Beberapa
orang memprotes saya bahwa Sholawat Nariyah dianggap bid’ah dan dapat membawa
kepada kesyirikan. Mereka menggunakan dalil Al-Quran seenak perutnya sendiri
dengan mengatakan bahwa bacaan Sholawat Nariyah justru akan mengkultuskan Nabi
sebagai sesembahan. Lalu, mereka mengutip firman Allah dalam surah Al-Isra: 56.
Saya hanya
tarik nafas dan tersenyum. Dan, saya jawab; “Ada benarnya juga kata-katamu!”
Lalu saya tetap mendengarkan celoteh mereka satu per satu. Menurut mereka, Nabi
tidak berkuasa untuk memberi rezeki, menghilangkan kesedihan, mencabut
penderitaan seorang hamba. Maka, salah besar jika ada umat Muhammad yang
meminta pertolongan kepada Nabinya. Mereka menyebut firman Allah, surah
Al-A’raf: 188.
Saya hanya tarik
nafas dan tersenyum. Dan, saya jawab; “Ada benarnya juga kata-katamu!”
Mungkin,
karena merasa jawaban saya dianggap tak serius, saya mulai diberondong dengan
pertanyaan yang kurang “serius” dan emosional. Saya dianggap pengamal bid’ah,
musyrik dan membahayakan akidah.
Dari sini
saya bisa mengukur lawan bicara saya. Dalam hati saya terdetik kalimat Kyai
saya, “Tarkul-jawab ‘alal-jahili jawabun” (Tak menjawab adalah jawaban untuk
orang yang bodoh). Maka, saya memilih diam.
Lambat laun,
obrolan mereda, ketika saya menawarkan segelas kopi untuk 4 orang yang ada di
asrama itu. 4 orang dengan satu gelas saja. Dan, saya menyuguhkan rokok yang
baru dibuka bungkusnya. Saya katakan, “Ayat Al-Quran yang kamu sebutkan benar.
Haqqul yaqin. Saya percaya. Tapi, pemahaman saya berbeda.”
Sruputtttt....Kopi
hitam itu kunikmati pelan. Bekas mulutku dan mulut-mulut mereka berada di bibir
atas gelas itu.
“Saya akan
bertobat, jika terdetik barang sedikit pun di hati saya kalau saya meminta
kepada selain Allah. Sebab,
sholawat Nabi itu hakikatnya bukan untuk meminta-minta kepada Nabi. Bukan pula
menyembah beliau. Ada makna-makna batin yang tak bisa dijelas oleh akal
seluruhnya.”
“Memang apa
yang kamu rasakan?”
“Nah ini
baru pertanyaan bagus,”
“Apa
bagusnya?”
“Sebab kamu
bertanya tentang rasa. Persis seperti kopi yang saya teguk ini. Begitulah agama
yang saya anut.”
“Maksudnya?”
“Kita
sama-sama meminum kopi yang sama. Tapi, masing-masing dari kita bisa merasakan
dengan berbeda-beda rasa, baik rasa lahiriah maupun batiniah. Rasa manis,
pahit, masam, menyegarkan dan sebagainya. Namun, setiap tegukannya dan
pemaknaan apa di balik kopi ini, pasti berbeda-beda.”
“Susah
benar, ngomong ngalor-ngidul!”
“Mau dengar
nggak?”
“Ok.
Lanjutkan!”
“Saya
merasakan Rasulullah SAW adalah salah satu alasan dunia ini diciptakan. Dia
adalah satu-satunya kekasih Allah yang diberi kesempatan untuk memberi syafaat
kepada umatnya. Fakta ini tak bisa kalian bantah dengan dalil apa pun.”
“Iya...Lalu?!”
“Rasulullah
adalah “pembawa paket” syafaat hingga Hari Kiamat tiba. Seluruh umat manusia
mengharapkan agar paket ini sampai dan bisa dinikmati kita bersama. Maka, kita
bersolawat, berdoa dan bermunajat agar Rasulullah selalu diberi keselamatan dan
rahmat-Nya. Kita tidak meminta Nabi untuk memberi rezeki, menghilangkan
kesedihan, membebaskan penderitaan dan sebagainya.”
“Kenapa
tidak langsung saja berdoa kepada Allah?”
“Kita butuh
wasilah!”
“Allah tak
pernah perintahkan dalam Al-Quran dan Rasul tak pernah mencontohkan!”
“Anda
salah!”
“Salahnya?”
“Justru ini perintah
Allah dan dianjurkan Rasulullah! Allah memerintahkan kita untuk berselawat
kepada Nabi. Allah dan Malaikat-Nya pun berselawat. Setiap shalat, pada tahiyat
pun kita diperintahkan untuk berselawat. Menurutmu, apa makna selawat Nabi pada
shalat, dzikir dan doa?”
“Perintah
Allah, tapi bukan untuk mengkultuskan dan bukan untuk meminta sesuatu kepada
Nabi. Makanya, Nabi juga tidak pernah mencontohkan melakukan wasilah dalam
doa,” kata salah satu dari mereka.
“Bagaimana
mungkin Nabi berwasilah, sebab dia adalah kekasih-Nya. Rasulullah tidak
memerlukan wasilah apa pun. Sekarang, kalau kamu punya barang yang sangat
berharga yang harus dikirimkan kepada anakmu. Apakah kamu tidak berdoa agar
Allah memberi keselamatan pada pembawa barang tersebut.”
“Oh ya. Tak tidak
berharap kepadanya sampai seperti itu.”
“Nah,
bagaimana jika barang yang paling berharga itu adalah ruhmu?! Jiwamu?! Orang
yang membawa barang itu adalah orang yang mengajarkan tauhid, ajaran Ilahi,
yang mengajarkan tentang keselamatan dunia dan akhirat. Bahkan, dialah
satu-satunya hamba Allah yang diberi kesempatan untuk menyelamatakanmu dari
siksa api neraka?!”
Sruputtttt...
Sruputttt...
Semoga
bermanfaat!
No comments:
Post a Comment