Bintang
Malam
WIRO
SABLENG
Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212
********************
1
SEPULUH
MATI BERBARENGAN
KETIKA
Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruang batu kembali kagetnya seperti disambar
geledek. Sosok Sinto Gendeng yang sebelumnya tergeletak di atas jalur-jalur
kayo besi penutup kolam tak ada lagi!
"Jahanam!"
Rutuk, makhluk tinggi besar itu sambil kepalkan dua tinjunya hingga
mengeluarkan suara berkeretekan. "Kemana lenyapnya tua bangka keparat itu!
Dalam keadaan lumpuh mana mungkin dia bisa kabur dari tempat ini. Tak ada jalur
kayu yang patah. Tak ada tulang belulang dalam kolam. Berarti Ikan Dajal tidak
memangsanya. Lalu kemana meratnya setan tua itu?!"
Kelelawar
Pemancung Roh bertepuk tiga kali. Pemuda pincang muncul. Rapatkan dua tangan di
atas kepala, memberi hormat seraya bungkukkan tubuh.
"Pincang!
Kau tahu nenek buruk yang sebelumnya ada di sini?!"
"Tahu
sekali Sang Pemimpin." Jawab si pincang.
"Kau
lihat sendiri. Dia tak ada lagi di tempat ini. Kakinya lumpuh. Dia tak mungkin
kabur dari sini! Berarti ada yang membawanya keluar dari tempat ini! Jawab! Apa
yang kau ketahui! Apa yang kau lihat?!"
"Mohon
maafmu Sang Pemimpin. Saya tidak mengetahui juga tidak melihat apa-apa. Sejak
tadi saya berada di ruang belakang."
"Kalau
bukan orang luar menyelinap masuk ke tempat ini pasti ada pengkhianat di sini!
Pincang! Panggil Tuyul Orok!"
"Maaf
Sang Pemimpin, Tuyul Orok ada dalam kamar ketiduran ibunya. Dalam keadaan
cidera. Dia tak mampu berjalan, apalagi terbang. Apakah saya harus
memanggilnya juga?"
"Kalau
begitu panggil semua kelelawar bintang satu. Suruh mereka menghadapku sekarang
juga!"
Si
pincang keluar. Kelelawar Pemancung Roh duduk di kursi batu. Menunggu dengan
penuh rasa tidak sabar. Tak lama kemudian serombongan kelelawar berwajah bayi
dengan gambar sebuah bintang di kepalanya masuk ke tempat itu. Berdiri
berjejer, rapatkan tangan di atas kepala dan membungkuk berikan hormat pada
Sang Pemimpin. Dari atas kursi batu Kelelawar Pemancung Roh menghitung dengan
cepat.
"Kalian
cuma bersepuluh. Mana saudara-saudara kalian yang lain?!"
Salah
seorang makhluk kelelawar kepala bayi maju satu tindak, letakkan dua tangan di
atas kepala baru menjawab.
"Mohon
maafmu Sang Pemimpin. Dua puluh saudara kami telah dibantai di Teluk oleh
seorang pemuda berambut gondrong berpakaian serba putih."
Kelelawar
Pernancung Roh terlonjak di atas kursi hatu, bangkit berdiri. Matanya yang
sipit membuka lebar.
"Tidak
bisa kupercaya! Kesaktian apa yang dimiliki pemuda gondrong itu?!"
"Kami
tidak tahu. Kami melihat dia melepaskan pukulan memancarkan cahaya putih yang
panasnya sepuluh kali sinar matahari."
"Omong
kosong apa ini?!" Bentak Kelelawar Pemancung Roh. "Di atas kolam itu
tadi menggeletak seorang nenek. Aku pergi ke Teluk. Begitu kembali si nenek
sudah lenyap!
Apa yang
kalian ketahui? Kalian melihat apa?!"
Diam.
Kelelawar yang tadi bicara mewakili kawankawannya tidak membuka suara.
Beberapa diantara mereka ada yang tundukkan kepala. Sang Pemimpin segera maklum
ada sesuatu yang tidak beres. Sepuluh kelelawar kepala bayi yang merupakan
anak-anaknya itu menyembunyikan sesuatu.
"Semua
kalian dengar baik-baik. Aku tahu kalian mengetahui sesuatu. Kalian melihat
sesuatu! Lekas ada yang bicara diantara kalian. Kalau tidak semua kalian
bersepuluh akan menerima hukuman sangat berat!"
Masih
diam. Tak ada yang bergerak atau membuka mulut.
"Baik.
Kalian memilih mati percuma!"
Sang
Pemimpin turun dari kursi batu. Dua tangan perlahan-lahan diangkat ke atas. Di
antara para kelelawar kepala bayi yang kepalanya ada gambar sebuah bintang
terjadi saling bisik. Kelelawar yang tadi bicara akhirnya rapatkan tangan di
atas kepala, membungkuk. Suaranya agak gemetar karena takut.
"Mohon
maaf Sang Pemimpin. Kami bersepuluh hanya menjalankan perintah."
"Perintah?
Perintah apa? Perintah siapa?!"
"Perintah
Tuyul Orok."
Kelelawar
Pemancung Roh kerenyitkan kening dan pandang lekat-lekat kelelawar kepala bayi
yang berdiri di depannya. Pandangannya kemudian menjelajah pada sembilan
kelelawar lainnya.
Sambil
meraba dagunya yang ditumbuhi janggut kasar Kelelawar Pemancung Roh bergumam.
"Hemmm…
Rupanya Tuyul Orok sudah jadi Raja Diraja di tempat ini!" Lalu makhluk
bertubuh tinggi besar ini membentak. "Lekas terangkan apa yang
terjadi!"
"Kami…
kami diperintahkan membawa nenek itu ke kaki Bukit Jati."
Bukit
Jati adalah satu bukit kecil terletak tak berapa jauh di utara Teluk Akhirat
tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Makhluk penguasa Teluk Akhirat ini
bergetar tubuhnya, mendenging telinganya mendengar disebutnya Bukit Jati.
"Di
bagian kaki bukit sebelah mana tua bangka itu kalian tinggalkan?"
"Kami
memasukkannya ke dalam Goa Air Biru."
"Jahanam
gila! Benar-benar kurang ajar! Itu goa sumber air minumku! Kalian berani
membawanya kesana!"
"Mohon
maafmu Sang Pemimpin. Kami hanya menjalankan perintah."
"Kapan
Tuyul Orok berikan perintah membawa nenek itu pada kalian?"
"Sewaktu
dirinya dalam cidera berat, didukung oleh ibunya menuju kamar ketiduran."
Kelelawar
Pemancung Roh bantingkan kaki kanannya ke lantai. Ruangan batu itu bergetar.
Air di dalam kolam menyiprat ke atas. Ikan Dajal yang ada dalam kolam melompat
sampai beberapa kali.
"Tuyul
Orok bukan apa-apa di sini. Dia sama dengan kalian. Hanya perintahku yang wajib
kalian laksanakan! Kalian tahu kalau sudah berbuat kesalahan besar?!"
"Mohon
maafmu Sang Pemimpin." Sepuluh kelelawar berkepala bayi berucap
berbarengan.
"Tolol!
Saat ini tak ada lagi pengampunan! Kalian harus mampus semua!"
Kelelawar
Pemancung Roh angkat dua tangannya ke atas. Siap mengeluarkan racun Seribu Hawa
Kematian. Sepuluh kelelawar kepala bayi keluarkan suara ketakutan, saling berangkulan
satu sama lain.
Tiba-tiba
terdengar langkah-langkah kaki berlari mendatangi. Sesaat kemudian delapan
perempuan muda berwajah rata-rata cantik memasuki ruangan dan jatuhkan diri di
depan makhluk tinggi besar. Mereka sama keluarkan ratap permohonan.
"Sang
Pemimpin, jangan dibunuh anak-anak kami. Jangan dibunuh. Ampuni dosa kesalahan
mereka."
Sesaat
Kelelawar Pemancung Roh jadi terdiam pandangi delapan perempuan yang kesemuanya
adalah istri-istri paksaannya. Lalu seringai tersungging dimukanya yang garang.
Menyusul suara tawa bergelak.
"Kelihatannya
semua ini seperti sudah diatur! Perempuan-perempuan goblok! Lekas tinggalkan
tempat ini! Atau kalian akan ikut mampus kuhantam dengan Seribu Hawa
Kematian!"
"Sang
Pemimpin, kalau kau membunuh anak-anak kami, kami rela ikut mati bersama
mereka." Perempuan yang berlutut paling depan berikan jawaban.
