Kisah Para Pandawa
Dewa
Ruci
Kisah
ini menceritakan perjalanan Arya Wrekodara dalam mencari air kehidupan Tirta
Pawitrasari Mahening Suci atas perintah Resi Druna, hingga akhirnya ia bisa
bertemu dan berguru kepada jati dirinya sendiri, yaitu Dewa Ruci di tengah
Samudera Minangkalbu.
Kisah
ini diolah dari sumber Serat Babad Ila-ila, yang dipadukan dengan rekaman
pagelaran wayang kulit dengan dalang Ki Nartosabdo, dan juga Ki Manteb
Soedharsono, dengan pengembangan seperlunya. Oleh Heri Purwanto.
PRABU
DURYUDANA MEMINTA RESI DRUNA MEMBUNUH ARYA WREKODARA
Prabu
Duryudana di Kerajaan Hastina dihadap Resi Druna dari Sokalima, Adipati Karna
dari Awangga, Patih Sangkuni dari Plasajenar, serta adik-adiknya, yaitu para
Kurawa yang dipimpin Arya Dursasana dan Raden Kartawarma.
Dalam
pertemuan itu, Prabu Duryudana membahas tentang kutukan Resi Mitreya terhadap
Arya Dursasana beberapa hari yang lalu, saat Dewi Dursilawati menikah dengan
Adipati Jayadrata. Dalam kemarahannya, Resi Mitreya mengutuk Arya Dursasana
yang tidak dapat mengenali kebenaran, maka kelak ia akan mati dalam keadaan
sulit dikenali. Kutukan tersebut sangat mengganggu pikiran Prabu Duryudana,
bahkan sampai terbawa mimpi. Dalam mimpinya itu, Prabu Duryudana melihat sebuah
perang besar bernama Perang Bratayuda. Perang saudara ini sesuai dengan ramalan
Bagawan Abyasa dahulu kala, yaitu perang antara keturunan Adipati Dretarastra
melawan keturunan Prabu Pandu Dewanata. Dalam perang tersebut, Prabu Duryudana
melihat Arya Dursasana dibunuh Arya Wrekodara secara kejam. Tubuhnya dicabik-cabik
hingga mayatnya tidak dapat dikenali lagi. Prabu Duryudana juga melihat Arya
Wrekodara membantai para Kurawa lainnya hingga tidak tersisa seorang pun.
Mimpi
buruk yang dialami Prabu Duryudana terjadi berkali-kali selama beberapa malam.
Sejak kecil hubungan antara Prabu Duryudana dengan Arya Wrekodara memang kurang
baik. Keduanya sering berkelahi, bahkan Prabu Duryudana pernah mencoba membunuh
Arya Wrekodara beserta para Pandawa lainnya melalui peristiwa Balai Sigalagala.
Namun demikian, mereka berdua akhirnya bisa rukun dan berdamai ketika sama-sama
berguru ilmu gada kepada Wasi Jaladara (Prabu Baladewa) di Gunung Rewataka.
Kini
akibat mimpi buruk tersebut, Prabu Duryudana kembali membenci Arya Wrekodara.
Ia sangat takut mimpinya menjadi kenyataan. Ia khawatir ramalan tentang Perang
Bratayuda benar-benar terjadi, dan Arya Wrekodara pun membunuh Arya Dursasana
sesuai kutukan Resi Mitreya.
Untuk
itu, Prabu Duryudana berniat meminta Resi Druna agar membunuh Arya Wrekodara.
Bagaimanapun juga Resi Druna adalah guru para Pandawa dan Kurawa, sehingga
sudah pasti memahami kelemahan setiap murid-muridnya.
Resi
Druna terkejut mendapat perintah demikian. Ia merasa keberatan karena dirinya
adalah pendeta, bukan algojo pencabut nyawa. Dirinya juga seorang guru, bukan
jagal manusia. Apalagi membunuh Arya Wrekodara yang merupakan murid sendiri,
jelas itu tidak mungkin.
Patih
Sangkuni menyela ikut bicara. Ia mengingatkan dahulu kala Resi Druna bisa
mendapatkan pangkat dan derajat, serta segala kemewahan hidup dari Adipati
Dretarastra. Hingga Resi Druna pun pernah bersumpah akan selalu setia mengabdi
kepada Kerajaan Hastina dan mematuhi segala perintah yang diberikan raja
Hastina. Saat ini yang duduk di atas takhta adalah Prabu Duryudana, putra
Adipati Dretarastra, tentunya sumpah yang dulu diucapkan tetap berlaku. Apalagi
Prabu Duryudana jauh lebih dermawan daripada ayahnya. Prabu Duryudana telah
mengucurkan dana besar-besaran untuk pembangunan Padepokan Sokalima menjadi
lebih megah dan lebih besar. Prabu Duryudana juga mendirikan dan memimpin
sebuah yayasan untuk lebih mengembangkan Padepokan Sokalima. Kini Resi Druna
memiliki banyak sekali murid golongan raja dan pangeran yang berasal dari
berbagai kerajaan, itu pun berkat pemasaran gencar yang dilakukan para Kurawa.
