Ngaji Gus Baha'
Menurut Gus Baha, realitas sosial
yang terjadi di Indonesia, kondisi “ kubu sebelah ” itu suka sekali mencatut
status Allah sebagai Dzat yang yu’adzdzib dan tidak pernah distatuskan yaghfir.
Bagaimana Allah tidak tersinggung jika status yaghfir-nya dihilangkan. Gus Baha
menyindirnya sebagai berikut :
“ Fenomena ini, disikapi oleh
Allah kira-kira seperti ini, “ Saya ini bisa yu’adzdzib dan bisa yaghfir, lalu
kenapa statusku hanya tersisa yu’adzdzib. Mereka ini ngaji dimana, khatam apa
tidak…? Kebanyakan orang ekstrim mensifati Allah hanya dengan status
yu’adzdzib, sehingga ruang untuk menghujat dan bertindak jahat selalu terbuka
lebar ”.
Gus Baha melanjutkan, bahwa
Rasulullah itu, sebagai manusia, tentu juga punya rasa benci, sebagaimana rasa
benci pada Wahsyi karena telah membunuh Hamzah pada agresi Uhud. Akan tetapi,
Allah merespon fenomena kebencian ini dengan menurunkan QS. Ali Imran : 128
yang terdapat dua pilihan redaksi, yaitu mengampuni ( yatuba ) dan menyiksa ( yu’adzdziba
). Ajaibnya, kasus Wahsyi tersebut akhirnya diampuni dosanya oleh Allah.
Karena itu, demi mengurangi
gerakan ekstrimis, Gus Baha menawarkan agar para ulama tidak boleh selalu
menggunakan fiqih yang berorientasi al-tafriq bain al-haq wa al-batil. Tugas
para ulama, semestinya juga harus mengintegrasikan ilmu fiqih dengan tasawuf,
terutama dalam bab tawadlu’. Sebab, paradigma integrasi fiqih dan tasawuf akan
melahirkan pemahaman yang humanis, sehingga dapat mengurangi ekstrimisme.
Model pemahaman integrasi dengan
menggunakan ajaran introspeksi dan tawadlu’ konsep tasawuf, menurut Gus Baha,
penting dilanjutkan dalam rangka menghalau ego ekstrimisme agama, sehingga
kehadiran agama tidak berwajah menyeramkan. Gus Baha mengakhiri ceramahnya,
sebagai berikut :
“ Ini penting saya kemukakan.
Mbok yo, orang-orang esktrim ya mikir, keinginan Rasulullah itu agar ummatnya
mati dalam keadan muslim, bukan mati kafir. ”
No comments:
Post a Comment