Kelelawar
Pemancung Roh menggereng marah. "Baik, kalau itu mau kalian! Buka mata
kalian lebar-lebar! Saksikan sendiri apa yang akan terjadi." Habis berkata
begitu Kelelawar Pemancung Roh melompat ke arah sepuluh kelelawar kepala bayi.
Tangan dan kakinya bergerak tiada henti.
"Bukkk!"
"Praaak!"
"Duuukkk!"
"Praakk!"
Sepuluh
kelelawar kepala bayi berpekikan. Tubuh mereka mencelat lalu jatuh di lantai
batu dalam keadaan tak bernyawa lagi. Dada amblas atau perut jebol atau kepala
pecah. Delapan perempuan menjerit-jerit tiada henti. Jeritan mereka bertambah
keras ketika menyaksikan bagaimana sosok sepuluh kelelawar kepala bayi yang
adalah anak-anak mereka sendiri menemui kematian secara mengerikan seperti itu.
Sepuluh sosok hancur tak bernyawa itu kemudian berubah menjadi asap.
"Tinggalkan
tempat ini! Atau kalian mau kubuat seperti itu?!"
Delapan
perempuan mudaa masih menjerit. Salah seorang diantaranya berteriak.
"Terkutuk
kau Sang Pemimpin! Laknat akan jatuh atas dirimu! Kau membunuh anakmu
sendiri!"
"Plaak!"
Satu
tamparan kerass membuat perempuan itu melintir dan jatuh terkapar di lantai
batu. Pingsan dengan mulut pecah. Tujuh perempuan lainnya telah leleh nyali
masingmasing. Dengan ketakutan mereka menggotong teman mereka yang pingsan
meninggalkan tempat itu.
"Setan
semua! Jahanam semua!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. Dia hendak duduk di
kursi batu tapi tidak jadi. "Tuyul Orok! Anak laknat! Kau berani
melangkahi kekuasaanku! Aku juga curiga ibumu melakukan sesuatu! Dimana kalian
berdua saat ini?!"
Habis
memaki dan merutuk begitu makhluk ini, melangkah cepat ke dinding kiri ruangan.
Di situ ada sebuah pintu batu menuju ke sebuah lorong yang berhubungan dengan
satu bangunan di bawah tanah. Dimana terdapat belasan kamar.
********************
2
PERKELAHIAN
DI BAWAH TANAH
KELELAWAR
Pemancung Roh berjalan cepat menuju bangunan di bawah tanah. Di satu tempat dia
membelok memasuki jalan rahasia. Kecurigaan membuat dia tidak mau menempuh,
lorong yang membawanya ke pintu depan deretan dua belas kamar tidur selusin
istrinya. Apa yang menjadi kecurigaan makhluk penguasa Teluk Akhirat ini
ternyata benar. Seperti diceritakan dalam buku sebelumnya (Nyawa Pinjaman), dia
memergoki Pendekar 212 Wiro Sableng di dalam kamar bersama Bintang Malam, salah
seorang dari dua belas istrinya. Begitu sosok Pendekar 212 muncul keluar dari
pintu rahasia, Kelelawar Pe-mancung Roh langsung menggebuk dengan pukulan
tangan kanan.
Jotosan
yang dihantarnkan Kelelawar Pemancung Roh ke dada Pendekar 212 demikian
hebatnya. Tidak beda dengan hantaman sebuah batu besar berbobot ratusan kati!
Untuk beberapa saat lamanya murid Sinto Gendeng terkapar megap-megap di dalam
kolam yang terdapat di kamar besar itu. Darah mengucur dari sela bibir, meleleh
ke dagu. Dadanya seperti melesak. Lehernya seolah ada yang mencekik hingga dia
sulit bernafas.
Selagi
Wiro berusaha bangkit dan keluar dari dalam kolam Kelelawar Pemancung Roh
melompat ke hadapan Bintang Malam, langsung menjambak rambut perempuan ini.
"Perempuan
celaka! Pasti kau yang memberikan obat penangkal racun Seribu Hawa Kematian
pada pemuda itu! Tidak ada satu manusiapun bisa bertahan terhadap racun Seribu
Hawa Kematian!"
"Sang
Pemimpin, mohon kau ampuni diriku. Aku tidak mengenal pemuda itu. Dia
masuk…."
"Plaakk!"
Satu
tamparan keras di pipi kirinya membuat Bintang Malam terpekik dan terbanting
jatuh di lantai. Sudut bibir sebelah kiri pecah. Darah mengucur.
"Kau
berdua-duaan di dalam kamar ini bersamanya! Ada yang melihat kau bicara dengan
dia di pantai! Akui semua perbuatan yang telah kau lakukan! Atau aku bunuh
makhluk tidak berguna ini!"
Sekali
lompat Kelelawar Pemancung Roh telah mencekik leher Tuyul Orok yang ada di
atas tempat tidur.
Bintang
Malam terpekik.
"Jangan!
Jangan bunuh anakku!" teriak perempuan itu.
"Akui
perbuatanmu! Kuampuni nyawa makhluk ini. Kalau tidak dia dan juga dirimu akan
menerima kematian yang sama mengerikan! Akan kuhancurkan batang leher
kalian!"
"Sang
Pemimpin, aku, aku tidak melakukan apa-apa. Aku…."
Mata
sipit Kelelawar Pemancung Roh membuka lebar. Rahangnya menggembung. Seringai
setan menyungging di mulutnya. Tangan kanannya yang mencekik leher Tuyul Orok
bergerak.
"Kreekkk!"
Daging
dan tulang leher Tuyul Orok berderak hancur.
Bintang
Malam menjerit keras.
Kelelawar
Pemancung Roh keluarkan suara mendengus lalu put-ar tubuhnya ke arah Bintang
Malam.
"Sekarang
giliranmu!" kertak Kelelawar Pemancung Roh seraya melangkah mendekati
Bintang Malam. Tangan kanan diulurkan.
"Tidak!
Jangan! Ampun…." Perempuan itu hanya bisa berteriak dengan muka pucat,
sepasang mata mendelik. Dua kakinya tak mampu bergerak. Tangan kanan Kelelawar
Pemancung Roh berkelebat.
Sesaat
lagi lima jari tangan yang kukuh akan mencengkeram leher Bintang Malam,
tiba-tiba dari samping berkelebat bayangan putih dan "buukkk!"
Kelelawar
Pemancung Roh melenguh pendek. Cekikannya pada leher Bintang Malam terlepas.
Tubuhnya terhuyung-huyung. Tulang bahunya serasa remuk tapi tidak diperdulikan.
Bayangan putih kembali berkelebat. Kelelawar Pemancung Roh putar tubuhnya
sambil membabatkan lengan kiri membuat gerakan menangkis.
"Bukkk!"
Dua
lengan beradu keras.
Kelelawar
Pemancung Roh kembali terhuyung bahkan hampir jatuh terjungkal kalau tidak cepat
mengimbangi diri. Di bagian lain Pendekar 212 yang barusan melancarkan
serangan jatuh terduduk tli lantai.
Bintang
Malam kembali terpekik. Dia berusaha mendekati tempat tidur dimana mayat Tuyul
Orok terkapar.
"Anakku!"
ratap perempuan itu lalu ulurkan tangan hendak memegang Tuyul Orok yang telah
menemui ajal dengan leher hancur, mata mendelik lidah terjulur. Namun kembali
sang ibu menjerit keras. Sebelum dia sempat menyentuh tubuh anaknya, sosok
Tuyul Orok mengepul, berubah jadi asap dan akhirnya lenyap dari pandangan mata.
Bintang Malam memekik sekali lagi.
Kelelawar
Pemancung Roh menggereng. Melangkah mendekati Bintang Malam.
"Lari!
Bintang! Lari! Tinggalkan tempat ini!" Teriak Wiro.
Dalam
bingungnya perempuan hamil itu masih terus menjerit.
"Tidak
ada tempat lari bagimu perempuan celaka!" teriak Kelelawar Pemancung Roh.
Lalu dia lepaskan satu pukulan tangan kosong yang membersitkan cahaya hitam
menggidikkan. Ini adalah pukulan Seribu Palu Kematian. Pukulan ini memiliki
daya jebol dan menghancur luar biasa dahsyat. Kalau tubuh Bintang Malam sampai
terkena, maka tubuh perempuan malang itu akan hancur menjadi ratusan serpihan
kecil!
