Abah Kyai Wong Bagus punya murid
senior namanya Begawan Candu. Sosoknya putih tampan, perlente dan sedikit ‘
jaim ‘ ( Jaga Image, red ). Tapi tetap baik hati, seperti cerita silat Pendekar
dari negeri China. Bang Begawan Candu ini tidak menetap disatu tempat. Jenis
Pendekar petualang. Jadi kalau mau menemui beliau, sulitnya minta ampun.
Kecuali kalo punya ilmu “ pengirim suara “ jarak jauh, bisa kirim pesan via
ghaib. Walaupun kadang ga’ ada replay ,
tapi bisa dipastikan pesan sampai. Hehehehe…..
Suatu hari Abah Kyai menyuruh
Santri Ndeso menghadap. Pesan dari Burung Hantu milik Bang Begawan mengatakan
kalau beliau akan mampir ke padepokan. Kabarnya beliau akan melanjutkan
menyempurnakan Riyadhoh Ilmu yang bernama RDR ( Rajeh Di Rajeh ) level ke
Sembilan Pamungkas.
Santri Ndeso di tugaskan
menyiapkan kamar untuk Bang Begawan. Bukan main senangnya Wong Ndeso saat
mendapat tugas dari Abah Kyai. Sudah terbayang di otaknya akan mendapat
limpahan Ijazah Super dari Sang Begawan Sakti. Berbagai rencana tersusun rapi
dibenaknya untuk melobi Bang Begawan. Ada satu ilmu yang sudah lama di
idam-idamkan si Ndeso ini. Tapi belum di turunkan Ijazahnya sama Abah Kyai
untuk santri. Namanya Ilmu Asma Sunge Raje ( Laut Besar, red ).
Satu ilmu yang konon menyamai
seribu jenis ilmu kesaktian tingkat tinggi. Saking hebatnya ilmu ini, katanya
bisa membuat hujan reda seketika, membuat orang ta’luk, membuat jin – jin tak
berdaya, bisa menjinakkan binatang buas, mendatangkan hajat apa saja, untuk pengobatan,
mengusir jin nakal, pokoknya seribu macam niat bisa maqbul dengan satu ilmu
ini. Maaf broo…, Kalau semua faedah asma ini ditulis bisa habis 1000 lembar
daun lontar…. mantapzzz…..!!
Akhirnya….di satu pagi yang
sedikit mendung, pendekar idaman si Ndeso sampai ke padepokan dengan selamat
tanpa kurang suatu apa.
Betul… seperti yang di ceritakan
di atas, Bang Begawan ini punya sosok yang menawan. Putih, tinggi, tampan,
keren dan modis. Perawakannya proporsional. Beliau datang dengan mengendarai
gerobak kuda. Katanya boleh pinjam dari orang desa di bawah bukit. Isi gerobak
berbagai macam barang keperluan santri, oleh-oleh buat semua penghuni di
padepokan. Wah asyik nih…..!!
Ketika semua orang berebutan
menghabiskan isi gerobak, Wong Ndeso tampak tenang dan seakan tidak tertarik.
Sikapnya tampak syahdu. Dengan gaya layaknya menyambut penganten datang,- si Ndeso
mendekati Bang Begawan. Mencium tangannya dengan ta’dzim dan langsung meraih
tas pakaian si Pendekar.
Dengan sangat sopan
mempersilahkan Sang Begawan untuk beristirahat dikamar yang sudah dia
persiapkan. Mendapat sambutan sedemikian santun, Bang Begawan Candu tampak
senang. Setelah permisi dengan Abah kyai, beliau berlalu menyusul si Ndeso.
Begitulah… hari-hari pun berlalu
dengan indah bagi si Santri Ndeso ini. Dengan senang hati dia berlaku sebagai
khodam nya si Begawan. Kemana pun si Begawan pergi, dengan setia si Ndeso
mengiringi.
Alasannya tugas dari Abah Kyai…!
begitu saat ku tanyakan. Hehehehe… komodo ko’ dikadalin… Kura-kura dalam perahu,
pura-pura mana tahu…. .cihuuyyy. Biarlah, prinsipnya kalau kawan kita bahagia
mestinya kita pun turut bahagia. Iya toh….?
