Prihatin Agar Tak Memprihatinkan
Suatu hari aku dan emakku
berkunjung ke rumah seseorang. Tuan rumah merupakan seorang ibu dari tiga orang
putra putri yang telah remaja. Ia dan suaminya merupakan pedagang kecil yang
mengedarkan dagangannya dari pagi hingga waktu Magrib. Keduanya telah bangun
sejak dini hari untuk mempersiapkan dagangan mereka.
Di tengah obrolan santai kami, si
Ibu menceritakan tentang kelakuan putra dan putrinya yang telah duduk di
sekolah menengah.
" Anak jaman sekarang ya Dek
( ia memanggilku Adek ) susah banget ngerti kesusahan orang tua, maunya kok
hidup enak, " keluh Ibu itu masih dengan senyum semringah.
Aku memang beberapa kali
mengamati ketiga anaknya hampir tak pernah membantu pekerjaan orang tuanya.
Yang cowok ketika pulang sekolah selalu nongkrong di jalan dengan
teman-temannya sambil merokok. Yang perempuan beberapa kali kulihat jalan
dengan cowok sebayanya.
" Kenapa gak disuruh anaknya
buat bantu-bantu…? " tanyaku.
" Ah susah, maunya main
melulu, apalagi semenjak dibelikan HP wah gak ada kerja lain kalau gak main HP,
" ujar ibu ini.
Aku melirik merk Hp anaknya,
ternyata lebih bagus dari punyaku. Padahal bila melihat rumah keluarga ini,
luar biasa memprihatinkan. Dindingnya hanya tersusun dari papan bekas yang
renggang, pembatas antar ruangan hanyalah plastik bekas saja, dan atap seng
rumah tak memiliki pelapon. Ukuran rumahnya pun sangat minimalis, ruang tamu,
ruang makan, ruang keluarga dan kamar orang tua bergabung jadi satu, selebihnya
hanya ada satu kamar yang sangat kecil berukuran satu kali dua meter, dapur dan
WC yang juga tak kalah minimalis.
" Kenapa anaknya dibelikan
hp Bu…? Bagus lagi, kan sayang uangnya…? " tanyaku.
" Kasihan…, nanti dia malu
dengan teman yang lain," ucapnya.
Lalu mengalirlah keluh kesah ibu
ini prihal kredit motor anak laki-lakinya yang mencekik leher, biaya pulsa si
gadis yang lebih besar dari biaya makan mereka serta keengganan putra putrinya
membantu kedua orang tuanya. Bahkan yang membuat sarapan pun masih ibunya.
" Bu seharusnya anak-anak
dibiasakan membantu orang tua, jangan dimanjakan. Motor dan ponsel pun bukan
kebutuhan penting yang mendesak, tak punya itu pun anak-anak masih tetap bisa
sekolah, " jelasku.
" Wah kasihan anak-anak
nanti dibilang miskin, orang gak punya sama temannya, " bela ibu itu.
Serius aku ingin banget jawab
" Lah kan kenyataan kalian memang gak mampu, kenapa mesti pura-pura kaya. "
Namun ku urungkan niatku karena sangat tampak bila si ibu adalah tipe yang
memanjakan anak-anaknya.
" Kalau anakku Fira Bu,
walau masih kelas 3 SD, tapi dia sudah aku beri tanggung jawab mengurusi
pakaian nya, mulai dari mengangkat dari jemuran hingga melipat dan menyusun di
lemari. Bila waktu senggang pun dia yang menyuap makan adiknya, memandikan
adiknya bahkan membereskan mainan adiknya. "
" Kasihan dong anaknya, "
ucap Ibu itu.
" Aku lebih kasihan bila
anakku nantinya gak bisa mandiri karena terlalu kumanjakan. "
Ibu itu diam, gak suka dengan
penjelasan ku kayaknya. Tak lama kami pun pamit.
========================
Aku juga mengenal seseorang yang
kaya secara materi, ia dan suami bekerja mantap dan kurasa mampu membelikan
apapun yang anaknya minta.