Melihat
bahaya mengancam Bintang Malam, murid Sinto Gendeng yang menderita luka dalam
cukup parah akibat jotosan Kelelawar Pemancung Roh tadi segera lepaskan pukulan
Benteng Topan Melanda Samudera.
"Wusss!"
Serangkum
angin laksana satu gelombang raksasa menderu menghantam ujung sinar hitam
pukulan Kelelawar Pemancung Roh yang siap menceraiberaikan tubuh Bintang Malam.
Satu
letusan dahsyat menggelegar di ruang batu begitu dua pukulan sakti saling
bertumbukan. Tempat itu diselimuti asap berwarna kelabu.
Bintang
Malam menjerit.
Sosok
tinggi besar Kelelawar Pemancung Roh terlempar ke dinding. Tangan kanannya
terkulai, sakit dan untuk sesaat tak bisa digerakkan. Di bagian lain, Pendekar
212 Wiro Sableng jatuh berlutut. Tangan kiri memegangi tangan kanan yang serasa
remuk. Darah makin banyak meleleh dari sela bibirnya. Dadanya kembali mendenyut
sakit. Perlahan-lahan tubuhnya jatuh terguling di lantai batu.
Terhuyung-huyung
Kelelawar Pemancung Roh melangkah mendekati Wiro yang tergeletak tak berdaya.
Dengan mengarahkan ilmu kesaktian bernama Seribu Kati Menginjak Bumi, dia
hunjamkan kaki kanannya ke kepala Wiro. Hanya sesaat lagi injakan kaki itu akan
menghancurkan kepala murid Sinto Gendeng, tiba-tiba tubuh Wiro berputar. Kaki
kanannya melesat ke atas. Kelelawar Pemancung Roh masih bisa melihat datangnya
serangan kilat itu tapi tak sempat mengelak.
"Bukkk!"
"Kraaakk!"
Jeritan
Kelelawar Pemancung Roh menggelegar di seantero ruangan. Tubuhnya terlempar ke
dinding. Dua tulang iganya patah. Tapi anehnya dia kemudian tampak menyeringai.
"Pendekar
212! Kau boleh punya seribu pukulan, sejuta kesaktian! Seumur hidup kau tak
bisa membunuhku! Sekarang terima kematianmu!"
Begitu
berhasil menendang tulang rusuk Kelelawar Pemancung Roh, murid Sinto Gendeng,
kumpulkan sisa tenaga yang ada lalu melompat bangkit. Pada saat itulah di depan
sana dilihatnya Kelelawar Pemancung Roh berdiri bertolak pinggang. Kepala
setengah didongakkan. Sepasang matanya yang sipit dan seperti terpejam kini
mendelik besar dan merah. Hidungnya tiba-tiba menghirup menyedot panjang dan
dalam.
Murid
Sinto Gendeng melengak kaget ketika ada satu hawa luar biasa dahsyat menyedot
tubuhnya ke depan. Dia berusaha bertahan. Kerahkan seluruh tenaga yang ada.
Namun dua kakinya mulai terangkat ke atas!
"Gila!
Ilmu setan apa yang dimiliki bangsat ini!" Rutuk Wiro. Sedotan hawah aneh
membuat dia tak bisa bernafas. Tulang-tulang kaki dan tangan, sepasang matanya,
hidung dan mulut serta perut yang tersedot ke depan seperti mau bertanggalan.
Jantungnya laksana mau copot! Dalam keadaan seperti itu sosoknya terhirup, ke
arah Kelelawar Pemancung Roh. Dinding batu di belakang Wiro bergetar hebat
seolah hendak terbongkar oleh kekuatan sedotan hidung Kelelawar Pemancung Roh.
Inilah ilmu yang
dinamakan
Seribu Hawa Penyedot Roh.
Makhluk
tinggi besar itu terus menghirup tapi dalam menghirup dia juga mampu keluarkan
tawa bergelak. Dua tangannya kemudian diangkat ke atas.
"Sreekk!"
"Sreekk!"
Sepuluh
jari tangan Kelelawar Pemancung Roh berubah menjadi sepuluh cakar besi, panjang
runcing mengerikan karena ujung-ujungnya yang merah berlumuran cairan merah.
Darah!
Di
saat-saat kematian mengerikan hampir tak dapat dihindari itu Wiro berteriak
keras kerahkan seluruh tenaga dalam yang ada, pentang tangan kanan latu memukul
ke depan! Sinar putih berkibtat. Hawa panas seperti mau membuat leleh seantero
ruangan. Air kolam bergemericik seperti mendidih.
"Pukulan
Sinar Matahari!" teriak Kelelawar Pemancung Roh Makhluk ini cepat tekuk
lutut dan rundukkan kepala.
"Wuss!"
Pukulan
Sinar Matahari menyapu lewat diatas kepalanya, membakar sebagian rambutnya
yang kasar awutawutan, lalu menghantam hancur dinding karnar di belakang sana.
"Keparat
jahanam!" rutuk Kelelawar Pemancung Roh. Gerakan dua tangannya di
percepat. Satu ke dada, yang lain ke perut Wiro.
"Jebol
jantungku! Amblas perutku!" teriak murid Sinto Gendeng dalam hati. Tangan
kirinya cepat menyelinap ke balik pinggang pakaian untuk mencabut Kapak Maut
Naga Geni 212. Namun gerakan ini memakan waktu sementara sepuluh jari tangan
lawan sudah berada dekat sekali. Dalam keadaan seperti itu tiba-tiba Wiro
menyentuh sebuah benda di balik pakaiannya. Bukan gagang kapak, bukan batu
hitam sakti. Tapi satu benda lembut. Benda apa? Wiro sentakkan benda itu dari
pinggangnya. Ternyata benda itu adalah kain sutera hitam ikat kepala berbatu
yang pernah diberikan Pelangi Indah padanya beberapa waktu lalu.
Wiro
ingat ucapan gadis-cantik Ketua Kelompok Bumi Hitam itu. "Simpanlah
baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan
diriku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mudah-mudahan bisa
menjadi senjata yang bisa melindungi dirimu."
Tidak
menunggu Iebih lama Wiro segera pukulkan ikat kepala yang terbuat dari kain
sutera hitam di tangan kirinya ke arah Kelelawar Pemancung Roh. Tujuh cahaya
pelangi menderu dari batu hitam yang menempel di kain. Kelelawar Pemancung Roh
bukan saja kesilauan tapi seperti ada puluhan jarum halus mencucuk matanya
hingga dia keluarkan jeritan keras dan melangkah mundur. Dua tangan yang tadi
hendak mencakar ganas ke dada dan perut Wiro terpaksa dipergunakan untuk
melindungi sepasang matanya.
Serangan
yang dihadapi Kelelawar Pemancung Roh dari ikat kepala kain sutera ternyata
bukan hanya berupa sinar menyilaukan serta tusukan jarum. Didahului satu suara
menggereng dahsyat dari dalam batu permata hitam tibatiba melesat keluar
kepala seekor srigala putih bermata merah. Besar kepala binatang jejadian ini
dua kali ukuran kepala srigala sungguhan. Srigala jejadian ini meraung panjang,
lalu dengan mulut menganga melompat menerkam kepala Kelelawar Pemancung Roh.
Sesaat
Kelelawar Pernancung Roh jadi terkesiap. Namun dilain kejap dia membentak
keras.
"Makhluk
jahanam! Kembali ke asalmu!"
Sambil
membentak Kelelawar Pemancung Roh hantamkan kepalannya ke kepala srigala
jejadian. Raungan keras menggelegar di ruangan itu. Sosok srigala jejadian
ienyap. Kelelawar Pemancung Roh menjerit setinggi langit. Keningnya robek
ditoreh taring srigala jejadian. Darah mengucur membasahi mukanya membuat
tampangnya jadi tambah mengerikan. Terhuyung-huyung sosok tinggi besarnya
berputar. Wiro cepat mengejar tapi sekali berkelebat Kelelawar Pemancung Roh
telah lenyap dari tempat itu.
Wiro
memandang berkeliling. Bintang Malam tak ada lagi di tempat itu.
"Celaka!
Jangan-jangan dia dibawa lari makhluk jahanam itu!" pekik Wiro. Dia juga
tidak melihat sosok mayat Tuyul Orok yang sebelumnya masih ada di atas tempat
tidur.
Tiba-tiba
Wiro ingat sesuatu. Dia angkat dan pandangi dengan mata melotot tangan kirinya.
"Astaga!"
Sang pendekar terkejut besar.
