Orang
laki-laki yang sudah beristeri wajib memberi nafkah kepada isterinya dengan
kemampuan yang sempurna menurut ukuran kepantasan. Jumlah nafkah diperkirakan
setara dengan kesulitan atau kemudahan suami mencari rezeki.
Nafkah
kepada isteri tidak gugur karena waktu sudah lewat tanpa memberi nafkah. Nafkah
yang tidak diberikan pada waktu yang lampau menjadi hutang suami, karena nafkah
isteri itu menjadi pengganti dan imbalan pelayanan isteri. Berbeda dengan
pemberian nafkah kepada kerabat yang dapat gugur karena waktunya sudah lewat,
karena nafkah kepada kerabat bersifat bantuan.
Suami juga
berkewajiban mengajar isterinya yang berkaitan dengan ibadah seperti: bersuci,
salat, zakat, puasa, haji, dan haidl. Suami tidak berhak memukul isteri karena
meninggalkan salat dan hak-hak Allah lainnya.
Ibnu
Barizi berpendapat lain bahwa hak suami hanya terbatas pada menyuruhnya saja,
sementara isteri perlu menjaga dirinya dengan mempersilahkan laki-laki lain
untuk tidur di tempat tidur suaminya, menutupi anggota badan yang haram
dipandang laki-laki lain, tidak menuntut suami dengan sesuatu yang melampaui
hajat, dan menjaga diri untuk tidak mengambil harta yang haram.
Suami
boleh memukul istri lantaran meninggalkan hak-hak suami tersebut. Suami juga
berkewajiban mengajar isterinya tentang kewajiban taat kepada suami dalam hal
yang bukan maksiat, dan mengajar isteri akan keharaman dusta mengenai
kedatangan haidl dan kesucian darinya, dan lain sebagainya mengenai urusan
agama.
Seorang
ayah berkewajiban memberi nafkah kepada anak-anaknya apabila mereka melarat dan
tidak mampu bekerja karena masih kecil, cacat, gila, atau sakit. Nafkah ini
tidak ditentukan jumlahnya, tetapi sekedar cukup. Nafkah harus dibedakan antara
anak-anak yang besar, kecil, kezuhudan dan kesenangan mereka.
Ayah juga
wajib mengajar sopan santun anak-anaknya pada waktu masih kecil, mengajar
bersuci dan salat. Ia wajib memerintah mereka untuk melakukan salat setelah
tamyiz, yaitu sejak berumur 7 (tujuh) tahun.
No comments:
Post a Comment