Resi
Druna mengakui dirinya kini telah menjadi orang terpandang yang kaya raya dan
berkedudukan tinggi, itu semua berkat sokongan Prabu Duryudana. Ia pun
bersumpah akan selalu setia kepada Kerajaan Hastina dan tidak akan pernah
mengkhianati Prabu Duryudana. Meskipun dulu Prabu Duryudana adalah muridnya,
tetapi kini telah menjadi raja yang harus ia sembah. Akan tetapi, perintah
untuk membunuh Arya Wrekodara tetap saja Resi Druna berat hati untuk
melakukannya.
Patih
Sangkuni mengatakan, Resi Druna tidak perlu membunuh secara langsung, melainkan
cukup menjerumuskan Arya Wrekodara saja. Sebagai guru tentunya ada banyak cara
untuk memerintahkan muridnya melakukan sesuatu, dan si murid pasti akan
mewujudkannya meskipun itu sangat berbahaya.
RESI
DRUNA MEMERINTAHKAN ARYA WREKODARA MENCARI KAYU GUNG SUSUHING ANGIN
Resi
Druna merenung sesaat kemudian menyanggupi usulan Patih Sangkuni. Kebetulan
saat pernikahan Adipati Jayadrata dan Dewi Dursilawati beberapa hari yang lalu,
Arya Wrekodara datang bersama Prabu Kresna untuk menjemput pulang Raden
Permadi. Pada saat itu Arya Wrekodara sempat mengutarakan perasaannya kepada
Resi Druna. Arya Wrekodara berkata dirinya kagum kepada Raden Permadi yang
memiliki banyak guru. Sebagai saudara yang lebih muda, ternyata Raden Permadi
memiliki kesaktian yang lebih beraneka ragam daripada dirinya, apalagi saat itu
sang adik baru saja berguru kepada Resi Mitreya, seorang pendeta sepuh berilmu
tinggi dari Gunung Mestri.
Resi
Druna lalu bertanya apakah Arya Wrekodara iri kepada adiknya itu. Arya
Wrekodara menjawab tidak iri sama sekali. Yang ia inginkan bukan menambah
berbagai macam ilmu kesaktian, tetapi ingin belajar ilmu kesempurnaan hidup. Ia
ingin belajar ilmu Sangkan Paraning Dumadi, ilmu Sejatining Urip. Ia ingin
memahami dan bukan sekadar mengetahui tentang hidup ini dari mana, untuk apa,
dan setelah berakhir hendak ke mana.
Resi
Druna yang saat itu sedang sakit hati karena Raden Premadi berguru kepada Resi
Mitreya langsung menjawab sanggup mengajari Arya Wrekodara, tetapi tidak di
hari itu. Kelak apabila Arya Wrekodara sudah siap lahir batin, maka ia boleh
datang ke Padepokan Sokalima untuk mempelajari ilmu Sangkan Paraning Dumadi
tersebut. Arya Wrekodara merasa senang dan berjanji dirinya pasti akan segera
datang.
Demikianlah
Resi Druna mengakhiri ceritanya. Ia pun berniat memanfaatkan Arya Wrekodara
yang ingin berguru untuk menjerumuskan Pandawa nomor dua tersebut. Sungguh
kebetulan, tidak lama kemudian Arya Wrekodara benar-benar datang di istana
Hastina.
Prabu
Duryudana menyambut ramah kedatangan adik sepupunya itu dan bertanya ada
keperluan apa tiba-tiba datang ke Kerajaan Hastina. Arya Wrekodara menjawab
bahwa sesungguhnya ia telah pergi ke Padepokan Sokalima untuk menemui Resi
Druna. Akan tetapi, menurut para janggan dan cantrik di sana, Resi Druna telah
pergi ke Kerajaan Hastina untuk mengunjungi Prabu Duryudana. Arya Wrekodara
merasa tidak sabar menunggu sang guru pulang, dan memutuskan untuk pergi
menyusul.
Kini
Arya Wrekodara telah bertemu Resi Druna dan menyatakan dirinya telah siap lahir
batin menerima pelajaran ilmu Sangkan Paraning Dumadi dari sang guru. Resi
Druna menjawab dirinya bersedia memberikan wejangan di Padepokan Sokalima,
tetapi Arya Wrekodara harus lebih dulu membuktikan kesiapannya. Untuk menerima
ilmu Sangkan Paraning Dumadi, Arya Wrekodara harus dapat memenuhi
syarat-syaratnya, yaitu menyerahkan Kayu Gung Susuhing Angin terlebih dahulu.
Kayu ajaib ini konon hanya tumbuh di puncak Gunung Candramuka, tepatnya di
dalam Gua Sigrangga.
Arya
Wrekodara menjawab sanggup. Ia pun mohon pamit pergi mencari kayu tersebut.
