Terkait Khilafah, Habib Umar bin
Hafidz menjelaskan secara panjang yang Insya Allah mampu mengobati dahaga kaum
Muslimin yang ingin mengetahui tentang Khilafah, apa yang terpenting bagi umat
Islam dan bagaimana sikap umat Islam…?.
Berikut penjelasannya :
Tentang khilafah, kerancuan pada
dua hal yang amat penting. Pertama, penyempitan makna khilafah, yang hanya pada
pelaksanaan hukum Islam melalui kekuasaan. Yang kedua, pandangan atas wajibnya
menegakkan khilafah ketika sudah ada pemerintahan di tengah-tengah umat.
Mengenai yang pertama, perlu
ditegaskan bahwa kata “khilafah” bila dikaitkan dengan agama dan syariat,
maknanya tak hanya terbatas pada konteks kekuasaan dengan segala penerapan
hukum-hukum publik, sebagaimana makna khilafah secara etimologis yang memang
jauh lebih luas.
Al Qur’an menggunakan kata ini,
bahkan untuk orang yang berbuat buruk, orang yang menyimpang dari jalan yang
benar, juga generasi yang datang setelah para nabi dan rasul, seperti pada
ayat,
فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيّاً
“ Maka datanglah sesudah mereka,
pengganti ( yang jelek ) yang menyia-nyiakan shalat dan mengikuti hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. ” ( QS. 19 : 59 ).
Jadi, mereka adalah generasi
pengganti yang tinggal di tempat orang-orang sebelumnya, namun mereka tidak
mengikuti prinsip dan perilaku generasi sebelumnya. Sehingga, makna khilafah
adalah pergantian seseorang terhadap orang lain dalam konteks apapun.
Mengenai kaitan khilafah dengan
urusan agama, juga perlu dipahami bahwa khilafah yang diagungkan dan dinyatakan
Allah sebagai keistimewaan khusus Nabi Adam dan anak-cucunya, dalam firman-Nya,
إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأَرْضِ خَلِيفَةً
“ Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi. ” ( QS. 2 : 30 ), adalah khilafah
ruhaniah, keagamaan, dan ketuhanan, bukan sebatas otoritas politik yang
mengatur urusan-urusan lahiriah.
Khilafah tersebut terkait erat
dengan tugas mengemban amanah sesuai kapasitas dan kemampuan seseorang, dalam
konteks menegakkan kebenaran, yaitu syari’at yang telah ditetapkan Allah pada
makhluk-Nya. Inilah khilafah yang disinggung dalam Al-Qur’an, ketika meletakkan
nenek moyang kita, Nabi Adam AS ke bumi,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى
“Maka jika datang kepadamu
petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, ia tak akan tersesat
dan tidak akan celaka.”(QS.20 : 123).
Mengamalkan tuntutan Allah,
melaksanakan perintah, dan menghindari larangan-Nya, itulah arti khilafah yang
telah ditugaskan Allah kepada Nabi Adam. Nabi Adam turun padahal di bumi belum
ada bangsa apapun yang bisa menjadi obyek kekuasaan. Ia hanya disertai Ibu
Hawa. Lalu, mulai lahirlah putra-putra dari keluarga Adam. Ia menjalani posisinya
sebagai orang pertama yang memegang khilafah sebelum adanya bentuk pemerintahan
dan kekuasaan publik. Sejarah terus berlangsung dalam wilayah keluarga itu,
yaitu Adam dan putra-putranya. Merekalah yang menghuni bumi.
Lalu keturunannya mulai banyak. Nabi
Syits, putra AdamAS, menggantikannya memegang tampuk khilafah. Ia menerima
kenabian dan amanat untuk melaksanakan ikrar manusia kepada Allah.
Khilafah merupakan tugas
masing-masing diri kita. Tak ada alasan bagi siapapun untuk menganggap remeh
hal ini, hingga melalaikan dan meninggalkannya lantaran ketiadaan simbol-simbol
fisik khilafah ( kekuasaan ).
“ Melepas Khilafah ”
Jika dikaitkan dengan salah satu
jenis kekhilafahan agung Nabi Muhammad SAW, khilafah adalah terwujudnya
penerapan hukum secara umum, karena kekuasaan dipegang oleh orang-orang jujur,
lurus, dan mendapat petunjuk. Beliau kabarkan, khilafah ini hanya berlangsung
30 tahun terhitung sejak beliau wafat. Ini salah satu mukjizat yang menunjukkan
kebenaran beliau sebagai Nabi.
