Isteri Gus Bahauddin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha' adalah " Ning " dari keluarga pesantren Sidogiri.
Saat pernikahan Beliau, Gus Baha' memilih untuk " naik
bis ekonomi " dari pandangan ( Kragan, Rembang, Jateng ) menuju rumah
mertuanya di Sidogiri.
Setelah mempersunting Neng Sidogiri tadi, Gus Baha' hidup di
Yogya, ngontrak rumah di sana. Di sana, bukan berarti Gus Baha' hidup enak.
Beliau hidup pas-pasan. Bahkan, tak jarang telat bayar kontrakan karena tidak
punya uang.
Gus Baha' itu bukan Kyai kacangan. Keilmuannya diakui oleh
ulama-ulama Indonesia, bahkan oleh Syaikhina Maimoen Zubair.
Beliau ketua Tim Lajnah Mushaf UII, yang anggotanya terdiri dari profesor dan
doktor, padahal, Gus Baha' tidak memiliki gelar satupun.
Dan bersamaan dengan itu, beliau hidup sangat sederhana...
Ngebis ke sana ke mari, bahkan saat ke madura kemarin, Beliau tidak purun untuk
dijemput dengan mobil, mau ngojek saja dawuhnya...
Ah, Allah... Saya malu... Ulama bukan, tapi maunya
macam-macam.
Dalam hati, saya berfikir : " Ah, betapa sabarnya isteri
Gus Baha '. Padahal Beliau keluarga Sidogiri, tapi mau diajak hidup susah
seperti itu "
Tapi saya tidak kaget, karena di daerah saya, banyak juga
keluarga-keluarga sidogiri yang hijrah ke sana, tempat-tempat terpencil dan
pedalaman, berdakwah dan hidup sangat sederhana.
Tapi saya mikir… Wajar saja isteri Gus Baha' bahagia di ajak
hidup susah, la wong suaminya seperti Gus Baha'.
Tidak pernah marah sama isteri, mengerti akan isteri, mengayomi
keluarga dengan baik, menjadi penyejuk bagi keluarganya, perbuatan dan
ucapannya semuanya dengan ilmu, tidak asal-asalan...
Lah, saya…? Entahlah...
Hidup itu bagaikan daun yang hanyut di sungai. Daun itu adalah
kita, dan sungai adalah takdir. Jangan banyak harap, karena harap kita tidak
akan merubah takdir.
Semakin banyak harap dan angan, hidup semakin sumpek, takut
kehilangan, takut gak kesampaian, takut keduluan orang, takut ini, takut itu.
Ah, Jalani saja...
No comments:
Post a Comment