Prabu Duryudana pura-pura merasa berat hati melepas kepergian sepupunya itu. Ia
memeluk Arya Wrekodara dan memberikan restu kepadanya semoga berhasil. Ia juga
menawarkan bala bantuan sebagai pengawal. Namun, Arya Wrekodara menolak itu
semua karena ini adalah urusan pribadinya dan ia tidak ingin merepotkan orang
lain. Setelah berkata demikian, Arya Wrekodara pun berangkat meninggalkan
Kerajaan Hastina.
Setelah
Arya Wrekodara pergi, Patih Sangkuni bertanya kepada Resi Druna mengapa
menyuruhnya pergi ke Gunung Candramuka. Resi Druna menjawab bahwa Kayu Gung
Susuhing Angin itu sesungguhnya tidak ada. Semua ini hanyalah akal-akalan
dirinya saja. Ia pernah mendengar kabar, bahwa Gunung Candramuka adalah tempat
yang angker mengerikan. Di sana terdapat Gua Sigrangga yang dihuni sepasang
raksasa bengis, yang gemar memangsa daging manusia. Kedua raksasa itu konon
sangat perkasa dan juga kejam. Jika Arya Wrekodara pergi ke sana dan bertemu
dengan kedua raksasa tersebut, maka itu sama artinya dengan mengantar nyawa.
Patih
Sangkuni gembira mendengarnya. Ia bertanya apakah Arya Wrekodara pasti mati
jika berhadapan dengan kedua raksasa itu? Resi Druna menjawab belum tentu.
Lahir atau mati adalah suratan takdir, bukan dirinya yang menentukan. Manusia
hanya bisa merencanakan, dan semua hasilnya terserah Yang Mahakuasa. Yang
jelas, ia sudah menjalankan tugas untuk menjerumuskan Arya Wrekodara.
Mendengar
itu, Prabu Duryudana merasa bimbang. Ia lalu memerintahkan Raden Kartawarma
untuk mengawasi Arya Wrekodara dari kejauhan. Apabila Arya Wrekodara tidak
tewas melawan kedua raksasa itu, maka Raden Kartawarma harus cepat-cepat pulang
untuk melapor, agar Resi Druna dapat segera menyiapkan rencana kedua. Raden
Kartawarma menyanggupi dan segera mohon pamit berangkat melaksanakan tugas.
ARYA
WREKODARA MENGHADAPI DUA RAKSASA
Arya
Wrekodara telah sampai di Gunung Candramuka. Ia menemukan Gua Sigrangga dan
memasukinya untuk mencari keberadaan Kayu Gung Susuhing Angin. Gua tersebut
ternyata dihuni dua raksasa bertubuh besar menyeramkan. Mereka pun marah dan
menyerang Arya Wrekodara.
Raksasa
yang tua bernama Ditya Rukmuka, sedangkan yang muda bernama Ditya Rukmakala.
Mereka berebut ingin menangkap dan memangsa tubuh Arya Wrekodara sebagai
santapan. Namun, Arya Wrekodara dapat dengan tangkas menandingi keganasan
mereka. Mula-mula Ditya Rukmuka dapat dibunuh. Perutnya robek terkena Kuku
Pancanaka di tangan Arya Wrekodara. Anehnya, begitu Ditya Rukmakala melangkahi
mayatnya, seketika Ditya Rukmuka pun bangkit kembali. Kemudian ketika Ditya
Rukmakala yang tewas terkena tendangan Arya Wrekodara, ia pun hidup kembali
setelah dilangkahi Ditya Rukmuka.
Arya
Wrekodara merasa kewalahan menghadapi kedua raksasa tersebut. Dalam keadaan
letih, ia mengheningkan cipta menenangkan diri. Sungguh aneh, begitu Arya
Wrekodara mengheningkan cipta justru kedua lawannya menjadi limbung dan
sempoyongan. Arya Wrekodara pun menjambak rambut mereka dan membenturkan kepala
keduanya hingga pecah. Kedua raksasa itu pun tewas dan tidak bisa bangkit
kembali.
ARYA
WREKODARA MENDAPAT ANUGERAH DARI BATARA INDRA DAN BATARA BAYU
Ditya
Rukmuka dan Ditya Rukmakala telah terbunuh. Mayat mereka tiba-tiba musnah
menjadi asap dan berubah menjadi dua orang dewa. Ditya Rukmuka menjadi Batara
Indra, sedangkan Ditya Rukmakala menjadi Batara Bayu. Kedua dewa itu berterima
kasih karena Arya Wrekodara telah meruwat mereka sehingga bisa kembali menjadi
dewa.
