BAHAN RENUNGAN ORANG TUA DAN
SISWA SISWI
Perkenalkan, aku Tukinem. Lulusan
terbaik Universitas Negeri di Sumatera
Kapan aku duduk di bangku SD…?
Pada masa teknologi masih Radio dengan antena, dan Televisi masih hitam putih dikeroyok
semut.
Aku korban kekerasan guru sejak
kelas tiga SD. Masih segar di ingatan, wali kelasku, Pak Jono berteriak marah,
“ hey, kamu…! Maju ke depan kelas…! ” Dengan wajah menantang aku berdiri,
menghampiri beliau.
“ Selesaikan soal ini…! ” Lelaki
empat puluh tahun itu memukul papan tulis dengan penggaris kayu. “ Salah
sedikit saja, habis kamu….! ” Aku dengan yakin mengerjakan soal matematika yang
ia berikan.
“ Sudah, Pak….” Aku berseru
dengan sombong. Yakin kalau jawabanku pasti benar.
Tapi ….
Plak …! Penggaris dengan panjang
satu meter itu mendarat di tubuh bagian belakangku. “ Kamu perempuan, tapi
bengal minta ampun…! Duduk…! ” Aku kembali ke kursi sambil mengusap bagian yang
sakit.
Di lain kesempatan, saat aku
kelas lima, aku di panggil wali kelas dua, guru wanita yang terkenal killer,
kejam dan suka menghukum. Namanya Bu Ijah, matanya menakutkan, selalu membawa
rotan di tangannya.
“ Tukinem, kamu tadi memukul
siswa kelas dua. Betul…? ” Aku biasanya selalu berani menghadapi guru, tapi
hari itu, aku tertunduk takut. “ Jawab…! ” Wanita itu berteriak sambil memukul
meja.
Aku benar-benar mati gaya waktu
itu. Darah premanku menghilang. Padahal aku sudah sering dipanggil guru, tapi
selalu selamat dari guru satu ini. Tapi kali ini, sepertinya adalah hari
sialku.
“ Kemari…! ” Tanganku di tarik
mendekat, “ buka telapak tanganmu…! ” Aku menuruti, dan tiga puluh pukulan
mendarat di telapak tangan kecilku. Menangis…? Ya, aku menangis, tentu saja,
kalian boleh mencobanya, kalau tidak percaya, rasanya sakit…!
“ Aku akan laporkan pada ayahku…! ” Aku menangis dan berteriak, mengambil tas di kelas dan berlari
pulang.
Tiba di rumah, aku menceritakan
semuanya dengan jujur. Apa tanggapan ayahku….? Dia menggandeng tanganku, dan
kembali ke sekolah. Aku tersenyum penuh kemenangan.
“ Rasakan ….” kataku dalam hati.
Tapi … tiba di sekolah, Ayah
menghampiri Bu Ijah, dan berkata, “ hukum dia lebih keras lagi, Bu, karena dia
tidak sadar apa kesalahannya...” Ayah meraih penggaris dan memukul tanganku
berulang kali. Dan Bu Ijah menghentikan tindakan Ayah. “ Di sekolah, hanya kami yang boleh
menghukum. Bapak boleh pulang…! ” tegas Bu Ijah.
Setelah Ayah pulang, Bu Ijah
membawaku ke lapangan. Mengumpulkan semua siswa.
“ Dengar semuanya….! Mulai hari
ini, Ibu tidak mau ada yang berteman dengan Tukinem… kalau ada yang berteman,
akan Ibu hukum…! Faham…? ” Tatapan Bu Ijah beralih padaku, “ dan kamu, kalau
masih bersikap seperti ini. Ibu akan keluarkan kamu dari sekolah….! ” Kemudian
beliau berlalu begitu saja.
Terhitung sejak hari itu, aku
tidak memiliki satu orang teman pun. Semua teman menjauh setiap kali aku
mendekat.
Aku sudah kelas lima menuju kelas
enam waktu itu, usiaku bukan balita lagi. Aku sudah remaja, seharusnya sikapku
tak seburuk itu.
