duduk sambil
goyang-goyangkan badannya seperti anak kacil keenakan.
"Uh….
Kau berat sekali Nek!" kata Wiro masih belum melangkah.
"Jangan
macam-macam Wiro. Tubuhku cuma tinggal tulang belulang! Apanya yang
berat?!" Si nenek lalu jambak rambut gondrong muridnya.
"Tubuhmu
memang tidak berat Eyang. Tapi yang berat mungkin dosamu karena terlalu banyak
kekasih di masa muda!" jawab Pendekar 212 pula.
Tangan
kiri Sinto Gendeng menyambar telinga kiri Wiro lalu dipuntir lumat-lumat hingga
Wiro menjerit kesakitan.
"Anak
setan! Aku tahu kau tidak suka mendukungku seperti ini! Tapi seandainya aku
seorang gadis cantik jelita, weehhhhh! Pasti kau akan bawa kemana saja dan
tanganmu akan menggerayang kesana-sini!" Sinto Gendeng tertawa mengekeh.
Dia puntir lagi telinga kiri Wiro. "Ayo jalan!"
"Aduh
Eyang! Ampun! Jangan dipuntir telingaku! Aku segera jalan!" teriak Wiro
kesakitan.
"Nah
bagus kalau begitu! Hik… hik… hik…."
Belum
jauh berjalan tiba-tiba Sinto Gendeng pegang tagi telinga kiri Wiro.
"Nek…!"
"Anak
setan! Kau mau bawa aku kemana?! Aku tidak bodoh! Teluk Akhirat letaknya di
sebelah selatan sana. Mengapa kau menuju ke arah timur?"
"Anu
Nek…. Ada baiknya kita lebih dulu menemui Kakek Segala Tahu di bukit kapur
tempat kediamannya. Siapa tahu dia ada di sana. Kita bisa minta petunjuk
bagaimana caranya kau bisa disembuhkan dengan cepat…."
"Kau
murid baik dan pintar!" Si nenek elus-elus rambut gondrong muridnya.
"Berjalan biasa-biasa saja. Tak usah kesusu. Tubuhku letih sekali. Aku mau
tidur barang beberapa lama…." Sinto Gendeng rangkapkan dua tangannya di
depan dada. Matanya dipejamkan. Sesaat kemudian terdengar suara ngoroknya
sepanjang jalan.
"Nenek
bau pesing sialan!" memaki Pendekar 212. "Dia enak-enakan ngorok di
atas pundakku sementara aku sengsara. Kalau saja kau bukan guruku dari
tadi-tadi kau sudah kubanting ke tanah!" Saat itu bernafaspun sang
pendekar takut rasanya. Karena setiap dia menarik nafas, yang masuk ke dalam
rongga hidungnya adalah bau pesing tubuh dan kain panjang butut si nenek!
TAMAT
No comments:
Post a Comment