Konon kata Ki Ageng Paijo, Kalo
ikhtiar sungguh-sungguh pasti membawa hasil. Tampaknya demikian juga dengan si Ndeso.
Usahanya ‘ melobi ‘ si Pendekar tampan sepertinya berbuah manis. Sudah beberapa
hari ini dia sibuk menghapal sesuatu… pas ditanya lagaknya kayak bintang lenong
dari Batavia “ No Coment…!” begitu katanya. Walah… bahasa compeni VOC
bisa-bisanya jadi penghias bibir… hahahaha…. Santri Ndeso
Hari ini si Ndeso tampak sibuk
memperbaiki tangga. Saat di Tanya, hanya di jawab singkat saja “ No coment…!”
wualaah, “ yo wes ra po-po je, lha kulo yo podo nduwe kerjanan dewe “
Akhirnya aku pun berlalu ke
dapur. Hari ini dapat tugas giliran masak buat makan nanti siang. Ku tinggalkan
Wong Ndeso yang masih sibuk dengan tangganya. “ Sepertinya hari ni lebih enak
bikin pecel bumbu kacang dan goreng ikan mas,” pikirku dalam hati.
Hari – hari berlalu berkejaran
dengan sinar mentari. Padepokan masih beraktivitas seperti biasa. Pelajaran
berjalan bab demi bab. Pengetahuan pun bertambah. Pemahaman menjadi lebih
tajam, dan hati menjadi lebih bening dengan ilmu.
Sudah seminggu ini aku perhatikan
si Santri Ndeso berpuasa. Melihat jenis puasanya, sepertinya dia lagi Riyadhoh.
Tapi aku tidak melihat dia wiridan baik di mesjid pondok ataupun di kamar. Jadi
dia wiridan dimana….? Yang jelas dia selalu menghilang setiap malam. Sampai –
sampai aku mesti menggantikan tugasnya, mijetin abah kyai.
Waktu abah kyai bertanya, aku
jawab dengan jujur tidak tau kemana dia menghilang. Abah hanya geleng-geleng
kepala saja mendengar laporanku. Hmmm…. Mutiara didalam kitab mengatakan, “ Ilmu adalah
pembuka hati yang tujuannya untuk mendekatkan diri kepada Allah, dan ilmu tidak
akan berguna bagi murid pembohong, mintalah ridho dari gurumu sebelum kau
beramal untuk mencari Ridho-NYA.” Hari
ini malam ke 40 sejak si Ndeso mulai riyadhoh. Mahgrib tadi dia bilang besok
sudah selesai riyadhohnya. Wajahnya tampak girang dan berseri-seri.
Sudah terbayang-bayang akan
menjadi orang sakti dan terkenal. Katanya nanti mau buka praktek konsultasi
Ghaib untuk masyarakat umum. Malah dia sudah bikin gelar untuk dirinya, katanya
nanti mau pakai nama : KI Ageng Pamungkas Jagat…. hmmmm bolehlah idenya.
Hujan turun dari sejak asar tadi
sampai Isya’ belum juga reda. Sebagian santri memilih berkumpul di aula karna
lebih hangat sambil memegang kitab hapalannya masing-masing. Aku sedang akan
bersiap-siap menyusul yang lain, saat ku lihat ternyata Si Santri Ndeso masih
tegak di depan kamar.
Mukanya tampak cemas dan
kebingungan. “ Duh, ini malam terakhir wiridan neh… hujan ga’ berhenti juga ya…?”
katanya padaku. ” Emang ada hubungan apa hujan sama wiridan ente…? ” kataku
balik Tanya. Mukanya lebih cemas dari yang tadi. Jujur… bukannya ga’ prihatin,
tapi dia kelihatan jadi oon.
Rasanya mau ketawa melihat
lagaknya yang super cemas. Si Ndeso memandangku serius. “ Ane lum cerita ke
ente ya ji…? ane tu wiridan di atas dak masjid…. soalnya ane piker disitu aman
ga’ ada gangguan. Lagian syaratnya mesti diluar ga’ boleh dalam ruangan !”,
“ Ente riyadhoh apaan sampe
wiridan di dak masjid…? ” tanyaku penasaran.
“ He..he..he.. ngamalin Asma
Sunge Raje dari Bang Begawan.”