Sampai pada puncak yang membuat
aku terpukul lebih keras dari pukulan Bu Ijah, sore itu sepulang sekolah aku di
panggil kepala sekolah. Saat aku masuk, ada Bu Ijah di sana.
“ Tukinem…. nilai kamu sejak
kelas satu tidak buruk. Kelas satu sampai kelas dua, kamu selalu juara umum. Apa
kamu tidak bertanya-tanya, kenapa di kelas tiga sampai kelas lima kamu
tidak juara….? ” Kepala sekolah ku bernama Pak Paijo, orangnya sangat lembut.
Berbicara dengan penuh kasih sayang, “ nilai kamu masih tinggi. Bahkan lebih
tinggi dari peraih juara umum kita. Tapi perilaku kamu ini, yang membuat nilai
angka rapormu tidak ada gunanya….”
Aku tertunduk, Bu Ijah mengusap
kepalaku. “ Kemari, dengarkan Ibu…” Jujur baru sekali itu aku melihat Bu Ijah
selembut kapas berbicara padaku.
“ Kamu tahu, Nem…? Apa yang
paling berguna…? Bukan angka-angka di rapor itu. Melainkan … ini. ” Tangan
beliau menyentuh dadaku. Aku sudah remaja waktu itu, dan sudah sangat memahami
maksud beliau. Bagaimana rasanya….? Malu…! Ingin menangis, tapi tidak bisa.
Jadinya….? Sesak di dada….!
“ Begini, apa Inem mau berubah….?
Karena kalau Inem seperti ini terus, sekolah tidak akan meluluskan….” Aku
melihat ke arah Bu Ijah, aku tahu beliau serius.
“ Mau berubah….? ” Bisik beliau
pelan. Aku mengangguk. Pelan.
“ Inem janji, Inem berubah, Bu.
Inem janji gak nakal lagi….! ”
======
Sejak hari itu, aku adalah Tukinem
yang baru. Aku terlahir menjadi pribadi yang berbeda. Dan benar saja, saat
kelas enam, aku kembali meraih juara umum.
Aku lulus tes dengan nilai
terbaik di SMP favorit. Juga masuk dan lulus SMA dengan nilai yang masih sangat
memukau, hingga aku berhasil meraih beasiswa sampai menyelesaikan S1.
Ketika lulis SMA, aku berkunjung
kerumah Bu Ijah, menanyakan satu hal yang dulu tidak berani aku tanyakan.
“ Kenapa di rapor, meski aku
tidak juara, nilaiku masih di tulis dengan jujur…? ”
Beliau menjawab, “ karena itu
nilai kamu. Kami tidak berhak mempermainkannya….”
Bertanya-tanya apa saja
kenakalanku….? Banyak teman-teman. Aku memukul adik dan kakak kelas, padahal
mereka tidak sengaja menginjak kakiku waktu antri beli makan di kantin. Aku
membuang buku PR teman sekelas yang sering mengangguku, terlebih aku ini
perempuan. Dan masih banyak lagi kenakalanku yang lain, sejak kapan….? Sejak
aku kelas tiga. Luar biasa bukan….? Ya, aku anak nakal yang selalu di pukul
oleh guru, nyaris setiap hari.
Akulah Tukinem, korban kekerasan
guru, yang berhasil meraih gelar sarjana dengan masa kuliah tiga tahun.
Akulah Tukinem, korban kekerasan
guru, yang setiap hari memiliki luka di bagian jari.
Apakah kedua orang tuaku melaporkan mereka….? Ooh tidak…! Orang
tuaku tahu, bagaimana sifat dan sikapku. Itulah kenapa mereka akan tambah
memarahiku, setiap kali aku terkena hukuman.
Akulah Tukinem, korban kekerasan
guru, yang sangat berterimakasih pada rotan dan penggaris kayu itu.
Namaku, Tukinem. Aku bahagia guruku
pernah memukul saat aku nakal.
Terimakasih, Bu Ijah, rotan itu
bukan hanya melukai tanganku. Tapi juga berhasil memukul keras batu yang ada di
hatiku.