Kain ikat
kepala berbatu hitam yang tadi ada di tangan kirinya dan dipergunakan untuk
menyerang Kelelawar Pemancung Roh tak ada lagi. Wiro meraba pinggang,
selinapkan tangan mencari-cari
"Sialan!
Keparat jahanam itu pasti telah merampas ikat kepala sutera hitam pemberian Pelangi
Indah!" Wiro memaki panjang pendek. Memaki ketololannya sendiri. Bukan
saja dia tidak berhasil membunuh Kelelawar Pemancung Roh, tapi benda sakti
pemberian Ketua Kelompok Bumi Hitam itu malah disikat lawan!
Wiro
melompat keluar pintu. Sesuai petunjuk yang dikatakan Bintang Malam dia
membelok ke kiri lalu berjalan cepat lurus-lurus dalam terowongan bawah tanah
hingga akhirnya sampai di satu ruangan yang ada kolam besarnya.
********************
3
KAKEK
DALAM KERANGKENG BESI
SEPERTI
diceritakan dalam Bab 1 sewaktu Kelelawar Pemancung Roh memasuki ruangan yang
ada kolam ikan, Sinto Gendeng tak ada lagi di tempat itu. Dalam keadaan lumpuh
tidak mungkin si nenek melarikan diri. Pasti ada yang menolongnya keluar dari
tempat itu. Sesuai pengakuan salah seorang kelelawar berwajah bayi yang
kepalanya digambari sebuah bintang, atas perintah Tuyul Orok, bersama sembilan
temannya kelelawar muka bayi tadi membawa si nenek ke Goa Air Biru.
Sinto
Gendeng yang terkapar tak berdaya dan dalam keadaan tertotok di atas
jalur-jalur kayu besi di perrnukaan kolam buka dua matanya yang terpejam ketika
mendengar suara kepak sayap banyak sekali menderu di ruangan batu itu.
"Makhluk-makhluk
jahanam," desis si nenek begitu melihat berkelebatnya sepuluh kelelawar
bermuka bayi. Di ubun-ubun makhluk ini tergambar sebuah bintang hitam.
"Mau apa mereka…. Mau menggerogoti tubuhku?"
Sepuluh
makhluk aneh itu berdiri di atas kayu penutup kolam, mengelilingi sosok Sinto
Gendeng. Untuk kesekian kalinya secara diam-diam Sinto Gendeng kerahkan tenaga
dalam ke kepala. Tapi gagal. Dia telah mencoba sampai dua kali untuk
mengeluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh dari sepasang matanya. Pertama
ketika, berhadapan dengan Kelelawar Pemancung Roh. Kedua sewaktu dia ditinggal
sendirian di tempat itu. Dia berusaha memusnahkan Ikan Dajal di dalam kolam
sebelum ikan itu nanti dipergunakan untuk membantai dirinya. Namun jangankan
mampu mengeluarkan ilmu tersebut, membuat dua matanya bergetar saja tak bisa
dilakukannya. Masih untung dia dapat memutar bola mata hingga bisa melihat ke
berbagai jurusan. Kelelawar Pemancung Roh telah menotok tubuhnya. Totokan yang
dilakukan agaknya bukan totokan biasa. Sinto Gendeng tidak mampu memusnahkan
walau telah dicoba berulang kali. Inilah penyebab utama dia tidak bisa
mengerahkan hawa sakti ke sepasang matanya hingga Sepasang Sinar Inti Roh tidak
dapat dikeluarkan.
"Kalian
mau apa?!" hardik Sinto Gendeng.
Tak ada
satupun dari kelelawar bermuka bayi berikan jawaban. Ketika sepuluh makhluk itu
menggigit dan mencengkeram pakaiannya lalu perlahan-lahan mulai mengangkat
tubuhnya, setengah terseret setengah diterbangkan, Sinto Gendeng kembali
membentak.
"Makhluk
celaka! Kalian mau membawa aku kemana?!"
Tetap tak
ada yang menjawab.
Ketika
akhirnya Sinto Gendeng berada di udara terbuka di tepi pantai, dibawa ke arah
utara, nenek ini masih belum bisa menduga apakah sepuluh makhluk kelelawar
bermuka bayi itu tengah menolong dirinya atau punya niat jahat untuk
mencelakai.
Karena
sepuluh kelelawar kepala bayi menggotongnya dengan kaki di sebelah depan maki
Sinto Gendeng dapat memperhatikan kemana dirinya dibawa. Arah yang ditempuh
bukan menuju pantai sebaliknya menjauhi teluk. Mereka melewati sebuah pohon
kelapa buntung bekas disambar petir. Lalu menerobos semak belukar. Tak selang
berapa lama Sinto Gendeng dapatkan dirinya diseret memasuki goa batu berwarna
biru. Sepanjang lantai goa terdapat dua aliran air berwarna biru. Udara di
tempat itu terasa sejuk. Walau masih belum dapat memastikan tapi Sinto Gendeng
mulai merasa-rasa bahwa sepuluh kelelawar muka bayi itu mungkin tidak bermaksud
jahat terhadapnya.
Di ujung
lorong goa ada sebuah telaga. Begitu melihat telaga ini Sinto Gendeng jadi
menggerendeng dalam hati.
"Sialan!
Rupanya aku dibawa kesini mau diceburkan dalam telaga. Disuruh mandi!" Si
neriek mendadak terdiam. Matanya mendelik berputar. "Eh, jangan-jangan di
dalam telaga itu ada makhluk celaka yang bakal membantai diriku seperti Ikan
Dajal di kolam batu." Si nenek langsung berteriak keras.
"Tahan!
Tunggu! Turunkan aku di sini!"
Sepuluh
kelelawar muka bayi tidak bersuara, apa lagi memenuhi perintah. Ternyata si
nenek tidak diceburkan ke dalam telaga. Tubuhnya digotong melewati telaga lalu
masuk ke dalam sebuah cegukan membentuk situ ruangan cukup besar di dinding
batu.
Dua mata
Sinto Gendeng terpentang lebar menyaksikan satu pemandangan luar biasa di
depannya, hingga tidak menyadari kalau sepuluh kelelewar muka bayi telah
meletakkan tubuhnya di lantai batu.
Di dalam
cegukan besar di dinding batu, hanya dua langkah dari tubuhnya digeletakkan
duduk seorang kakek berambut putih menjela bahu. Kumis dan janggutnya jadi
satu, putih menyentuh dada. Dua alis putih menghias sepasang matanya yang
berwarna kebiru-biruan, bening tapi tajam. Kakek ini bertubuh kurus tapi
mengenakan jubah biru yang sangat besar gombrong dan menjela lantai batu. Yang
luar biasanya adalah, keadaan kepala si kakek. Mulai dari bagian atas sampai ke
leher, kepalanya terkurung dalam satu kerangkeng besi berbentuk bulat. Bagian
atas kerangkeng besi ini ada rantai besi yang dikaitkan pada sebuah gelang besi
yang menyembul di langit-langit batu. Dari panjapg dan tegangnya rantai besi
jelas si kakek tidak mungkin bergerak jauh. Dia hanya dapat menjulurkan kaki,
menggerakkan ke dua tangan. Leher dan kepala tak dapat digeser. Kalau hal itu
dilakukan lehernya bisa putus karena bagian bawah kerangkeng besi,yang menjepit
lehernya berbentuk mata gergaji, besar dan amat tajam. Pada leher si kakek
kelihatan guratanguratan luka, sebagian sudah mengering, sebagian kelihatannya
masih baru.
"Gusti
Allah, azab hukuman apa yang tengah dijalankan manusia satu ini?!"
membatin Sinto Gendeng.
Anehnya
walau berada dalam keadaan seperti itu tapi si kakek tampak tenang, malah
tersenyurn kecil sewaktu melihat sosok Sinto Gendeng diletakkan di depannya.
Sepuluh
kelelawar muka bayi sama letakkan tangan di atas kepala lalu berbarangan
berkata. “Ki Sepuh Tumbal Buwono, terima salam hormat kami untukmu."
Kakek
berjubah biru gombrong kedipkan mata. Suaranya halus perlahan tapi cukup jelas
terdengar ketika dia keluarkan ucapan.
"Sepuluh
kelelawar, siapakah nenek aneh yang kau antar ke hadapanku? Udara di tempat ini
mendadak menebar bau tidak enak. Kaliankah yang bau pesing atau nenek
ini?"
Sepuluh
kelelawar muka bayi tak berani menjawab, hanya saling pandang satu sama lain.