" Anakku gak boleh pegang uang lebih dari 2000, HP, karena
mereka belum bisa cari uang sendiri, kalaupun perlu boleh pinjam HP ku, anakku
pun gak boleh bawa motor sebelum ia punya SIM. Bila ingin sesuatu mereka harus
menabung, " jelasnya.
" Kalian kan mampu, "
balasku.
" Benar, aku sanggup membeli semua yang temannya punya tapi
aku tak ingin ia tumbuh menjadi pribadi yang manja karena tak selamanya kami
bisa mendampinginya. Bagaimana bila suatu saat kami mati muda, bisakah
anak-anak ini hidup prihatin…? "
Aku mengangguk.
" Yang terpenting adalah pendidikan nya, makan nya yang
sehat dan pakaian yang layak, selebihnya ia harus berusaha sendiri untuk
mendapatkan nya."
Aku tertegun, hampir saja aku dan
suami khilaf membelikan anak ku ponsel dengan alasan kasihan. Padahal bila itu
terjadi berarti kami telah menggali lobang kehancuran bagi putri kami sendiri.
Ada banyak orang tua yang
menjerumuskan anaknya menjadi pribadi yang malas, manja, angkuh dan sombong,
mereka menyediakan apapun kebutuhan anaknya dari A sampai Z, dari yang penting
hingga yang tak seharusnya dimiliki, bahkan sebagian orang tua pun rela menjadi
pembantu bagi buah hatinya. Semua dilakukan atas dasar kasih sayang.
Menyesakkan ketika tak jarang kita melihat anak menjadi raja yang
selalu dilayani sedangkan orang tua menjadi dayang yang selalu makan hati.
Semua menyayangi buah hatinya namun sayang bukan berarti
memanjakan. Selain kasih sayang, anak pun butuh arahan, kedisiplinan dan
terkadang sedikit kekerasan bila ia sudah berbelok ke arah yang salah.
Bila anak baik jangan segan beri
ia pujian, berikan pula hadiah yang mendidik, namun jangan segan menegur atau
bahkan menghukum bila buah hati dinilai mulai salah arah.
Suatu hari aku pernah memukul
tangan anakku. Ketika itu ada seorang kakek yang bertamu, tampilannya sangat
lusuh dan cenderung ( maaf ) bau. Aku mengobrol sebentar dengannya sebelum ia
pamit.
Selama aku mengobrol, anakku
mengibaskan tangannya isyarat kalau dia kebauan, ia juga berkali seolah mual ( aku
tahu ini actingnya yang lebay….) Tingkahnya hari itu ibarat tuan putri sok
cantik yang menyebalkan.
Ketika kakek ini pamit, aku
menutup pintu dan langsung memanggil putriku.
Plak….! Aku memukul tangannya. Ia
terkejut.
" Ibu gak suka kamu kayak
jijik sama tamu, kakek itu sudah tua dan kamu harus hormat dengannya. "
" Kakek itu kotor dan bau,
" belanya
" Dia bau dan kotor bukan
berarti kamu berhak menghinanya. Jangan sok lebih baik dari orang lain.
Seandainya pun kamu gak tahan dengan baunya, kenapa mendekat…? Sengaja kan biar
bisa menghina, " ucapku marah.
Dia menunduk dan menangis.
Aku memeluknya dan membelai si
kurus ini. " Ibu gak mau kamu jadi anak yang gak baik, karena anak nakal
itu gak disayang Allah. Ibu sayang kamu makanya ibu tegur..."
Dia mengangguk.
Mendidik anak itu dari dulu
hingga kini tak pernah mudah. Terkadang hanya karena pola didik yang berbeda
suami dan istri bertengkar, aku pun sering begitu dengan suami.
Lagi, anak itu adalah amanah, ia dititipkan untuk
dijaga dan diarahkan agar menjadi pribadi yang baik.
Anak adalah investasi dunia dan
akherat, bahagia dunia kita dan keselamatan di akherat salah satunya tergantung
pada anak kita.
Jangan sampai di tangan kita
kertas putih yang suci itu berubah warna menjadi penuh coretan hitam dan kelam.
Menulis ini bukan berarti aku
telah baik mendidik anak, masih belajar dan terus belajar walau terkadang
selalu khilaf dan berbuat salah.
No comments:
Post a Comment