Arya
Wrekodara bertanya mengapa Batara Indra dan Batara Bayu berubah wujud menjadi
raksasa kembar. Batara Bayu bercerita bahwa pada suatu hari Batara Guru
mengadakan pertemuan di Kahyangan Jonggringsalaka. Pada saat itu Batari
Wilotama ditugasi menari menghibur para dewa yang hadir. Batara Indra dan
Batara Bayu datang terlambat. Batara Indra lalu meminta Batara Bayu agar
mengerahkan angin kencang agar mendorong tubuh mereka berdua sehingga bisa tiba
di Kahyangan Jonggringsalaka lebih cepat. Batara Bayu menyanggupi. Ia pun
mengerahkan angin dan seketika dirinya dan Batara Indra pun sampai di hadapan
Batara Guru. Sialnya, angin tersebut juga ikut meniup tubuh Batari Wilotama
yang sedang menari. Akibatnya, pakaian Batari Wilotama menjadi tersingkap dan
membuat Batara Guru sangat marah kepada Batara Bayu dan Batara Indra. Itulah
sebabnya mereka menjadi raksasa kembar adalah karena kutukan yang diucapkan
Batara Guru.
Kini
kedua dewa itu berterima kasih kepada Arya Wrekodara karena telah membebaskan
diri mereka dari kutukan. Arya Wrekodara balik bertanya di mana kira-kira ia
bisa menemukan Kayu Gung Susuhing Angin. Batara Indra menjawab Kayu Gung
Susuhing Angin bukan berwujud seperti kayu pada umumnya, melainkan itu adalah
bahasa perlambang. Kayu Gung bermakna “kayu besar”, sesungguhnya adalah kiasan
untuk raga manusia, sedangkan Susuhing Angin bermakna “rumah angin”. Maka,
makna dari Kayu Gung Susuhing Angin adalah manusia yang merupakan tempat keluar
masuknya angin atau disebut napas. Napas yang masuk membawa udara bersih,
kemudian diedarkan ke seluruh bagian tubuh, dan keluar membawa udara kotor.
Arya
Wrekodara bertanya apakah gurunya telah berbohong dengan menugasi dirinya
mencari benda yang tidak pernah ada. Batara Bayu menjawab sama sekali tidak.
Tugas yang diberikan Resi Druna bukanlah kebohongan, melainkan sebuah
teka-teki. Kayu Gung Susuhing Angin bukan berwujud benda, tetapi berwujud
pelajaran. Gunung Candramuka, Gua Sigrangga, Ditya Rukmuka, Ditya Rukmakala,
Batara Indra, dan Batara Bayu, semuanya mengandung hikmah pelajaran. Mengenai
makna dari pelajaran tersebut kelak Arya Wrekodara akan menemukannya sendiri,
apabila bersungguh-sungguh. Untuk itu, jika Resi Druna memberikan tugas selanjutnya,
maka jangan sampai Arya Wrekodara menolaknya.
Arya
Wrekodara pun menyanggupi saran Batara Bayu tersebut. Sebagai ungkapan terima
kasih, Batara Indra pun memberikan hadiah berupa Cincin Druwenda Mustika Manik
Candrama. Khasiat dari cincin tersebut adalah bisa melindungi keselamatan Arya
Wrekodara apabila tercebur di dalam air. Arya Wrekodara menerima hadiah
tersebut dengan rendah hati dan mengenakannya di jari. Setelah dirasa cukup,
Batara Bayu dan Batara Indra undur diri kembali ke kahyangan.
RESI
DRUNA MENUGASI ARYA WREKODARA MENCARI AIR KEHIDUPAN
Raden
Kartawarma telah melapor kepada Prabu Duryudana bahwa Arya Wrekodara tidak mati
dibunuh kedua raksasa penunggu Gunung Candramuka, tetapi justru berhasil
menewaskan mereka. Prabu Duryudana sangat kesal dan meminta Resi Druna menyusun
rencana kedua untuk menyingkirkan sepupunya itu.
Tidak
lama kemudian, Arya Wrekodara pun muncul dan langsung menghadap Resi Druna. Ia
menceritakan pengalamannya di Gunung Candramuka, di mana ia tidak menjumpai
Kayu Gung Susuhing Angin di sana, tetapi bertemu dua raksasa yang akhirnya
teruwat menjadi dewa, yaitu Batara Indra dan Batara Bayu. Resi Druna menjawab
mereka berdua itulah yang dimaksud dengan Kayu Gung Susuhing Angin. Dengan kata
lain, Arya Wrekodara dianggap telah lulus memenuhi syarat pertama.
Arya
Wrekodara lalu bertanya apakah dirinya sudah bisa mulai belajar ilmu Sangkan
Paraning Dumadi. Resi Druna menjawab belum, karena masih ada satu syarat lagi,
yaitu Arya Wrekodara harus dapat menemukan air kehidupan Tirta Pawitrasari
Mahening Suci yang terletak di Samudera Minangkalbu. Arya Wrekodara pun
bertanya di mana letak samudera tersebut. Resi Druna menjawab, Minangkalbu
artinya meminang hati. Arya Wrekodara silakan bertanya kepada hatinya sendiri
di mana letak samudera tersebut. Jika ia yakin ke arah utara, silakan mencebur
ke laut utara, dan jika mantap ke selatan, silakan mencebur ke laut selatan.