Sinto
Gendeng menahan nafas, dalam hati menggerutu mendengar ucapan si kakek. Tapi
dia diam saja karena ingin mendengar apa jawab rombongan kelelawar kepala bayi.
Salah
seorang dari mereka rapatkan dua tangan di atas kepala, membungkuk lalu
berkata.
"Ki
Sepuh Tumbal Buwono. Mohon maafmu, kami tidak tahu siapa adanya nenek ini. Kami
hanya menjalankan perintah. Perintah mengatakan agar kami membawa dirinya ke
sini."
"Kalau
begitu siapa yang memberikan perintah?" Bertanya si kakek.
"Tuyul
Orok."
"Tuyul
Orok?"
"Putera
Sang Pemimpin dengan seorang perempuan bernama Bintang Malam."
Orang tua
bernama Ki Sepuh Tumbal Buwono terdiam sejenak, seperti tengah berpikir dan
mengingat-ingat. Lalu tak sadar dia anggukkan kepala. Akibatnya lehernya
kembali tergores luka oleh bagian bawah kerangkeng besi yang mencengkeram
kepalanya sampai ke leher.
"O
ladalah, kakek tolol, seharusnya kau tidak pakai mengangguk segala!" kata
Sinto Gendeng dalam hati. "Siapa tua bangka satu ini? Siapa pula. yang
mengazabnya seperti ini?! Kalau dia orang baik-baik dan keadaanku tidak seperti
ini pasti akan aku hancurkan kerangkeng besi di kepalanya!"
Salah
seorang dari sepuluh kelelawar muka bayi atur hormat letakkan dua tangan di
atas kepala.
"Ki
Sepuh Tumbal Buwono, perintah sudah kami jalankan. Kami mohon diri."
Sepuluh
kelelawar muka bayi melangkah mundur.
"Tunggu!"
Kakek rambut putih berkata sambil angkat tangan kirinya. "Sebelum pergi
ada sesuatu yang harus kalian lakukan."
"Mohon
Ki Sepuh memberitahu agar perintah bisa kami laksanakan," ujar kelelawar
kepala bayi yang barusan minta diri.
"Ceburkan
nenek bau pesing itu ke dalam telaga!"
Sepuluh
kelelawar muka bayi tercengang, sama keluarkan seruan tertahan. Sinto Gendeng
sendiri berseru kaget, muka tegang membesi mata mendelik marah, memandang
mengancam pada sepuluh kelelawar muka bayi. Kalau saja tidak dalam keadaan
tertotok saat itu mungkin Sinto Gendeng sudah melompat dan mengamuk tak karuan.
********************
4
SINTO
GENDENG DICEBURKAN DALAM TELAGA
KARENA
tak seorangpun dari sepuluh kelelawar muka bayi bergerak lakukan perintah, Ki
Sepuh Tumbal Buwono menegur.
"Sepuluh
kelelawar. Kalian sudah dengar perintahku. Mengapa tidak dilaksanakan?"
"Ki
Sepuh, mohon maafmu," kelelawar muka bayi yang tadi selalu bicara mewakili
teman-temannya akhirnya menjawab. "Bukan kami tidak mau melaksanakan
perintah. Tapi telaga adalah sumber air minum Sang Pemimpin. Jika sampai
dicemari…."
Ki Sepuh
Tumbal Buwono tertawa.
"Kalian
anak buah yang baik. Sekali-sekali Sang Pemimpin perlu diberi minuman istimewa.
Kini dia mendapat suguhan air kencing seorang tamu. Seharusnya dia merasa
beruntung. Lekas kalian ceburkan nenek itu ke dalam telaga atau kalian yang aku
ceburkan sebagai gantinya!"
Sinto
Gendeng heran melihat sepuluh kelelawar muka bayi ketakutan mendengar ancaman
si kakek. Padahal jangankan menceburkan, bergerak beringsut sedikit saja dari
duduknya kakek itu tidak mungkin. Kecuali kalau mau lehernya putus digorok besi
yang melingkari lehernya, menyerupai mata gergaji tajam luar biasa.
Nyatanya,
sepuluh kelelawar muka bayi tidak banyak bicara lagi. Mereka gotong tubuh Sinto
Gendeng.
"Hai!
Awas kalau kalian berani…." Sinto Gendeng berteriak.
Tubuh si
nenek diayun ke kiri dan ke kanan. Lalu dilempar. Byuurr!
"Kampret
kurang ajar!" Maki Sinto Gendeng. Tertelentang di dalam telaga dia
menunggu. Sebentar lagi tubuhnya bakal menjadi santapan ikan buas atau binatang
buas lainnya yang ada dalam telaga. Tapi apa yang ditakutkannya tidak terjadi.
"Eh…?" Sinto Gendeng putar sepasang matanya.
Telaga di
dalam Goa Air Biru itu selain cukup besar memiliki kedalaman sampai sepuluh
kaki. Namun inilah keanehannya. Kecuali benda mati tak bernyawa, siapa saja
orang yang masuk ke dalamnya akan mengambang di permukaan telaga. Begitu juga
dengan tubuh Sinto Gendeng. Walau dalam keadaan tertotok, tubuh nenek ini
mengambang hingga carut marutnya akhirnya berhenti juga ditelan perasaan heran
dan aneh. Tubuhnya terasa sangat sejuk dan nyaman. Matanya sampai meram melek.
Sekilas dia melirik ke tepi telaga. Sepuluh kelelawar muka bayi tak ada lagi di
tempat itu. Melirik ke kiri dilihatnya kakek jubah biru gombrong duduk memandang
ke arahnya sambil senyum-senyum.
"Tua
bangka satu ini. Dari tadi aku lihat dia senyumsenyum terus. Jangan-jangan
bangsa kakek-kakek ganjen!" Ucap Sinto Gendeng dalam hati.
Di bagian
dasar air telaga, ada satu lobang kecil yang menjadi tempat masuknya aliran air
baru. Di sebelah atas air telaga mengalir keluar melalui dua buah saluran. Dua
saluran ini bersatu lagi, di satu tempat dan seterusnya air mengalir menuju
bangunan dibawah tanah tempat kediaman Kelelawar Pemancung Roh. Karena air
mengalir terus, maka dengan sendirinya semua kotoran dan bau yang melekat di
pakaian dan tubuh Sinto Gendeng lama-lama menjadi bersih.
Sinto
Gendeng merasa sudah cukup lama dia berada dalam telaga. Keluar sendiri tentu
saja tidak bisa. Dua kakinya dalam keadaan lumpuh. Di sebelah atas tubuhnya
dalam keadaan tertotok. Dan si kakek berambut putih jubah biru yang duduk di
dalam cegukan batu hanya senyum-senyum saja, sepertinya tidak ada niat untuk
mengeluarkannya dari dalam telaga. Tentu saja kakek ini tak bisa melakukan hal
itu karena lehernya terjerat kerangkeng besi. Bagaimanapun dia mengulurkan
tangan, tangannya tak bakal menjangkau tubuh si nenek yang ada dalam telaga.
Sinto Gendeng berusaha menyabarkan diri. Tapi ditunggu sampai sekian lama tak
ada tanda-tanda dia bakal bisa dikeluarkan dari dalam telaga. Nenek ini melirik
ke arah si kakek.
"Orang
tua berjubah biru! Pertama kali kau telah menghinaku, dengan menceburkan diriku
ke dalam telaga. Kedua kali apakah kau mau membiarkan aku jadi busuk di dalam
telaga ini?”
"Ah,
rupanya kau sudah merasa bosan berendam dalam air sejuk. Kau ingin naik
sekarang?"
"Kalau
kau sudah tahu apa perlu aku memerintahkan?" tukas Sinto Gendeng. Si nenek
kemudian gigit bibirnya sendiri. Dia sadar kalau kakek itu tak mungkin beranjak
untuk mengeluarkannya dari dalam telaga. "Hai dengar, kakiku sebelah bawah
dalam keadaan lumpuh. Dua tanganku kaku kena totok. Apakah ada seseorang di
sekitar sini yang bisa kau panggil untuk tolong mengeluarkan aku dari dalam
telaga?"
Ki Sepuh
Tumbal Buwono tersenyum.
"Disini
hanya kita berdua. Tak ada orang lain." Menerangkan Ki Sepuh Tumbal
Buwono.
"O
ladalah! Mati celaka aku di tempat ini!"
"Nek,
kau tak usah kawatir. Nanti bakal datang seseorang. Aku bisa minta bantuannya
mengeluarkan kau dari dalam telaga."
"Siapa?