Rasulullah SAW menyebut batas
waktu. Tatkala masa 30 tahun itu telah usai dan khilafah semacam ini telah
hilang, beliau tidak memberi perintah, “ Memberontaklah kepada para penguasa,
perbaiki berbagai masalah, berjuanglah untuk mengganti mereka dengan
orang-orang yang mirip dengan masa 30 tahun itu..! ” Rasulullah SAW tidak
memerintahkan itu. Bahkan, meski dalam haditsnya beliau memberi isyarat bahwa
cengkeraman kerajaan akan berlangsung lama. Dalam sebagian riwayat, beliau
menyebutnya adhudh ( kekuasaan yang suka menggigit ).
Dalam kitab Musnad-nya Imam
Ahmad, juga dalam Al-Mustadrak ‘ala Ash-Shahihaiankarya Al-Hakim, disebutkan,
Rasulullah SAW bersabda, “Khilafah sepeninggalku 30 tahun, kemudian menjadi
kerajaan.” (HR.Ahmad)
Mari kita cermati sabda beliau
yang menyebutkan secara jelas periode khilafah ini. Ternyata, sahabat Ali KWH
dibunuh pada bulan Ramadhan, sementara Rasulullah SAW wafat pada bulan Rabi’ul
Awwal. Untuk sampai 30 tahun, masih ada jeda enam bulan. Masa enam bulan inilah
masa kepemimpinan Sayyidina Al-Hasan bin ‘Ali RA, cucunda Nabi, hingga ia
mundur dari khilafah pada bulan Rabi’ul Awwal, persis di akhir masa 30 tahun
sebagaimana disebutkan Rasulullah SAW. Lagi-lagi ini merupakan salah satu tanda
kenabian, mukjizat agung Rasulullah Muhammad SAW, sekaligus pemberitahuan
beliau mengenai hal-hal rahasia (ghaib) yang beliau dapat dari Allah SWT.
Di Al-Mustadrak juga ada riwayat
yang dinyatakan shahih oleh Adz-Dzahabi : Setelah Al-Hasan mundur sebagai
khalifah, ada orang berkata kepadanya, “Orang-orang berkata bahwa Anda
menginginkan khilafah.”
Al-Hasan menoleh kepada orang
itu. Ia berkata, “Aku meninggalkan jabatan khalifah pada saat orang-orang kuat
berada di tanganku. Mereka mengikuti perintahku, siap memerangi orang yang aku
perangi dan berdamai dengan orang yang berdamai denganku. (Aku meninggalkan
khilafah) karena untuk mencari ridha Tuhanku dan menghindarkan pertumpahan
darah sesama muslimin. Lalu, apakah aku akan berupaya mendapatkan khilafah
dengan keputus-asaan orang-orang Hijaz. Pergilah, aku tidak menginginkan
khilafah itu.” Kisah ini memiliki sanad riwayat yang shahih melalui mata rantai
para perawi yang dipercaya oleh Al-Bukhari dan Muslim.
Dalam kisah ini terdapat sebuah
penjelasan bahwa mundur dari khalifah pada saat terjadinya perpecahan adalah
khalifah sejati. Khalifah hakiki yang diajarkan Nabi ini bersemayam dengan
sempurna dalam diri Al-Hasan bin ‘Ali. Dengan menyerahkan kekuasaan lahiriah,
tidak berarti warisan Nabi menjadi berkurang pada dirinya, tidak berarti ada
kekurangan pada posisinya sebagai pengganti kakeknya, Muhammad SAW. Justru
dengan demikian, Al-Hasan menampakkan ciri khas yang paling agung dari
kekhilafahan Rasulullah SAW, yaitu dalam wilayah ilmu, taqwa, pekerti, belas
kasih, dan perhatian terhadap umat.
Karena itu, sangatlah layak apa
yang disabdakan Rasulullah SAW mengenai Sayyidina Hasan, “Sungguh anakku
(cucuku) ini adalah seorang pemimpin. Allah akan mendamaikan dua kubu besar
kaum muslimin dengan perantaranya.” (HR.Bukhari)
Pandangan Nabawiyyah
Dalam hadits tadi dijelaskan
bahwa Nabi mengabarkan, “Masa setelah itu kekuasaan berada di tangan para
penguasa yang berbuat hal-hal yang kalian (para sahabat) ingkari. Kalian
melihat mereka tidak teguh dalam mengikuti ajaran Islam.”
Mereka (para sahabat) bertanya,
“Apa yang engkau (ya Rasulullah) perintahkan kepada kami? Haruskah kami membuat
kekhalifahan baru, pemerintahan lain, dan berjuang untuk menyingkirkan mereka…?