Teringat
pada pesan Batara Bayu, Arya Wrekodara pun menyatakan sanggup. Ia lalu mohon
pamit berangkat melaksanakan tugas kedua tersebut.
ARYA
WREKODARA BERPAMITAN KEPADA SAUDARA-SAUDARANYA
Arya
Wrekodara merasa tugas mencari Tirta Pawitrasari jauh lebih berat daripada
mencari Kayu Gung Susuhing Angin. Maka, ia pun memutuskan untuk pulang terlebih
dulu ke Kerajaan Amarta untuk mohon pamit dan meminta doa restu kepada ibu dan
empat saudaranya.
Dewi
Kunti, Prabu Puntadewa, Dewi Drupadi, Raden Permadi, serta si kembar Raden
Nakula dan Raden Sadewa menyambut kepulangan Arya Wrekodara. Kepada mereka,
Arya Wrekodara bercerita tentang niatnya untuk belajar ilmu Sangkan Paraning
Dumadi Lepasing Budi kepada Resi Druna, dengan syarat harus bisa menemukan air
kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening Suci di Samudera Minangkalbu.
Prabu
Puntadewa dan yang lain terkejut. Dewi Kunti segera meminta agar Arya Wrekodara
membatalkan niatnya. Namun, Arya Wrekodara menolak karena sudah terlanjur
menyanggupi. Raden Permadi menanggapi bahwa ia yakin Resi Druna pasti telah
didesak Prabu Duryudana dan Patih Sangkuni untuk mencelakakan sang kakak kedua.
Prabu Puntadewa membenarkan hal itu. Ia pun mengingatkan bahwa dulu Prabu
Duryudana semasa muda dibantu Patih Sangkuni pernah melakukan percobaan
pembunuhan terhadap para Pandawa beserta Dewi Kunti dalam peristiwa Balai
Sigalagala.
Arya
Wrekodara berkata bahwa dulu Prabu Puntadewa pernah berpesan agar jangan lagi
mengungkit-ungkit soal Balai Sigalagala, tapi mengapa sekarang justru
melanggarnya perkataannya sendiri? Apalagi ketika Prabu Duryudana dan Arya
Wrekodara sama-sama berguru kepada Wasi Jaladara, saat itu Prabu Puntadewa
sangat bersyukur dan mengumumkan bahwa Prabu Duryudana (saat itu masih bernama
Raden Kurupati) telah bertobat dan ingin memperbaiki hubungan dengan para
Pandawa. Untuk itu, para Pandawa tidak boleh lagi menganggap Kurawa sebagai
musuh. Sungguh mengherankan, mengapa sekarang tiba-tiba Prabu Puntadewa menaruh
prasangka buruk, menduga Prabu Duryudana pasti telah mendesak Resi Druna untuk
mencelakakan dirinya?
Dewi
Kunti sangat sedih karena Arya Wrekodara tetap bersikeras ingin pergi mencebur
samudera. Karena terlalu sedih, wanita itu pun jatuh pingsan. Sang menantu,
Dewi Drupadi segera memapah tubuhnya masuk ke dalam kedaton.
Raden
Nakula dan Raden Sadewa ganti ikut bicara. Mereka memeluk lengan Arya Wrekodara
kiri dan kanan, meminta agar sang kakak kedua jangan pergi. Mereka menangis
meratapi nasib sebagai anak yatim piatu yang sejak kecil ditinggal mati ayah
dan ibu. Mereka menganggap Arya Wrekodara adalah pelindung mereka selama ini.
Arya Wrekodara tidak hanya berperan sebagai ayah, tapi juga berperan sebagai
ibu bagi mereka. Dulu saat kecil, Arya Wrekodara sering menggendong keduanya ke
sana kemari. Juga apabila tidak ada sang kakak kedua, mungkin mereka sudah mati
dilalap kobaran api dalam peristiawa Balai Sigalagala. Raden Nakula dan Raden
Sadewa menganggap Arya Wrekodara sudah seperti pengganti orang tua bagi mereka.
Arya
Wrekodara merasa bimbang untuk melangkah. Namun, kuatnya niat untuk mengetahui
seluk-beluk ilmu Sangkan Paraning Dumadi membuatnya menjadi nekat. Ia pun
mengibaskan tangan si kembar, lalu mengangkat tubuh Prabu Puntadewa. Ia berkata
dirinya bersifat kaku, tidak bisa membungkuk atau berjongkok. Untuk itu, ia pun
menjunjung tubuh si kakak sulung dan meminta restu kepadanya. Jika niatnya tulus
dan suci, ia meminta restu supaya berhasil meraih cita-cita. Namun, jika
niatnya bengkok, maka relakanlah dirinya tewas tenggelam atau mati dimangsa
ikan hiu.