Mana orangnya?!" Sinto Gendeng tidak sabaran. Tubuhnya mulai menggigil
kedinginan karena terlalu lama di dalam air.
"Sabar
saja. Sebentar lagi pasti muncul…"’ jawab Ki Sepuh. "Sekarang orang
itu sedang kebingungan. Aku harus menolongnya. Membimbingnya dari jauh agar dia
bisa cepat sampai di tempat ini dalam keadaan selamat."
"Siapa
orang yang kau maksudkan itu?" Sinto Gendeng bertanya.
"Salah
seorang istri Kelelawar Pemancung Roh."
"Mengapa
berlaku totol menolong istri makhluk jahanam itu?!"
"Perempuan
itu, seperti juga sebelas perempuan lainnya adalah korban-korban tak berdaya
yang perlu ditolong."
"Hemmm
begitu? Orang yang jauh kau tolong, aku yang sudah kedinginan setengah mati kau
biarkan. Ki Sepuh, kau pernah mendengar ujar-ujar seperti itu. Mengharap burung
di udara, burung dalam celana dilepaskan."
Ki Sepuh
Tumbal Buwono tersenyum.
"Nek,
kurasa kau keliru mengucapkan ujar-ujar tadi. Ujar-ujar yang aku dengar tidak
begitu bunyinya."
Sinto
Gendeng tertawa cekikikan. Benar-benar nenek gendeng. Dalam keadaan seperti itu
masih bisa tertawa.
********************
BINTANG
Malam lari sambil tiada hentinya menangis. Sengsara derita hidupnya selama
sepuluh tahun menjadi istri paksaan Kelelawar Pemancung Roh tidak terperikan.
Berbagai cara telah dilaku kannya untuk dapat membebaskan diri. Namun selalu
sia-sia. Hanya bunuh diri saja yang belum pernah dipikirkannya. Hari itu derita
mencapai puncaknya dengan kematian anaknya. Walau Tuyul Orok berujud bukan
seperti manusia, tapi bagaimanapun juga dia adalah anak darah daging yang
dilahirkannya. Hari itu dia menyaksikan kematian anak yang malang itu. Dibunuh
oleh ayahnya sendiri!
Dalam
larinya semula Bintang Malam yang tengah hamil itu tidak tahu mau menuju
kemana. Dia berlari sepanjang lorong yang akan membawanya ke tepi pantai.
Biasanya begitu dia sampai di pantai puluhan bahkan ratusan kelelawar dan
pluhan kelelawar kepala bayi akan terbang berputar-putar mengelilinginya.
Mereka telah mendapat perintah dari Kelelawar Pemancung Roh untuk mengawasi
siapa saja yang berada di pantai. Kalau sampai ada yang punya niat melarikan
diri maka makhluk-makhluk itu sudah diberi wewenang untuk membunuh.
Sekali
ini Bintang Malam merasa heran. Dia tahu tiga puluh kelelawar kepala bayi
termasuk anaknya telah menemui ajal. Sepuluh di tangan Kelelawar Pemancung Roh,
dua puluh di tangan Pendekar 212, Wiro Sableng. Lalu masih ada puluhan
kelelawar anak buah Kelelawar Pemancung Roh yang juga telah menemui kematian.
Namun masih ada sisa-sisa yang masih hidup sekitar seratusan. Saat itu
kelelawar-kelelawar yang masih hidup itu hanya terbang kian kemari di atas
pantai. Belasan ekor diantaranya bergelantungan di cabang pepohonan. Tak ada
yang mendekati atau mengusik Bintang Malam. Kalau dulu makhluk ini memandang
dengan mata menyorot merah dan keluarkan suara beringas, kini semua
memperhatikan dengan pandangan sayu.
Bintang
Malam tidak sempat memikirkan mengapa binatang-binatang itu kini berada dalam
keadaan seperti itu. Dia tengah memikirkan hendak menuju kemana saat itu.
Mendadak dia ingat akan ucapan anaknya ketika Tuyul Orok digendongnya,
dilarikan dari pantai dibawa ke dalam kamar di dalam bangunan di bawah tanah.
"Ibu,
kalau terjadi apa-apa larilah, selamatkan dirimu. Masuk ke dalam Goa Air Biru
di kaki Bukit Jati. Disitu ada seseorang yang bisa menolong Ibu…." Ucapan
Tuyul Orok terputus karena dadanya yang kena dipukul oleh Wiro terasa sesak dan
jalan nafasnya tersendat-sendat. Bintang Malam saat itu tidak memperhatikan apa
yang diucapkan anaknya. Dia lari sekencang yang bisa dilakukan, menggendong Tuyul
Orok, berusaha sampai ke tempat kediamannya di bawah tanah. Siapa menduga kalau
sang anak akhirnya justru menemui ajal di kamarnya, dibunuh oleh ayahnya
sendiri!
Begitu
ingat kata-kata anaknya itu, tanpa pikir panjang Bintang Malam segera lari ke
arah utara, menuju Bukit Jati. Bintang Malam tahu dimana letak Bukit Jati dan
juga pernah mendengar tentang Goa Air Biru. Namun dia tidak tahu dimana
beradanya goa yang konon airnya merupakan satu-satunya sumber air minum
Kelelawar Pemancung Roh.
Ketika
sang surya condong ke barat, megap-megap kehabisan nafas Bintang Malam sampai
di kaki Bukit Jati. Perempuan ini jatuhkan diri di tanah. Dua kakinya tak kuasa
lagi dilangkahkan, apa lagi dibawa berlari.
"Gusti
Allah…." Bintang Malam menyebut nama Tuhan. "Kalau Kau ambil nyawaku
saat ini juga aku ikhlas Ya Tuhan. Tolong, kapan berakhirnya derita ini.
Sepuluh tahun…."
Ucapan
Bintang Malam terputus ketika tiba-tiba di telinganya mengiang satu suara.
"Perempuan
malang, berdirilah. Kuatkan kakimu. Kukuhkan langkahmu. Berjalan seratus
langkah ke arah kanan kaki bukit. Kau akan menemui satu pohon kelapa yang
hanya, tinggal separuh karena disambar petir. Tiga langkah di belakang pohon
itu ada semak belukar. Masuk ke dalam semak belukar. Berjalan lurus-lurus
sampai kau menemukan mulut sebuah goa berbatu biru. Masuk ke dalam goa, ikuti
jalan berbatu biru yang diapit dua jalur aliran air biru. Di ujung goa ada
sebuah telaga. Kau akan menemukan diriku di seberang telaga air biru."
Bintang
Malam bangkit berdiri sambil mengusap telinganya. Perempuan ini memandang
berkeliling.
"Ada
orang mengirimkan suara dari jauh. Setahuku hanya aku dan Kelelawar Pemancung
Roh memiliki ilmu mengirimkan suara seperti itu. Orang itu menyuruhku masuk ke
Goa Air Biru. Janganjangan itu suara Kelelawar Pemancung Roh. Dia pasti tengah
berusaha mencariku. Lalu menjebakku masuk ke dalam goa kemudian menghabisiku
di tempat itu!"
Bintang
Malam bingung, hatinya merasa ragu.
"Bintang
Malam, buang semua keraguan dihatimu. Lekas berjalan kesini…." Suara
mengiang kembali memasuki telinga.
"Anakku
mengatakan ada orang di dalam goa yang akan menolongku.
Siapa?"
Kembali Bintang Malam bertanya-tanya dalam hati. “Kalau aku menjawab dengan
ilmu mengirimkan suara, kawatir orang itu benar-benar Kelelawar Pemancung
Roh." Semakin bingung perempuan ini.
"Bintang
Malam, cepat. Keselamatanmu lebih terancam jika berada di luar sana."
"Ya
Tuhan, kalau ini memang pertolongan dariMu, selamatkan diriku sampai ke dalam
goa." Setelah memohon dan berdoa seperti itu, Bintang Malam seolah
mendapat kekuatan baru, langkahkan kaki menyusuri kaki Bukit Jati ke arah
kanan. Di satu tempat dia menemui pohon kelapa yang disambar petir. Seperti
petunjuk suara tadi, di dekat pohon kelapa ini memang ada serumpunan semak
belukar lebat. Setelah ragu lagi sejenak akhirnya Bintang Malam menerobos masuk
memasuki semak belukar itu. Berjalan beberapa belas langkah dia menemui mulut
goa berbatu biru. Bintang Malam masuk. Di dalam goa ada satu jalan kecil dari
batu biru, diapit dua aliran air berwarna biru. Bintang Malam melangkah
sepanjang jalan batu ini.