”
Nabi SAW bersabda, “ Kalian harus
patuh dan taat ( kepada pemimpin kalian).” ( HR. Bukhari dan Ahmad )
Siapa yang menegaskan hal ini….?
Ini bukan gagasan
kelompok-kelompok tertentu dalam Islam. Ini adalah arahan dari pemegang
kenabian dan kerasulan, seorang yang menerima wahyu dari Allah SWT.
Lalu, sampai kapan kami harus
patuh pada pemimpin?
“Sampai yang menjadi pemimpin
kalian adalah orang yang jelas-jelas kafir, sudah tidak mungkin ditakwil bahwa
dia adalah seorang muslim. Atau, orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya,
mengingkari ajaran-ajaran pokok agama yang sudah pasti. Ia secara terang-terangan
memusuhi agama dan melanggarnya.”
Dalam sebuah hadits disebutkan,
“Hingga kalian melihat kekufuran yang sangat jelas.” (HR.Bukhari, Muslim,
Ahmad, dan Baihaqi). Dalam riwayat yang lain, “Selagi mereka masih menegakkan
shalat di tengah-tengah kalian.” (HR.Muslim, Ad-Darimi, dan Baihaqi). Pada
riwayat lainnya, “Berikanlah kepada mereka apa yang menjadi hak mereka.
Mintalah kepada Allah apa yang menjadi hak kalian (karena mereka sudah tidak
berlaku adil kepada kalian dan tidak memberikan hak-hak kalian)”. (HR.Bukhari,
Muslim, Ahmad, Tirmidzi)
Batasan-batasan itulah yang
Rasulullah sampaikan kepada kita.
Memahami Realitas yang Berbeda
Dalam sebuah hadits, Rasulullah
SAW berdo’a, “Ya Allah, curahkanlah rahmat kepada para khalifah / penggantiku. ”
Ketika beliau ditanya, siapa para
khalifah itu, beliau tidak menggunakan pengertian khilafah seperti saat beliau
bersabda “Khilafah setelahku berlangsung selama 30 tahun”, tapi beliau
menggunakan pengertian lain tentang khilafah, yaitu khilafah keagamaan. Beliau bersabda,
“Orang-orang yang hidup sepeninggalku, mereka meriwayatkan hadits-haditku dan
mengajarkannya kepada manusia.”
Beliau menyatakan,orang-orang
yang memiliki perhatian tinggi terhadap sunnah beliau dan mengajarkannya kepada
orang lain adalah para khalifah para penerus beliau.
Hal itu diperkuat oleh hadits
tentang ulama yang menjadi pewaris para nabi. Juga, sebagaimana disebutkan
dalam kitab-kitab tafsir bahwa isi dari lafal Ulul Amri yang disebutkan di
sebagian ayat adalah para ulama, orang-orang yang dianugerahi ilmu syari’at dan
menjadi pemikul amanat ilmu syari’at tersebut. Misalnya, ayat,
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ
“…dan kalau mereka menyerahkannya
kepada rasul dan ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya (akan dapat)mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil
amri).” (QS. 4 : 83). Menurut pendapatpara mufassir, yang dimaksud ulil-amri
disini adalah ulama. Sebagaimana jugadalam firman Allah,
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
“…taatilah Allah dan taatilah
Rasul, dan Ulil-amridiantara kalian.” (QS.4 : 59)
Sementara, mengenai kekuasaan
lahiriah, hukumnya dalam syari’at adalah , “Bila mereka memerintah dengan baik,
jadi baik bagi mereka dan bagi kalian. Jika mereka memerintah dengan buruk,
jadi baik bagi kalian dan jadi buruk bagi mereka.” (HR.Thabrani)
Jadi, dari sunnah Rasulullah SAW,
kita bisa melakukan pemilahan terhadap dua sikap. Pertama, meninggalkan
khilafah untuk menjaga kemaslahatan kaum muslimin karena memperhatikan kondisi
nyata mereka. Kedua, menolak untuk meninggalkan jabatan khalifah hanya karena
tuntutan dari orang-orang bodoh atau menyerahkannya kepada orang yang tidak
layak, dengan catatan hal itu tidak menimbulkan kekacauan. Yang kedua inilah
yang disabdakan Rasulullah SAW kepada Sayyidina Utsman.