Prabu
Puntadewa melihat semangat adiknya begitu kokoh. Ia pun merestui Arya Wrekodara
semoga berhasil meraih cita-cita. Arya Wrekodara lalu menurunkan sang kakak
sulung kemudian mohon pamit berangkat menuju Samudera Minangkalbu. Para Pandawa
yang lain melepas kepergiannya dengan isak tangis. Prabu Puntadewa pun mengajak
mereka masuk ke dalam sanggar pemujaan untuk berdoa bersama kepada Yang
Mahakuasa, memohon yang terbaik untuk saudara mereka nomor dua tersebut.
ARYA
WREKODARA DIHADANG RESI ANOMAN
Arya
Wrekodara berusaha memantapkan hati. Ia menuruti bisikan kalbunya agar berjalan
menuju arah selatan. Di tengah jalan tiba-tiba dirinya berjumpa dengan sang
kakak angkat, yaitu Resi Anoman, sesama Kadang Tunggal Bayu yang tinggal di
Padepokan Kendalisada.
Resi
Anoman bertanya apa tujuan Arya Wrekodara berjalan ke selatan. Arya Wrekodara
menjelaskan semuanya dari awal, yaitu ia ingin berguru ilmu Sangkan Paraning
Dumadi kepada Resi Druna. Resi Anoman tampak kecewa dan meminta sang adik agar
kembali. Apa gunanya berguru kepada Resi Druna? Resi Druna itu guru ilmu
perang, bukan guru ilmu kebatinan. Jika Arya Wrekodara ingin berguru ilmu
Sangkan Paraning Dumadi sebaiknya bertanya kepada Bagawan Abyasa atau Resiwara
Bisma. Mereka berdua jauh lebih paham daripada Resi Druna. Apalagi Resi Druna
terkenal sebagai pendeta mata duitan yang hidupnya melacurkan diri kepada Prabu
Duryudana, muridnya sendiri yang kaya raya.
Arya
Wrekodara merasa kecewa dua hal kepada Resi Anoman. Kecewa yang pertama ialah
Resi Anoman telah menghina gurunya yang sangat ia hormati. Resi Anoman terlalu
menilai orang dari luarnya saja. Yang kedua, Resi Anoman sebagai seorang
pendeta ternyata pikirannya belum tenang, hatinya belum hening, masih suka
membanding-bandingkan antara orang yang satu dengan lainnya. Harusnya seorang
pendeta itu lebih teduh pandangannya, lebih arif pikirannya, dan lebih luhur
budi pekertinya. Menghakimi Resi Druna suka melacurkan diri jelas karena
didorong perasaan amarah semata, bukan hasil dari pemikiran bijaksana dilandasi
hati yang jernih.
Resi
Anoman tersinggung atas ucapan adiknya. Ia pun menyerang Arya Wrekodara untuk
memaksanya kembali. Arya Wrekodara menghadapi serangan itu. Keduanya lalu
berkelahi. Arya Wrekodara berpikir jika dirinya melayani sang kakak angkat,
maka cita-citanya pasti akan tertunda. Maka, dengan cekatan Arya Wrekodara pun
berhasil meloloskan diri dari pertarungan, kemudian melanjutkan perjalanannya
menuju Samudera Minangkalbu.
Resi
Anoman tersenyum melihat kepergian adiknya. Ia berkata dirinya tadi hanyalah
ingin mencoba keteguhan tekad Arya Wrekodara saja. Melihat semangat yang kuat
serta niat yang lurus dari adiknya tersebut, ia pun berdoa semoga Arya
Wrekodara mendapat keberhasilan meraih cita-cita dan selalu dilindungi Tuhan
Yang Mahakuasa.
ARYA
WEKODARA MENCEBUR SAMUDERA MELAWAN NAGA NEMBURNAWA
Arya
Wrekodara telah sampai di tepi laut selatan. Tampak ombak bergulung-gulung
membuat hatinya bergetar. Sejak kecil dirinya kurang pandai berenang, namun
kini terlanjur menyanggupi untuk mencebur samudera, mencari keberadaan air
kehidupan Tirta Pawitrasari Mahening Suci. Pikirannya pun berbisik sebaiknya
pulang saja dan meminta Resi Druna memberikan tugas lainnya yang tidak
berhubungan dengan air.
Tiba-tiba
di atas kepala Arya Wrekodara tampak seekor burung gagak dan seekor burung
patukbawang sedang terbang berputar-putar. Arya Wrekodara seolah-olah bisa
mendengar mereka berbicara tentang kematian. Mereka berkata bahwa hidup atau
mati ada di tangan Sang Pencipta. Mencebur ke dalam lautan bisa jadi tetap
selamat, sedangkan tidur di rumah bisa jadi tidak bangun lagi untuk selamanya.
Arya Wrekodara merasa tersindir. Sebagai kesatria ternyata ia kalah pemikiran
dibanding dua ekor burung kecil. Dengan membulatkan tekad, ia pun melompat
sejauh-jauhnya, dan tubuhnya pun mencebur ke dalam lautan.
