Jika Desember adalah bulannya Gus
Dur, maka Januari adalah bulannya NU. Berbicara tentang NU, tentunya tak mudah
dilepaskan dari tokoh utama pendiri Jam’iyyah ini, yakni Hadratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari, selain pula tentu saja tokoh-tokoh lain seperti KH. Wahab
Hasbullah dan KH. Bisri Syamsuri.
Sebagai seorang santri spiritual
dari KH. Asrori al-Ishaqi sekaligus santri intelektual Gus Dur, penulis
beryukur tatkala Jamaah Al Khidmah, sebuah organisasi majlis dzikir yang
didirikan oleh Kiai Asrori, menggelar Majlis Haul untuk mengenang Mbah Hasyim
Asya’ari di berbagai daerah. Digelarnya berbagai Majlis Haul itu semakin
memperkokoh adanya koneksitas ruh perjuangan antara santri-santri Jamaah
al-Khidmah dan Nahdlatul Ulama’.
Pada beberapa kesempatan, Kiai
Asrori secara terbuka pernah menunjukkan rasa penghormatannya yang mendalam
kepada Mbah Hasyim, terutama mengenai keistiqomahan dan ghirah perjuangan Mbah
Hasyim dalam menjaga ajaran Ahlus Sunnah wal-Jamaah an-Nahdliyyah di bumi
Nusantara.
Ketersambungan kedua tokoh
tersebut tidak datang secara mendadak. Apabila dirunut mundur ke belakang,
secara genealogis akan tampak beberapa titik perjumpaan. Kakek Guru dari Kiai
Asrori, yakni KH. Romli Tamim, adalah sahabat karib Mbah Hasyim di Jombang.
Mbah Romli terkenal dalam bidang kedalaman ilmu tasawufnya, sementara Mbah
Hasyim terkenal dalam hal kedalaman ilmu hadist dan ushul fiqihnya.
Suatu riwayat juga mengisahkan
kebertautan yang cukup erat antara Mbah Hasyim dan Ayah Guru Kiai Asrori, yakni
KH. Ustman al-Ishaqi, yang tak lain merupakan penerus kemursyidan dari Mbah
Romli. Dikisahkan, ketika Mbah Ustman bermukim di lereng Gunung sekitar Ngawi,
beliau bermimpi berjumpa dengan Mbah Hasyim. Dalam mimpi tersebut, Mbah Hasyim
berpamitan, “ Saya duluan, Ustman…”. Syahdan, keesokan harinya, Mbah Hasyim
wafat mendahului Mbah Ustman.
Dengan demikian, jika ditengok
sejarahnya, baik Ayah Guru maupun Kakek Guru dari Kiai Asrori adalah
tokoh-tokoh yang cukup dekat dan satu zaman dengan Mbah Hasyim. Maka, jelas
bukan mengada-ada apabila al-Khidmah menyelenggarakan Haul untuk Mbah Hasyim.
Pendiri NU itu bukan hanya dekat secara lahiriyah dengan kedua Guru Kiai
Asrori, tetapi, penulis yakin, juga cukup dekat secara ruhiyyah.
Gus Dur dan Kiai Asrori
Guru penulis, KH. Najib Zamzami
(Kediri), yang tak lain merupakan murid dari Kiai Asrori, suatu ketika
memberitahu penulis. Bahwa, menurut Kiai Asrori, ada perbedaan ranah perjuangan
antara dirinya dengan Gus Dur. Namun demikian, perlu segera ditambahkan,
pebedaan ranah perjuangan tersebut tidak berarti kemudian saling meniadakan.
Justru, pada praktiknya, terbukti saling melengkapi dan menyempurnakan.
Sebagai contoh, apabila
amaliyah-amaliyah NU seperti yasinan, tahlilan, manaqiban, maulidan, dikatakan
sebagai menu utama dari ruh perjuangan NU, maka apa yang dikerjakan oleh Kiai
Asrori adalah melakukan modernisasi dan profesionalisasi atas amaliyah-amaliyah
tersebut. Sebagai seorang Mursyid Thariqah, beliau cukup paham bagaimana mendesain
suatu majlis dzikir yang tidak hanya efektif dan efisien dari sisi waktu,
tetapi juga mempesona dari sisi bentuk, dan mudah dirasakan tuahnya oleh
pengamalnya.
Baik Kiai Asrori maupun Gus Dur
berkhidmah untuk sama-sama memperkuat basis kultural para pengikut Ahlus Sunnah
wal Jamaah an-Nahdliyyah. Kiai Asrori memperkuat bidang amaliyah-spiritual, Gus
Dur memperkuat dalam bidang keislaman dan keindonesiaan. Ringkasnya, Kiai
Asrori bergerak di ranah ruhiyyah sebagai pengokoh tradisi Ahlus Sunnah wal Jamaah
an-Nahdliyyah, sementara Gus Dur bergerak di ranah fikriyyah sebagai pengokoh
pemikiran NU dalam konteks keislaman dan keindonesiaan.