Perhatikanlah, Rasulullah SAW
memuji cucunya, Al-Hasan, karena rela melepas kekhilafahan lahiriah demi
kebaikan kaum muslimin. Di sisi lain, beliau bersabda kepada Sayyidina Utsman
RA, “Mereka hendak melepas baju yang dipakaian Allah kepadamu. Jangan turuti
mereka hingga engkau menyusulku.” (HR.Thabrani)
Ada beberapa orang yang datang
kepada Utsman RA, memintanya untuk mundur dari khalifah. Ternyata, mereka bukan
orang yang layak untuk menggantikan beliau. Sementara itu, kekacauan bukan
ditimbulkan karena sikap Utsman RA mempertahankan khalifah. Kekacauan justru
timbul jika orang-orang seperti mereka menerima khalifah. Mereka akan
mempermainkannya.
Latar belakang dan realitasnya
berbeda. Maka, dalam kondisi seperti itu, Rasulullah memberikan arahan kepada
Utsman RA agar tidak menuruti kemauan mereka hingga akhirnya mereka
membunuhnya. Ia mati syahid di jalan Allah sebagai orang yang berdakwah. Ia
terbunuh dalam keadaan membaca Al Qur-an dan tetesan darahnya yang pertama
mengenai ayat
فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللّهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka Allah akan menjaga engkau
dari mereka, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS.2 :
137). Sementara do’a terakhir yang terdengar dari lisannya adalah, “Ya Allah,
persatukan umat Muhammad. Ya Allah, persatukanlah umat Muhammad.” Kisah ini dituturkan
Al-Ghazali dalam Al-Ihya’ 4/479).
Beberapa orang sahabat dan
tabi’in, bila teringat kejadian ini, berkata, “Utsman, semoga Allah
merahmatimu. Dalam kondisi genting, perhatianmu masih tertuju pada umat
Muhammad. Seandainya engkau berdoa agar mereka tidak bersatu, niscaya mereka
tak akan pernah bersatu selamanya.”
Ternyata, didetik-detik ancaman
mati dan pembunuhan, yang ada dalam pikirannya adalah umat. Ia memohon kepada
Allah agar mempersatukan umat sepeninggalnya. Ia berdoa “Ya Allah, persatukan
umat Muhammad” sampai dua kali. Itu sebabnya, jangan sampai urusan kekuasaan
menjadi kekacauan atau mempermainkan agama.
Khilafah bagi setiap Muslim
Kita juga tidak bisa sekadar
melaksanakan fungsi khalifah hanya yang terkait pada diri kita saja. Setiap kita
memiliki amanat menjadi penerus atau khalifah, dalam mata, telinga, lidah,
kelamin, perut, tangan, kaki, dan hatinya. Maka, laksanakanlah kewajiban
khalifah dari Rasulullah. Semua ini adalah hal yang harus engkau pelihara.
Engkau pemimpin semua ini, semua urusan-urusannya diserahkan kepadamu. Maka,
jadilah penerus yang baik dari Rasulullah dalam memelihara anggota tubuhmu agar
selalu mematuhi syari’at dan menerapkan hukum Allah.
Di wilayah lain, engkau memiliki
kekuasaan dalam hal-hal yang terkait dengan urusan keluarga, teman, dan
tetangga. Juga, dalam hal yang terkait dengan orang yang mendengarkan nasihat
darimu, menerima saran dan arahanmu, baik orang dekatmu atau bukan. Laksanakan
kewajiban khilafah dalam semua itu.
Menegakkan syariat, dalam bentuk
apapun, merupakan khilafah dari Allah dan Rasul-Nya, dalam arti yang umum.
Sedangkan khilafah dalam arti khusus adalah khilafah yang dalam hadits
Rasulullah SAW, yang dinyatakan berlangsung selama 30 tahun setelah wafatnya
beliau. Setelah itu, kerajaan yang menggigit. Setelah itu, kekuasaan yang
diktator. Inilah yang terjadi pada mayoritas penguasa saat itu. Lalu pada
akhirnya khilafah kembali seperti ajaran Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan
terjadi, dan telah diberitakan Rasulullah SAW.
Kabar tentang khilafah ini jangan
dipertentangkan dengan perintah-perintah Rasulullah terhadap umatnya: bagaimana
mengatur, apa yang harus dilakukan, bagaimana seharusnya menghadapi berbagai
persoalan yang terjadi, menghadapi para penguasa, menghadapi rakyat, dan bagaimana
bersikap terhadap pihak-pihak yang memiliki hubungan dekat ataupun jauh.
Betapapun, jika misalnya ada
kesempatan bagi seseorang untuk membela agama Allah, dalam bentuk apapun, dan
dalam sisi kehidupan apapun, ia memiliki tanggung jawab besar untuk melaksanakan
kewajiban itu, namun apa yang ia lakukan itu ternyata menimbulkan efek negatif
yang lebih besar atau membawa badai besar di tengah-tengah kaum muslimin,
tinggalkan dan jauhi hal itu. Sebab, untuk bisa lebih mempersatukan umat Islam
diperlukan langkah-langkah yang lebih lembut dan berdasarkan kasih sayang
terhadap umat.