Ternyata
benar, Yang Mahakuasa memberikan perlindungan kepadanya. Cincin Druwenda
Mustika Manik Candrama pemberian Batara Indra dan Batara Bayu telah membuat
tubuh Arya Wrekodara mengambang. Ia pun berjalan dengan kaki di dalam air
menuju ke tengah. Semakin lama, makin ke tengah menuruti bisikan kalbunya.
Tiba-tiba
muncul sesosok makhluk berwujud besar dan panjang menyambar tubuhnya. Makhluk
tersebut berwujud naga yang langsung membelitnya mulai kaki hingga leher. Arya
Wrekodara pun meronta-ronta. Namun, semakin meronta, belitan sang naga justru
semakin erat. Ketika mulut si naga hendak mencaplok kepalanya, Arya Wrekodara
sempat menangkap dan menusuk mulut tersebut menggunakan Kuku Pancanaka. Naga
itu pun mati dan bangkainya musnah dari pandangan.
ARYA
WREKODARA BERTEMU DEWA RUCI
Setelah
sang naga lenyap, tubuh Arya Wrekodara digulung ombak besar. Ombak tersebut
membuat dirinya semakin menengah. Arya Wrekodara tidak lagi melawan saat
tubuhnya terombang-ambing bagaikan buih di lautan. Ia berserah diri sepenuhnya
kepada Tuhan Yang Mahakuasa ke mana dirinya akan dibawa. Ia sudah tidak
merasakan apa-apa lagi, bagaikan “mati sajeroning urip, urip sajeroning mati”.
Pada
saat mencapai puncak penyerahan diri itulah, Arya Wrekodara tiba-tiba
dibangunkan oleh suara seseorang. Ketika membuka mata tiba-tiba ia melihat perwujudan
yang sama persis seperti dirinya, tetapi ukuran tubuhnya kecil seukuran
anak-anak. Orang itu mengaku bernama Dewa Ruci.
Dewa
Ruci berkata bahwa Tirta Pawitrasari Mahening Suci yang dicari Arya Wrekodara
ada pada dirinya. Arya Wrekodara heran mengapa orang itu bisa mengetahui isi
hatinya. Tidak hanya itu, Dewa Ruci ternyata bisa menjelaskan riwayat
perjalanan Arya Wrekodara dari awal, lengkap dengan makna yang terkandung di
dalamnya.
Mula-mula
Arya Wrekodara pergi mencari Kayu Gung Susuhing Angin di Gunung Candramuka,
tepatnya di Gua Sigrangga. Kayu Gung Susuhing Angin adalah kiasan dari manusia,
yaitu tempat keluar-masuknya udara. Gunung Candramuka adalah perlambang dari
wajah yang indah, sedangkan Gua Sigrangga adalah perlambang dari tubuh yang
menawan. Ditambah dengan Ditya Rukmuka adalah kiasan untuk keindahan muka,
sedangkan Ditya Rukmakala adalah kiasan untuk keindahan perhiasan.
Wajah
yang indah, tubuh yang menawan, ditambah dengan berdandan dan memakai perhiasan
pula, baik itu bagi kaum pria ataupun wanita adalah hal yang wajar. Karena,
penampilan yang baik akan membuat orang lain lebih menghormati. Akan tetapi,
ada kalanya manusia lebih mementingkan penampilan fisik daripada keindahan
batin. Seringkali manusia lupa diri, lebih banyak menghabiskan waktunya untuk
memperbaiki jasmani daripada rohani. Itulah sebabnya, setelah pertarungan
berakhir, yang muncul adalah Batara Indra dan Batara Bayu. Batara Indra adalah
kiasan untuk panca indra, sedangkan Batara Bayu adalah kiasan untuk napas. Peristiwa
di Gunung Candramuka adalah kiasan bahwa Arya Wrekodara telah mampu menundukkan
godaan panca indra untuk memperindah penampilan, serta mengatur olah napas
untuk mengendalikan pikiran yang liar.
Selanjutnya,
Arya Wrekodara dicegah saudara-saudaranya, yaitu Prabu Puntadewa, Raden Arjuna,
Raden Nakula, Raden Sadewa, ditambah dengan Resi Anoman. Mereka adalah
perlambang saudara gaib manusia, yaitu yang disebut “sedulur papat lima
pancer”. Yang empat adalah kawah, ari-ari, getih, dan puser. Mereka adalah empat
saudara yang ikut lahir bersama bayi melalui “marga ina” atau kelamin ibu.
Secara fisik keempat saudara ini telah mati, tetapi secara rohani mereka selalu
menjaga si bayi siang dan malam.
Keempat
Pandawa pada mulanya mencegah dan menghalangi, namun kemudian mereka bersama
memasuki sanggar pemujaan untuk mendoakan keselamatan Arya Wrekodara.
Demikianlah kiasan dari sedulur papat yang selalu memerhatikan keselamatan si
manusia, tetapi jika manusia membulatkan tekad menempuh bahaya, maka keempatnya
akan tetap melindungi dan mengusahakan keselamatannya.
