" Benarkah kamu seorang
muslim…? "
Pertanyaan lama seorang teman ini
pernah menghantui pikiranku. Ada ego yang mendadak mendesak keluar ketika
pertanyaan itu pertama kali dilontarkan, " Ya. Aku muslim.." Ingin
kujawab seperti itu.
Tapi tunggu dulu. Temanku ini
selalu mempunyai jawaban yang lebih dalam dari sekedar sebuah keilmuan, yaitu
pemahaman.
Kata Imam Ali dalam sebuah
nasihat indahnya, " Periwayat ilmu itu banyak, tetapi yang memahaminya
sedikit.." Dalam artian, siapapun bisa menyampaikan sebuah
ilmu. Pertanyaannya, apakah ia paham apa yang ia sampaikan…?
Dan berbulan-bulan aku mencari
jawabannya. Bahkan butuh tahunan.
Sampai akhirnya secara tidak
sengaja aku bertemu seorang pendeta. Kami berdiskusi melintasi ruang-ruang
keagamaan. Bagi kami, agama itu adalah sebuah petunjuk, sebuah kompas yang
harus dipegang dalam perjalanan di dunia, jika tidak manusia akan tersesat di
rimba belantara hidup yang penuh dengan jebakan..
Ia berkata, " Kita ini sejatinya
bodoh, tetapi sombongnya luar biasa. Kita menganggap diri kita tahu segalanya,
tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa. Kita merasa diri kita benar, tetapi
sejujurnya kita ini salah..."
Ia menyeruput kopinya. " Semua
petunjuk itu mengandung kebenaran, manusianyalah yang salah mengartikan.
Petunjuk-petunjuk itu mengarahkan kita pada kebaikan, tetapi kita
menafsirkannya dengan arogan. Kamu benar, aku salah. Padahal, benar dan salah
bukan manusia hakimnya…"
Pada titik itulah aku sadar dan
mulai paham...
Petunjuk tetaplah petunjuk. Ia
membutuhkan pemahaman, bukan sekedar pengetahuan.
Islam mempunyai arti yang dalam,
yaitu kepasrahan total kepada Tuhan dengan mengikuti petunjuk RasulNya. Bukan
sekedar sebuah simbol atau aksesoris yang disematkan dengan kebanggaan.
Petunjuk itu harus dipahami
dengan nilai kemanusiaan dan kerendahan hati yang luar biasa, karena
kesombongan menutup fakta yang ada. Mereka yang mempelajari Islam biasa disebut
sebagai muslim. Tapi benarkah aku seorang muslim…?
Diriku mulai mengecil. Tidak aku
sama sekali bukan seorang muslim. Petunjukku, jalan yang kupilih dengan sadar
adalah Islam memang benar. Tetapi untuk bisa pasrah hanya kepada Tuhan, aku
sama sekali tidak berdaya..
Mulut munafikku selalu bilang,
aku percaya pada Nya. Tetapi ketika datang kenikmatan berupa kemiskinan, aku
menganggapnya musibah. Kemunafikanku berbicara aku pasrah pada Nya, tetapi
ketika diuji dengan sedikit kekurangan, aku bergetar ketakutan.
Dimana arti kata " pasrah
kepada Tuhan " yang selalu kujadikan slogan kebenaran jika aku sendiri
tidak pernah punya keyakinan yang benar terhadap Nya… ?
Mengakui diriku sebagai seorang
muslim, sejatinya seperti seorang pelari yang masih berada di garis start
tetapi sudah merasa menjadi pemenang.
Aku menjadi orang sombong tanpa
kusadari, hanya karena mengklaim bahwa akulah pemenang. Bodoh tanpa kusadari.
Dan aku hidup dalam kebanggaan tanpa pernah paham bahwa sebenarnya aku
ditertawakan banyak orang..
Kuambil handphoneku, kukirim
pesan pada temanku itu..
" Bukan aku bukan seorang muslim.
Aku sedang berusaha menjadinya dan mencapainya. Muslim atau bukan diriku, bukan
aku yang menentukan.."
Lama kemudian temanku membalas
pesanku. " Kamu sudah mulai paham…"
Kuseruput secangkir kopi malam
ini. Bahkan untuk pengetahuan sesederhana itu, aku harus berjalan sangat jauh.
Sungguh aku sejatinya tidak mengerti apa-apa..
No comments:
Post a Comment