Kehadiran dan pandangan-pandangan
Gus Dur dan Kiai Asrori juga dibuktikan melalui berbagai karya tulis yang
mereka terbitkan. Gus Dur, sebagaimana kita tahu, adalah penulis lintas-topik,
mulai dari agama, politik, seni, budaya, film, dan sepakbola. Karya tulisnya
tak terhitung karena saking banyaknya. Ia dikenal sebagai sosiolog yang cerdas,
karena berhasil memperkenalkan kekayaan tradisi dan budaya Islam Indonesia
dalam berbagai tulisannya sehingga kemudian menjadi lokus perdebatan kaum
intelektual dan cendekia.
Begitu pula dengan Kiai Asrori.
Kedalaman ilmiahnya dalam bidang tasawuf tertuang di berbagai kitab berbahasa
Arab, seperti Al-Muntakhobat fi Rabithah al-Qalbiyah wa Shilat al-Ruhiyah (5
Jilid), Al-Nuqthah wa al-Baqiyah al-Shalihah wa al-‘Aqibah al-Khairah wa-al-
Khatimah al-Hasanah, Basya’ir al-Ikhwan fi Tabrid al-Muridin ‘an Hararat
al-Fitan wa Inqadzihim ‘an-Syabakat al-Hirman, dan kitab-kitab tasawuf lainnya.
Adapun dalam hal ushul fiqh tertuang dalam karyanya berjudul Ar-Risalah
Asy-Syafiyah fi Tarjamati Tsamrot Ar-Roudhot Asy-Syahiyah bi Lughot
al-Maduriyah.
Sudah banyak bukti bahwa tidak
semua pemikiran dan pergerakan yang diinisiasi oleh “kaum elite”, betapapun
benar, akan selalu cocok dengan kondisi sesungguhnya di masyarakat akar. Dua
tokoh ini, yakni Gus Dur dan Kiai Asrori, adalah tokoh pemimpin yang tidak
hanya konsisten dalam memperjuangkan apapun yang diyakininya, tetapi juga sejuk
dalam menyampaikan pemikiran-pemikirannya sehingga mudah diterima oleh orang
awam.
Berbagai terobosan yang mereka
munculkan melalui organisasinya, baik di NU maupun al-Khidmah misalnya, selalu
memikat dan mempesona umatnya, karena pendekatan yang mereka gunakan tumbuh
dari rasa cinta dan kasih sayang kepada umat—dan berdasarkan hal itulah
kemudian melahirkan kebijaksanaan yang mencerahkan. Pendekatan kultural,
menggunakan bahasa umat, membiarkan segalanya berjalan secara alamiah, dan
sesekali diselingi humor-humor segar, adalah karakter khas dari pendekatan
mereka dalam memahami, mendidik, dan mewarnai umat.
Dengan mengambil pejalaran dari
kedua tokoh tersebut, tampak jelas bahwa sesungguhnya tidak ada dinding pemisah
antara tradisi berilmiah dan tradisi beramaliyah, antara teori dan praktik,
karena keduanya ternyata dapat dijalankan secara berkesinambungan. Justru
produktivitas karya ilmiah pada mereka tumbuh subur seiring perjuangan mereka
dalam berkhidmah secara konkret di tengah-tengah umat.
Tradisi amaliyah yang menjadi
ruhul jihad warga NU berguna sebagai tazkiyah al-nafs, pembersih diri dari
anasir-anasir kekejian nafsu, yang dari situ diharapkan mampu menjadi sumber
energi untuk dapat berpikir jernih; menggerakkan hati, pikiran dan tangan untuk
menulis karya-karya yang bermutu tinggi dan mampu menghantarkan mereka menuju
keridhoan-Nya.
Pada akhirnya kita tahu bahwa Gus
Dur dan Kiai Asrori adalah dua tokoh yang sudah selesai terhadap dirinya.
Seluruh hidupnya dihabiskan untuk berkhidmah kepada umat, mendidik umat, dan
menggerakkan umat, sehingga umat semakin peka terhadap berbagai realitas
persoalan yang tumbuh di tengah-tengah diri mereka sendiri, baik dari sisi
lahir maupun batin.
Biarpun saat ini tak banyak tokoh
agama seperti mereka, tetapi kita tidak boleh larut dalam suasana pesimisme.
Kita harus terus optimis sebab, pelan-pelan, kita sadar, santri-santri mereka
terus lahir, meneruskan apa yang sudah mereka perjuangkan. Untuk bangsa
Indonesia....
No comments:
Post a Comment