Inilah teladan yang diberikan
oleh Rasulullah SAW. Ini pula yang dijalani oleh para pendahulu umatini.
Insan-insan Khalifah Terbaik
Al-Hasan menginginkan perdamaian
umat. Ia juga rindu bertemu kakeknya, Rasulullah SAW. Maka, tidak ada yang
perlu ia cari dengan menggunakan kekuasaan dunia, atau dengan tetap hidup di
dunia. Hari-hari berlalu, dan ia tahu bahwa ia diracun, yang mengantarkannya
pada kesyahidan.
Khilafah ideal berlalu saat
Al-Hasan menyerahkan kekuasaan kepada Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia meninggalkan
khilafah lahiriah ini hingga wafat. Ia memilih menjadi khalifah Rasulullah SAW dalam menyampaikan
kebenaran, memberikan bimbingan, mengajar, memberi petunjuk, berbudi pekerti
luhur, bersikap belas kasih dan sifat-sifat mulia lain yang telah dilekatkan
oleh Allah dalam dirinya. Inilah buah dari didikan Rasulullah, Muhammad SAW.
Kalau kita bercermin pada yang
dilakukan adiknya, Al-Husain, setelah itu, mungkin akan ada yang bertanya :
Bagaimana bisa Al-Husain keluar (dari Makkah) untuk memenuhi permintaan
penduduk Irak ( menghadapi “Khalifah” Yazid )…?
Beberapa hal yang harus dipahami
mengenai keberangkatannya ke Irak. Diantaranya adalah, pertama, adanya surat
ajakan yang dikirim penduduk Irak dan itu peluang untuk mendirikan sebuah
pemerintahan yang sesuai dengan syari’at. Ternyata mereka menipunya, tidak
mempercayainya, mengkhianatinya, dan meninggalkannya. Namun, ia rela.
Kedua, ia sudah memperkirakan
pengkhianatan ini. Namun, mati syahid tampak di depan mata. Sepeninggal
kakaknya, Al-Hasan, giliran ia yang menyimpan rindu bertemu kakeknya.
Al-Husain membuat keputusan tegas
demi kebaikan umat. Juga, agar mereka tahu bahwa ia tak mau tertipu kekuasaan
lahiriah, namun juga tak ingin melampaui batas dalam memahami wajibnya patuh
kepada penguasa. Ia ingin mengajari umat agar tidak memiliki dugaan keliru
bahwa jika kita sudah diperintah untuk patuh kepada penguasa, kendatipun kita
tahu bahwa mereka tidak baik, berarti kita harus meyakini bahwa para penguasa
itu adalah orang-orang yang benar dan menjadi landasan dalam berbagai hal. Yang
bisa dijadikan landasan adalah ilmu syari’at dan agama Allah.
Jadi, gerakan Al-Husain adalah
untuk menjelaskan prinsip ini dengan cara yang sempurna. Dan, telah kami
singgung dalam pembahasan tadi, ia memang hendak menerjunkan dirinya ke dalam
kesyahidan. Ia begitu rindu untuk bertemu kakeknya.
Demi Allah, kekeliruan terjadi
kalau yang melakukan adalah orang-orang seperti kita. Sayyidina Husain tidak
sama dengan kita. Orang-orang yang dididik di bawah penjagaan dan pengawasan
Rasulullah, mereka adalah teladan bagi umat manusia. Mereka contoh atas
kesesuaian perkataan dan tindakan yang benar.
Maka, Sayyidina Husain memberikan
penjelasan mengenai perbedaan berbagai hal tersebut, dengan cara maju dan
mengorbankan nyawanya untuk menyambut janji Allah kepada Rasul-Nya bahwa suatu
saat sekian banyak keluarganya gugur sebagai syahid dalam sehari. Hal itu
menjadi tragedi yang sangat pedih dalam sejarah umat Muhammad SAW.
Khilafah agung Nabawiyah yang
bukan sekadar kekuasaan lahiriah itu kemudian digantikan oleh Ali Zainal
Abidin. Ia benar-benar hiasan indah bagi para ahli ibadah. Perjalanan hidupnya
penuh dengan fenomena ibadah. Ia banyak melakukan shalat. Dua pipinya bergaris
hitam karena aliran air mata, gambaran rasa takut yang mendalam kepada Allah.