Beliau selalu memanggilku “ Nem ”
kalau aku sedang tidak bermasalah. Tapi saat aku berbuat salah, beliau akan
menyebut namaku “ Tuminem ! ” Dengan sangat keras.
Aku memakai nama ‘ Inem ’ karena
aku berterimakasih pada beliau.
=========
Bu, Pak, tahukah anda….?
Hanya anda yang tahu karakter
anak-anak anda. Bagaimana bisa anda lepaskan tanggung jawab kepada gurunya di
sekolah….? Tapi anda menahan hak didik bagi mereka atas anak anda.
Bu, Pak, pikirkanlah, apakah mungkin seorang guru tiba-tiba
memukul siswanya tanpa kesalahan….?
Bu, Pak, mereka menggunakan
tangan untuk menjewer. Tapi mereka menghabiskan setengah hidupnya untuk
keberhasilan anak anda.
Saat anak anda menjadi dokter, anda berkata dengan bangga, “ ini
anakku, menjadi dokter karena kerja kerasku…! ”
Bu, Pak, pernahkah saat anak anda pintar membaca, lantas anda
berterimakasih, pada gurunya….?
Saat anak anda pandai menghitung,
pernahkah berpikir untuk mendoakan gurunya…?
Bu, Pak, kalian mengirim mereka ke sekolah, karena kalian tahu,
mereka butuh seorang guru. Lantas, mengapa saat anak anda mendapat secuil
cubitan, jeweran, lantas anda melaporkan gurunya ke polisi….? Memenjarakan
gurunya begitu saja.
Bu, Pak, anda tahu karakter anak anda. Pikirkanlah kenapa mereka di
jewer, di cubit. Karena gurunya menyayangi mereka, memperlakukan mereka seperti
anak sendiri.
Bu, Pak, aku bukan guru, tapi aku
adalah korban kekerasan guru, dan aku bangga guruku bersikap keras terhadapku.
Karena kalau tidak, maka aku tidak akan seperti sekarang.
Bu, Pak, tidak perlu membawa bingkisan untuk gurunya. Cukup
hargai mereka, tundukkan kepala dan ingat bagaimana peranannya untuk masa depan
putra dan putri anda.
Mereka guru, dengan tulus
mendidik, tapi di rumah, anda memberi anak-anak dengan gadget, dan tontonan
televisi yang tak bermoral. Lalu, anda menyalahkan guru ketika anak anda
berperangai buruk.
Kilau emas yang anda pakai itu,
adalah hasil kerja keras penambang yang digaji tak seberapa.
Begitulah kerasnya kerja seorang
pembentuk, seperti guru.
Love For Teacher
Saat ini pemahaman terhadap HAM
bagi sebagian orang tua siswa dan umumnya rakyat Indonesia mengalami
pendangkalan akibat dari masuknya paham paham yang tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa dan rakyat Indonesia diantaranya liberalisme, sekularisme
dengan jalan politisasi di segala bidang oleh para pelaku politik yang
sebenarnya tidak paham dengan kondisi kultural rakyat dan bangsa Indonesia.
Coba bayangkan ketika guru
dipaksa untuk menjaga hak anak anak dalam belajar tapi anak anak tidak
dipahamkan oleh orang tua bahwa guru juga memiliki hak dalam mengajar di
sekolah, anak anak punya hak untuk mendengarkan tapi ingat guru juga lebih
memiliki hak untuk didengarkan. Inti persoalan ialah guru dipaksa menunaikan
kewajiban dan mengorbankan haknya sementara siswa dan orang tua mereka
dipahamkan untuk mendapatkan haknya dan melupakan kewajibannya. Tolong
kembalikan lagi MAPEL Pendidikan Moral Pancasila dan Pendidikan Sejarah
Perjuangan Bangsa agar siswa dan orang tua mereka bisa lebih memiliki pemahaman
HAM yang sesuai dengan kultur bangsanya sendiri.
Saya juga korban kekerasan guru.
Kalau aku ngadu pada orang tua ku, selalu dibilang kalau kamu ga’ salah tak akan guru marah. Zaman
aku sekolah tahun 90 an luar biasa.
Silahkan share sebanyak”nya jika
dirasa manfaat