Katanya cengengesan. Aku sudah
menyangka begitu tadinya. Ternyata feelingku benar. Tapi dengan lagak sok
perhatian, aku bilang padanya. “ Mau hujan badai sekalipun, kalo udah hampir
habis gini riyadhoh ente mesti di lanjut. Sayang kalo ente nyerah…! ” Ujarku
memberi semangat. Setelah berkata begitu, aku permisi ke aula. Wong Ndeso masih
tegak termangu saat ku tinggalkan.
Begitulah… terkadang niatan kita
tidak selaras dengan ketentuan yang sudah ditetapkan sejak masih di rahim
ibunda. Rezeqi, maut dan jodoh ada waktunya sendiri. Terkadang, memaksakan
sesuatu yang kita sendiri belum jelas kegunaannya malah akan berbalik menjadi
boomerang.
Bukan dikatakan berilmu apabila
tidak disertai ketaqwaan dan bukanlah dinamakan berakal bila tidak dihiasi adab
serta budi pekerti. Bagi seorang murid, maka kedudukannya adalah seperti mayat
di hadapan seorang guru.
Guru yang bijaksana mengetahui
hal ihwal sang murid. Kapasitas dan kesiapan seorang murid menerima ‘” cahaya
& ilmu “’ dari seorang guru di tentukan dengan kepatuhannya menjalankan
semua perintah sang Guru. Artinya seorang murid harus selalu siap dan waspada
dengan ‘” bisikan “’ yang datang ke hatinya.
Sikap yang baik adalah bertanya
dan meminta pendapat Sang Guru. Jika itu dilakukan maka, limpah-limpah cahaya
dan keberkahan akan mengiringi. Rasanya belum terlalu lama, saat aku
meninggalkan si Ndeso di kamar. Ketika semua santri berhamburan keluar.
Katanya ada santri yang jatuh
dari atas mesjid ! Walah… jangan – jangan…? Ternyata benar… sampai di depan
masjid, sudah banyak santri yang berkumpul. Dua orang anak tampak mengangkat
sosok yang ku kenali. Kondisinya mengenaskan. Pingsan…! mungkin juga ada
beberapa bagian tubuh yang memar dan terluka. Disamping masjid tergeletak
seonggok tangga yang patah.
Hmmm… ini penyebabnya….? pikirku.
Dari diagnose tabib pondok, Ki Condro - kondisi si wong ndeso tidak perlu
dikhawatirkan. Hanya pingsan karena terkena benturan saat jatuh. Tapi tidak
parah. Beberapa bagian tubuh memang terkilir. Mesti istirahat total….!
Lumayanlah, untuk seorang yang jatuh dari atas atap, paling tidak si Ndeso
termasuk beruntung.
Pagi sehabis dhuha…..
Santri Ndeso lagi sarapan bubur
saat aku membezuknya. Beberapa bagian tubuh tampak terbalut kain. Disana sini
masih membekas memar. Melihatku, dia jadi cengengesan. Aku mengambil alih
mangkok bubur dari santri medis, sambil menyuapinya, aku berkata pelan ,”
artinya batal dong ente pake gelar KI AGENG PAMUNGKAS JAGAT…? ” Yang ditanya
hanya nyengir. Sambil mengusap-usap kain pembalut lukanya, dia menjawab,” Masih
ada hari esok !” katanya singkat sambil memejamkan mata, pura-pura tidur. Aku
tertawa mendengarnya.
Demikianlah…. walaupun tampaknya
cuek, Wong Ndeso pasti menyadari kekeliruannya. Bahwa bagi seorang Murid tidak
sepantasnya beramal tanpa izin dari sang Guru. Semudah dan sesederhana apapun
bentuk suatu amaliyah, tetap diperlukan izin dan ridho dari Guru. Tanpa itu,
mungkin hanyalah suatu kesia-siaan.
Seorang santri wajib meyakini,
bahwa pertolongan seorang guru tidak terbatas hanya di dunia ini saja, tapi
akan berlanjut sampai ke akherat kelak. Gurulah yang membuka kebingungan dan
kegelapan hati si murid. Seperti kata si Ndeso…” masih ada hari esok untuk
Riyadhoh yang lain ! ” tentunya sekali ini dengan izin dan restu Abah Kyai,
Sang Guru Mulia… Semoga.
No comments:
Post a Comment