Beberapa
puluh langkah memasuki goa benar saja, Bintang Malam menemui sebuah telaga
cukup besar. Airnya bening berwarna biru. Di seberang telaga dia melihat sosok
seorang kakek berjubah biru gombrong, duduk di dalam satu cegukan besar di
dinding batu. Bintang Malam membuka mulut hendak bertanya, namun mulutnya
langsung terkancing ketika melihat bagaimana keadaan si kakek. Kepala berada
dalam kerangkeng besi, kulit sepucat mayat, mata cekung berwarna biru.
Perempuan ini letakkan dua tangan di atas dada, menahan kejut menahan takut.
Lalu mulutnya keluarkan seruan tercekat sewaktu melihat dan baru menyadari
bahwa di dalam telaga di depannya mengambang sesosok tubuh.
********************
5
KALAJENGKING
PUTIH
DI DALAM
telaga Sinto Gendeng memandang tak berkesip pada perempuan yang baru masuk ke
dalam goa dan berdiri di tepi telaga dengan wajah takut.
"Ki
Sepuh! Apakah perempuan bunting ini orangnya yang bakal menolong diriku keluar
dari dalam telaga?" Sinto Gendeng berseru.
Ki Sepuh
perhatikan perut Bintang Malam yang buncit lalu angkat tangan kanannya,
dilambaikan ke perempuan itu.
"Bintang
Malam, kau tak usah takut. Kau berada di tempat yang aman. Kemari
mendekat…."
"Orang
tua, kau… kaukah yang tadi mengirimkan suara pada saya?" Bintang Malam
beranikan diri bertanya.
"Benar,
anakmu sering ke sini. Dia pernah bercerita tentang dirimu padaku…."
"Maksud
Kakek, Tuyul Orok?"
"Ya."
"Anak
itu bernasib malang. Dia telah dibunuh oleh Kelelawar Pemancung Roh, ayahnya
sendiri."
Sepasang
mata Ki Sepuh Tumbal Buwono terpejam. Bibirnya bergetar. "Durjana,
betul-betul durjana."
Perlahan-lahan
si kakek buka matanya.
"Bintang
Matam, aku Ki Sepuh Tumbal Buwono. Aku akan berusaha menolongmu. Tapi sebelum
kau kutolong harap kau menolong dulu nenek itu. Keluarkan dia dari dalam
telaga, bawa ke sini, masukkan ke dalam jubahku sebelah belakang."
Sinto
Gendeng mengerenyit mendengar kata-kata Ki Sepuh itu. Matanya yang cekung
berputar melirik.
Bintang
Malam perhatikan wajah dan sosok Sinto Gendeng, belum mau beranjak melakukan
apa yang dikatakan Ki Sepuh.
"Kau
tak usah takut. Dia cukup jinak dan tidak akan menggigit. Pegang saja kakinya,
tarik ke sini." Kata-kata itu diucapkan dengan tersenyum. Walau demikian
Sinto Gendeng tetap saja memaki panjang pendek.
"Kakek
edan! Kau kira aku ini binatang buas! Enak saja bilang aku cukup jinak, tidak
menggigit!"
Ki Sepuh
tertawa. Dia memberi isyarat pada Bintang Malam untuk segera mengeluarkan Sinto
Gendeng dari dalam telaga. Agak takut-takut perempuan yang tengah hamil muda
itu melangkah mendekati telaga. Lalu dia pegang dua kaki Sinto Gendeng.
"Nek,
maunya aku ingin menggendongmu. Tapi aku tidak kuat. Lagi pula aku dalam
keadaan hamil. Aku terpaksa, menarik kakimu."
Sinto
Gendeng merengut. "Sudah, jangan banyak bicara. Cepat keluarkan aku dari
dalam telaga. Bagaimana caranya terserah kamu!"
Walau
tubuh kurus si nenek tidak berat namun cukup susah bagi Bintang Malam
menariknya, membawanya ke belakang Ki Sepuh.
"Aduh,
tidak sangka. Beratnya tubuhmu Nek," kata Bintang Malam.
"Daging
dan tulangnya tidak seberapa. Dosanya yang berat," ujar Ki Sepuh.
Lagi-lagi sambil tersenyum dan lagilagi membuat Sinto Gendeng mengomel.
Sesuai
yang diperintahkan, begitu sampai di belakang si kakek, Bintang Malam angkat ke
atas jubah gombrong Ki Sepuh lalu masukkan sosok Sinto Gendeng ke dalam jubah.
"Hai!
Kalian berdua pasti sudah edan! Apa-apaan ini! Mengapa aku dimasukkan ke dalam
jubah bau apak ini!! Kakek kurang ajar! Kau pasti punya maksud tidak
senonoh!" Dari dalam jubah gombrong Sinto Gendeng berteriak.
"Itu
tempat paling aman bagimu. Agar kau selamat." Berkata Ki Sepuh.
Sinto
Gendeng memaki.
“Aku
tidak bermaksud jahat. Yang aku lakukan adalah menolongmu sebisaku. Aku tak
punya kekuatan apa-apa. Kau dalam keadaan tidak berdaya. Bukankah lebih penting
cari selamat dari pada mengomel dan memaki?!”
Sinto
Gendeng terdiam mendengar ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono itu. Tapi sesaat
kemudian terdengar ucapannya dari balik jubah. "Baik! Aku tak tahu apa
arti dan maksud semua ini. Tapi aku tidak mau lama-lama disini. Dan ada satu
syarat! Asal kau tidak kentut saja! Kalau sampai kau kentut amblas hidungku!”
Aku janji
tidak akan kentut. Asai kau juga berjanji."
"Janji
apa?" tanya Sinto Gendeng.
"Asal
kau tidak kencing!" jawab si kakek.
Sinto
Gendeng terdiam lalu tertawa cekikikan.
"Kau
kakek-kakek lucu!"
"Kau
juga nenek-nenek lucu. Siapa kau adanya?"
"Aku
tak akan memberitahu sebelum tahu banyak tentang dirimu!" Jawab Sinto
Gendeng.
"Begitu?
Baik. Tanyakan apa yang kau mau tanya. Kau sudah tahu namaku. Jadi tak perlu
ditanyakan lagi. Mungkin kau mau menanyakan apa aku punya istri?"
"Manusia
edan! Siapa yang mau menanyakan hal itu padamu! Buat apa!"
Ki Sepuh
Tumbal Buwono tertawa mengekeh. "Siapa tahu kau naksir padaku. Ingin tahu
apa aku masih sendirian atau bagaimana."
"Amit-amit
jabang monyet! Siapa suka padamu. Aku tidak! Walau aku tahu hatimu mungkin
baik!"
"Nah
tepat dugaanku!"
"Dugaan
apa?" tanya Sinto Gendeng.
"Kalau
seorang nenek mulai memuji seorang kakek, berarti si nenek ada hati pada si
kakek. Bukan begitu? Aduh…!" Ki Sepuh terpekik. "Nenek jahil! Apa
yang kau lakukan?!"
"Sekali
lagi mulutmu bicara usil, akan kugigit lagi punggungmu!"
Bintang
Malam walau dalam bingung mau tak mau jadi tertawa melihat kelakuan dan
mendengar bicara sepasang kakek nenek itu.
"Ba…
baik. Aku tidak akan usil lagi. Sekarang ayo tanyakan apa yang hendak kau
ketahui."
"Kawasan
Teluk Akhirat adalah sarangnya Kelelawar Pemancung Roh. Kau berada di tempat
ini. Dalam keadaan di kerangkeng kepala sebelah atas! Aku tidak tahu apa
kepalamu sebelah bawah juga dikerangkeng…."
"Nah
Nek! Ternyata mulutmu yang bicara usil! Tapi aku tidak akan menggigit
punggungmu atau pinggulmu. Ha… ha… ha!"
"Tua
bangka ganjen! Katakan apa hubunganmu dengan Kelelawar Pemancung Roh!"
"Dia
muridku," jawab Ki Sepuh. Suaranya perlahan saja tapi membuat kejut bukan
alang kepalang pada Sinto Gendeng dan Bintang Malam. Kalau tidak dapat menahan,
saat itu rasanya hampir terpancar air kencing si nenek. Jika kakek ini memang
benar guru Kelelawar Pemancung Roh musuh besarnya itu, bukankah berarti saat
itu sama saja dia berada dalam sarang harimau?