Lalu, apa yang ia lakukan? Apakah ia berjuang untuk merengkuh kekuasaan? Apa ia
mengajak kaum muslimin untuk membai’atnya? Apa ia membuat rencana kudeta
terhadap penguasa yang ada?
Semua ini tidak terjadi pada Ali
Zainal Abidin.
Apakah ia tidak tahu apa-apa
tentang agama? Aku bersaksi bahwa ia termasuk orang yang paling alim mengenai
agama. Demi Allah, ia bukan orang bodoh. Dimasanya, ia adalah pewaris agung
bagi Rasulullah SAW.
Namun demikian, ia menyibukkan
hidupnya dengan memperbanyak shalat, membaca Al-Qur-an, menangis, bersedekah,
dan berbuat kebajikan kepada orang lain. Ia sama sekali tak pernah menyinggung
urusan kekuasaan. Ia juga tidak pernah memaki-maki, melaknat, dan mengucapkan
pernyataan-pernyataan buruk kepada para pembunuh ayah dan saudara-saudaranya.
Inilah khalifah sejati. Inilah
yang dilakukan generasi terbaik umat ini. Mereka mengikuti jejak Rasulullah
SAW, jejak Ahlul Bayt, Sahabat, Tabi’in, dan para pengikut mereka.
Setelah itu, putranya, Muhammad
Al-Baqir. Setelah itu, putra Al-Baqir, yaitu Ja’fa rAsh-Shadiq. Mereka semua
meneladani ayah-ayahnya dalam kemuliaan dan jalan ini.
Pada masa itu mereka diikuti oleh
para pemuka tabi’in. Bahkan, saat Al-Hasan menyerahkan kekhilafahan lahiriah,
masih banyak pemuka sahabat. Apa pandangan mereka? Adakah mereka menyatakan
“Kami bersama Anda, kami berperang bersama Anda untuk Allah. Sekarang Anda
meninggalkan kami dan menyerahkan khilafah kepada orang lain?” Tidak. Al-Hasan
patuh (pada tuntunan agama), merekapun ikut patuh.
Tibalah masa tabi’in. Saat itu,
kekuasaan dipegang oleh Yazid bin Muawiyah bin Abi Sufyan. Ia dikenal fasik dan
buruk. Saat itu, ada Hasan Al-Bashri, Said bin Al-Musayyib, juga para tabi’in
senior. Ada Ali Ibnul Husain, juga putra-putra Al-Hasan. Adakah diantara mereka
yang membuat kekacauan? Atau melawan penguasa, atau melakukan sesuatu yang
tidak sesuai dengan teladan para penghulu dan ajaran Rasulullah SAW?
Khilafah berlanjut. Tibalah masa
para Imam : Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad binHanbal. Apa
mereka semua hidup di tengah-tengah kekhilafahan yang lurus atau hidup di
tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa mereka
harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan
itu?
Mereka sibuk menjaga Islam,
menjaga syari’at di tengah-tangah umat, dengan segala kesungguhan dan daya
upaya. Mereka mengorbankan waktu, jiwa-raga, dan harta untuk menjelaskan
hakikat syari’at kepada umat manusia serta membawa mereka untuk bisa
mengamalkannya. Mereka adalah khalifah terbaik dari Rasulullah SAWdan saat itu
terdapat begitu banyak tokoh ulama dari kalangan tabi’in dantabi’ut tabi’in.
Peran Khilafah para Nabi
Bagitulah khilafah di
tengah-tengah mereka. Bahkan, demikian pula yang kita lihat dalam Al Qur’an dan
dijalani para nabi di masa-masa lampau.
Apakah Nuh AS seorang khalifah di
atas muka bumi ini? Ya. Ia khalifah selama 950 tahun. Lalu apakah kekuasaan
berada di tangannya atau di tangan orang-orang kafir? Selama itu pula ternyata
kekuasaan bukan berada ditangannya, tapi tangan orang-orang kafir.
Lalu, apakah tugas khalifah dari
Allah hidup atau mati? Tegak di tangan siapa, di tangan orang-orang kafir?
Tidak, khilafah tegak berada di
tangan Nabi Nuh AS dan pengikutnya. Padahal yang beriman kepadanya hanya
segelintir orang. Namun, segelintir orang ini memiliki kedudukan dan peran yang
besar, hingga Allah memuliakan mereka dengan memusnahkan seluruh umat manusia
kecuali yang berada di kapal Nuh. Itua adalah balasan atas kesabaran dan
ketabahannya selama 950 tahun melaksanakan tugas khilafah dengan peran yang
sangat baik.
Nabi Musa memikul tugas khilafah
dari Allah. Ia mendatangi Fir’aun, dan kekuasaan berada di tangan Fir’aun. Hari
pertama, kedua, dan ketiga, muncullah mukjizat-mukjizatnya. Para tukang sihir
pun beriman. Mereka menjadi pembela agama Allah dan pasukan Allah. Mereka juga
memikul khilafah dari Allah. Namun, kekuasaan tetap berada di tangan Fir’aun,
sampai datang waktunya kemudian ketika Allah menghancurkan Fir’aun dan bala
tentaranya.
Sementara itu, pada kisah
khilafah Sayyidina Isa, Bani Israil datang hendak membunuhnya. Allah pun
mengangkat Nabi Isa ke langit.
Apakah Nabi Isa seorang khalifah
Allah? Demi Allah, ia adalah seorang khalifah Allah. Bahkan, termasuk Rasul
Ulul ‘Azmi, termasuk utusan Allah yang istimewa.
Begitu pula Sayyidina Ibrahim, ia
berada di bawah kekuasaan Namrudz beberapa kali. Sampai ketika mukjizatnya
muncul, ia keluar dari kobaran api yang menjadi dingin dan menjadi keselamatan
baginya. Waktu itu, kekuasaan masih berada di tangan Namrudz, dan Nabi Ibrahim
berada di bawah kekuasaan itu. Ia tidak memikirkan soal kulit permukaan
kekuasaan ini hingga Allah SWT menolongnya.
Inilah poin terpenting dalam tema
khilafah, juga pandangan para salaf mengenai hal itu. Sekian banyak nabi pun
melewati keadaan ini.
Begitulah pengertian khilafah. Pengertian
yang memiliki kaitan erat dengan kewajiban untuk melaksanakan syari’at dalam
diri kita, keluarga kita, dan anak-anak kita. Demikian itu, agar kita tidak
melanggar prinsip umum dan prinsip khusus khilafah, juga tidak menghalangi
sebab-sebab datangnya pertolongan Allah dengan hal-hal yang diembuskan
musuh-musuh Allah yang ingin merusak moral kita. Mereka memasukkan
budaya-budaya buruk yang bertentangan dengan syari’at ke tengah-tengah kita.
Semoga Allah menolak keburukan
orang-orang kafir dan orang-orang jahat dari kita. Semoga Allah menurunkan
berkah kepada kita dan kepada para ulama disini, juga ulama-ulama lain di
Indonesia dan di negara-negara lainnya. Yakni, orang-orang yang senantiasa
gigih menjaga agama dan syari’at ini dengan upaya yang sempurna.
Dan, hanya Allah-lah yang
menganugerahi taufiq dan ampunan.
Hikmah yang terpendam
Pandangan utuh perihal tema
khilafah diulas Habib Umar bin Hafizh dengan amat gamblang. Diantara yang dapat
kita petik dari ulasan di atas adalah bahwa tak lagi terselenggaranya
kekhilafahan yang lurus setelah 30 tahun pasca-wafatnya Rasulullah SAW adalah
berita yang disampaikan Rasulullah SAW sendiri. Beliau tahu persis bahwa itu
akan terjadi, tapi apa yang beliau pesankan kemudian? Kepatuhan pada penguasa,
sampai penguasa itu sudah tak lagi dapat ditakwil akan kekufurannya.
Sekalipun makna dari
redaksi-redaksi kalimat yang terkait dengan kekhilafahan dalam karya-karya
ulama salaf kini marak diperdebatkan, nyatanya para ulama salaf itu sendiri tak
satupun yang menggalang gerakan khusus untuk mendirikan khilafah yang mencontoh
kekhilafahan yang lurus, Khulafa’ Rasyidun. Kesadaran historis kita pun
digugah, “Apakah mereka semua hidup ditengah-tengah kekhilafahan yang lurus
ataukah di tengah-tengah kekuasaan kerajaan? Apakah mereka memiliki paham bahwa
harus membuat rencana untuk menyingkirkan orang-orang yang memiliki kekuasaan
itu?”
Melihat kenyataan sejarah di satu
sisi dan dengan asumsi bahwa makna dari redaksi terkait kekhilafahan itu sesuai
dengan apa yang disuarakan paradai penyokong khilafah Islamiyah kini pada sisi
lainnya, pertanyaan selanjutnya yang pantas diajukan adalah apakah seluruh
ulama dari generasi ke generasi itu hanya orang-orang yang pandai berkata-kata
lewat karya-karyanya dan enggan berusaha keras demi tegaknya khilafah, sesuatu
yang konon termasuk ahammul wajibat (kewajiban yang terpenting)? Tentu bukan
demikian. Mereka tak membuat sebuah gerakan khusus karena mereka paham betul
bahwa bukan itu yang dipesankan Rasulullah SAW terkait masalah ini.