Bintang
Malam sendiri memang pernah mendengar kabar tentang seorang penghuni aneh di
Goa Air Biru. Tapi dia tidak tahu siapa adanya dan Tuyul Orok tidak pernah
bicara padanya.
"Nek,
kenapa kau diam? Apa pertanyaanmu cuma satu tadi itu saja?" Ki Sepuh
menegur.
Dengan
suara bergetar Sinto Gendeng berkata. "Ketahuilah, muridmu itulah yang
telah membuat aku lumpuh begini rupa. Dia meracuni diriku dengan Seribu Hawa
Kematian."
"Tidak
heran." Sahut si kakek.
"Eh,
apa yang tidak heran?!" tanya Sinto Gendeng.
"Aku
saja diperlakukannya seperti ini. Apa lagi orang lain."
Sinto
Gendeng keluarkan suara tercekat. Bintang Malam terbelalak.
"Kek,
jadi Kelelawar Pemancung Roh yang membungkus kepalamu dengan kerangkeng besi
ini?"
"Sejak
lima tahun yang lalu. Aku benar-benar dibuatnya sengsara…."
"Mengapa
dia melakukan kekejaman begini keji terhadapmu, Kek?" tanya Bintang Malam.
"Ya,
ya. Mengapa?" Ikut menyambung Sinto Gendeng.
"Dia
memaksaku memberikan beberapa ilmu terlarang. Aku menolak. Ketika dia memaksa
sambil mengancam akhirnya aku berikan satu dari lima ilmu yang dimintanya.
Yakni Ilmu Seribu Hawa Kematian. Tapi tetap saja dia minta yang empat lainnya.
Ketika aku menolak, kepalaku dijebloskannya ke dalam kerangkeng besi ini. Aku
menyesal seumur-umur telah memberikan ilmu itu padanya. Lebih baik dia
membunuhku dari melihat dia mencelakai sekian banyak orang. Tapi penyesalan
tak ada gunanya. Semua sudah terjadi."
"Murid
terkutuk. Murid murtad!" Rutuk Sinto Gendeng.
"Selama
lima tahun dikerangkeng begini, bagaimana kau makan, bagaimana kau minum
Kek?" tanya Bintang Malam.
"Ya,
bagaimana kau kencing, bagaimana kau berak?" Sinto Gendeng menyambung
pertanyaan Bintang Malam.
"Aku
tak pernah diberi makan. Kelelawar peliharaan murid terkutuk itu setiap hari
dua kali datang ke sini untuk menolong memberi aku minum. Air dari telaga itu.
Aku tak pernah kencing. Air yang ada dalam tubuhku keluar sebagai keringat. Aku
juga tak pernah buang air besar. Kalau aku kencing dan buang air besar pasti
tempat ini sudah kotor dan busuk."
"Aneh…"
ucap Bintang Malam.
"Luar
biasa," ujar Sinto Gendeng.
"Nek,
Kelelawar Pemancung Roh meracunimu, membuat kau lumpuh tentu ada sebabnya.
Silang sengketa apa yang ada diantara kalian?"
"Empat
puluh tahun lalu aku bersama orang-orang Kerajaan menumpas kaum pemberontak di
kawasan selatan ini. Delapan pentolan pemberontak yang ada sangkut paut darah
dengan Kelelawar Pemancung Roh aku habisi. Salah seorang diantaranya adalah
ayah kandungnya. Dia muncul membalaskan dendam kesumat. Kakek rambut putih,
apapun yang dibuat muridmu, apapun yang jadi pangkal sebabnya, kau harus ikut
bertanggung jawab. Keadaan dirinya seperti sekarang satu bukti kau tidak bisa
mendidiknya!"
Ki Sepuh
menarik nafas dalam. "Terima kasih untuk ucapanmu itu. Aku telah menerima
hukuman atas kebodohanku sendiri."
"Kek,
dengan kesaktianmu apa kau tidak bisa membebaskan diri?" tanya Bintang
Malam.
"Kelelawar
Pemancung Roh memiliki ilmu yang membuat lawan tak berdaya secara aneh. Aku
tahu nama ilmu itu tapi tidak tahu dari mana dia mendapatkan. Salah satu
diantaranya adalah ilmu Iblis Menyedot Segala Daya. Dengan ilmu itu dia telah
menyedot seluruh tenaga dalam, hawa sakti dan sebagian tenaga luarku. Aku hanya
mempunyai kekuatan untuk bicara, makan minum, mengangkat dua tanganku,
menggeser kaki. Lain dari itu aku tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan sejak lima
tahun dirangket seperti ini aku jarang sekali bisa tidur…"
"Muridmu
yang jahanam itu pasti juga telah menotok jalan darahku hingga, aku tidak bisa
menggerakkan dua tangan. Berulang kali aku mengerahkan tenaga dalam untuk
membebaskan diri tapi selalu tak berhasil. Mungkin kau tahu caranya agar aku
bisa bebas?"
"Nek,
dia pasti telah menotokmu dengan ilmu totokan yang disebut Totokan Tiga Lapis
Jalan Darah. Kabarnya jarang ada orang sakti yang mampu membebaskan totokan
itu. Namun aku juga mendengar kabar ada beberapa senjata tertentu yang mampu
memusnahkan totokan itu."
"Mungkin
tusuk konde yang ada di kepalaku!" Kata Sinto Gendeng.
"Mungkin
tidak. Karena kalau tusuk kondemu itu cukup sakti, pada waktu dirimu ditotok
pasti sudah menolak totokan."
"Sialan!"
Maki Sinto Gendeng dalam hati begitu mendengar ucapan Ki Sepuh.
"Selain
Kelelawar Pemancung Roh, hanya sengatan Kalajengking Putih yang bisa
membebaskan dirimu dari totokan itu." Ki Sepuh berikan keterangan
tambahan.
"Kalajengking
Putih? Edan! Baru sekali ini aku mendengar ada Kalajengking berwarna putih.
Dimana bisa ditemukan? Ki Sepuh, kau tahu obat atau apa saja yang bisa
menyembuhkan kelumpuhanku akibat racun Seribu Hawa Kematian?"
"Kelelawar
Pemancung Roh satu-satunya orang yang memiliki obat itu di muka bumi ini. Dia
mencurinya dari aku."
"Obat
apa? Bagaimana bentuknya? Dimana disimpannya?"
"Obatnya
semacam cairan yang dibuat dari minyak bunga matahari langka. Yang tumbuh
menghadap matahari terbit dan mekar pada tengah malam buta, waktu bulan
gelap…."
"Jadi
bukan waktu matahari gerhana?" potong Sinto Gendeng.
"Bukan,"
jawab Ki Sepuh lalu meneruskan keterangannya. "Malam gelap tanpa bulan
sama saja dengan gelapnya waktu terjadi gerhana matahari."
Sepasang
mata Sinto Gendeng berputar. Dia menanamkan ucapan si kakek dalam benaknya.
"Mengenai
cairan bunga matahari yang ada pada murid-mu itu. Kau tahu dimana dia
menyimpannya?"
“Minyak
itu disimpan dalam telur penyu yang sudah kering. Dimana murid murtad itu
menyimpannya aku tidak tahu. Mungkin sekali selalu dibawanya kemana-mana”
"Ada
yang mengatakan bunga matahari itu tumbuh di puncak Pegunungan Dieng…."
"Betul,"
membenarkan Ki Sepuh. "Tapi beberapa waktu lalu waktu musim kemarau yang
sangat panjang, pernah terjadi kebakaran besar di Pegunungan Dieng. Bunga
matahari yang tumbuh disana mungkin ikut musnah semuanya bersama pepohonan
lain."
"O
ladalah, sialnya nasibku! Naga-naganya aku tak bisa sembuh dari kelumpuhan
celaka ini!" keluh Sinto Gendeng dalam hati.
"Ki
Sepuh…."
"Diam,
jangan keiuarkan suara." Si kakek memotong ucapan Sinto Gendeng. "Aku
mendengar suara orang mendatangi tempat ini. Bintang Malam, lekas kau masuk
ke dalam
jubahku di samping si nenek."
"Kek…."
"Aku
sudah tahu siapa yang datang…." Ucap Sinto Gendeng.
"Jangan
bicara! Bintang, masuk cepat! Mendekam di samping si nenek. Jangan ada yang
bicara. Jangan ada yang bergerak. Usahakan menahan nafas!"
Mendengar
ucapan Ki Sepuh Tumbal Buwono tanpa banyak membantah lagi Bintang Malam segera
menyelinap masuk ke bagian belakang jubah gombrong si kakek.
TAMAT
No comments:
Post a Comment