Saat berbuat, terutama pada kaum
muda, seseorang biasanya ingin cepat melihat hasil. Dakwah menyebarkan doktrin
wajibnya mendirikan khilafah Islamiyah boleh jadi memiliki latar belakang
psikologis semacam itu. Pemicunya, akumulasi ketidak percayaan terhadap
penyelesaian berbagai problematik sosial, ekonomi, politik, budaya yang tak
kunjung selesai. Dalam kondisi demikian, ide khilafah Islamiyah datang dengan
senyum menggoda diselingi pekik takbir yang menggelora, lalu mulai merayu umat
dengan tawaran sebagai satu-satunya solusi umat: bila khilafah berdiri, insya
Allah semua urusan beres. Siapa tak tergiur?
Pola dakwah yang berorientasi
pada massa memang biasanya lebih banyak mengandalkan slogan daripada kandungan.
Sebab barangkali karena aspek ini lebih mudah dikalkulasi dan didata. Disinilah
pentingnya penyadaran bahwa dalam berdakwah, selain bekal keilmuan,
kesungguhan, kesinambungan, yang terpenting adalah keikhlasan, sebagai bekal
seseorang meraih keridhaan di sisi Allah SWT. Keridhaan Allah inilah ukuran
keberhasilan dakwah seseorang, bukan yanglainnya. Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah SWT tidak melihat kepada fisikmu dan hartamu, tetapi Allah
melihat kepada amal dan hatimu.” (HR. IbnuMajah)
Dalam isi mauizhahnya, Habib Umar
sempat menyinggung, “Lalu pada akhirnya khilafah kembali seperti ajaran
Rasulullah SAW. Ini sesuatu yang akan terjadi, dan telah diberitahukan
Rasulullah SAW.” Ia tak memperjelas lebih jauh maksud “akan” disitu, apakah
relatif terhadap masa dirinya ataukah masa Rasulullah. Tampak disini bahwa ia
pun tak terjebak dalam perdebatan tentang apakah khilafah yang dikatakan akan
kembali seperti ajaran Rasulullah SAW ini adalah pada masa Sayyidina Umar bin
Abdul Aziz ataukah pada masa menjelang hari kiamat kelak. Yang ingin Habib Umar
tekankan, sebagaimana yang ia katakan selanjutnya, bahwa betapapun, “Kabar
tentang khilafah ini tidak bertentangan dengan perintah-perintah Rasulullah
terhadap umatnya…”
Pelajaran dari umat-umat
terdahulu menunjukkan bahwa, karena kesungguhan mereka mengikuti petunjuk
syari’atnya dan melaksanakan tugas khilafah ruhaniyah yang diemban setiap
manusia dalam lingkupnya masing-masing dan menjadi penjaga-penjaga syari’at dan
ilmu pengetahuan yang setia, pada gilirannya datanglah kemuliaan dan
pertolongan dari sisi Allah SWT. Contohnya, Nabi Nuh pun hanya mendapat
pengikut segelintir orang sebagai hasil dari dakwahnya selama 950 tahun.
Serangkaian tulisan ini
menunjukkan bahwa para ulama kita, dari kalangan Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
seperti kalangan Alawiyyin, Nahdhiyyin, dan unsur-unsurumat lainnya di
lingkungan Aswaja, pun memahami tema khilafah dengan pandangan seperti ini.
Intinya, terus berbuat dan berbuat hal yang nyata di tengah masyarakat secara
ikhlas, lillahi Ta’ala. Bagi mereka, yang penting adalah mengislamkan
masyarakatnya, bukan institusi kenegaraannya.
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آمَنُواْ وَاتَّقَواْ لَفَتَحْنَا عَلَيْهِم بَرَكَاتٍ مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ
“Dan sekiranya penduduk negeri
beriman dan bertaqwa, pasti Kami (Allah)akan melimpahkan keberkahan kepada
mereka dari langit dan bumi.” (QS. Al-A’raf: 96)
Judul asli tulisan ini “ Khilafah Yang Tak Butuh
Singgasana “ Khalifah “. Disarikan dari Mau’izhah Habib ‘Umar bin Hafizh di depan Majelis
Muwashalah Bayna Al-‘Ulama wa Al-Muslimin di Puncak, Bogor, tahun 2009
No comments:
Post a Comment