Sementara
itu, Resi Anoman adalah kiasan dari sedulur pancer, yaitu Marmati, yang disebut
juga Ratu Jalu-Ratu Estri. Adapun Marmati ini tidak lahir melalui marga ina,
tetapi lahir melalui debaran dada sang ibu ketika hendak melahirkan. Marmati
bersemayam di dalam kalbu manusia, memberikan petunjuk siang dan malam. Umumnya
manusia menyebutnya sebagai hati nurani, sedangkan kaum negeri seberang
menyebutnya sebagai malaikat penjaga. Orang-orang yang menuruti hawa nafsu
dalam menjalani kehidupan disebut sebagai kaum angkara murka, yaitu orang-orang
yang tidak mau mendengar suara hati nurani. Mereka lebih suka mengumbar
keinginan apa yang terlihat oleh panca indra. Kaum seberang lautan menyebutnya
dengan istilah godaan setan.
Selanjutnya,
Arya Wrekodara mencebur ke tengah laut dan diserang seekor naga. Sesungguhnya
naga tadi bernama Naga Nemburnawa, yang merupakan kiasan dari hawa nafsu
pribadi manusia. Hawa nafsu sifatnya seperti ular yang mengikat dan membelit
jiwa manusia agar mengikuti kemauannya. Manusia yang menuruti hawa nafsu
diibaratkan seperti dibelit, diseret, dan dicaplok ular kepalanya. Itulah
sebabnya legenda di Timur Tengah mengisahkan iblis mengambil wujud ular saat
menggoda Adam dan Hawa agar melakukan dosa pertama. Bukan berarti ular adalah
lambang keburukan, tetapi ular adalah lambang nafsu yang mematuk dan membelit
manusia.
Nemburnawa
artinya sembilan lubang. Sembilan lubang inilah yang hendaknya dijaga dengan
baik oleh manusia agar tidak semakin terjerumus ke dalam lembah nafsu
keduniawian. Kesembilan lubang tersebut adalah dua mata, dua telinga, dua
hidung, satu mulut, satu kemaluan, dan satu pembuangan. Dalam peristiwa tadi
Arya Wrekodara berhasil mengalahkan Naga Nemburnawa menggunakan Kuku Pancanaka,
ini merupakan perlambang seorang manusia yang telah mengheningkan cipta,
menggenggam tekad, berhasil membebaskan dirinya dari belitan hawa nafsu.
Selanjutnya,
Arya Wrekodara terombang-ambing digulung ombak. Tanpa melawan ia berserah diri.
Demikianlah hendaknya manusia. Setelah mampu memerangi hawa nafsu, hendaknya
bersikap rendah hati di hadapan sesama makhluk, dan berserah diri di hadapan
Sang Pencipta. Adakalanya seseorang merasa bangga setelah berhasil menundukkan
nafsunya. Tanpa ia sadari bahwa perasaan bangga itu justru membuatnya terbelit
oleh nafsu yang lain.
Manusia
yang sempurna justru yang bersikap rendah hati di hadapan sesama, dan berserah
diri di hadapan Sang Pencipta. Kemudian tubuh Arya Wrekodara yang
terombang-ambing digulung ombak tetapi tidak tenggelam adalah perlambang
manusia yang tetap tenang menghadapi pasang surut kehidupan, tetapi tidak
sampai tenggelam, baik itu di dalam suka ataupun duka.
ARYA
WREKODARA MENDAPAT WEJANGAN DI DALAM DIRI SANG DEWA RUCI
Dewa
Ruci lalu berkata kepada Arya Wrekodara agar memasuki tubuhnya melalui telinga
kiri apabila ingin mendapatkan Tirta Pawitrasari Mahening Suci. Arya Wrekodara
merasa bimbang. Mana mungkin tubuhnya yang tinggi besar mampu memasuki tubuh
Dewa Ruci yang kecil mungil seperti itu? Dewa Ruci menjawab, jangankan hanya
seorang Wrekodara, sedangkan bumi, langit, bahkan seluruh alam semesta pun bisa
muat di dalam tubuh Dewa Ruci.
Arya
Wrekodara baru sadar dengan siapa dirinya kini sedang berhadapan. Ia tidak berani
lagi berkaacak pinggang, melainkan menyembah penuh hormat dan menggunakan
bahasa halus sehalus-halusnya. Padahal, selama ini ia selalu berdiri tegak dan
berkacak pinggang jika berhadapan dengan siapa saja, bahkan di depan Batara
Guru sekalipun.
Arya
Wrekodara pun berserah diri sepenuhnya. Dengan tenang ia memasuki telinga kiri
Dewa Ruci. Sungguh ajaib, keadaan di dalam tubuh Dewa Ruci ternyata luas
sekali, bagaikan tanpa batas. Arya Wrekodara sama sekali tidak dapat membedakan
mana utara, mana selatan, mana barat, mana timur. Suasana di dalam pun terang
tetapi tidak menyilaukan. Tidak ada matahari, tidak ada rembulan, juga tidak
ada pelita. Hawa di sana pun tidak panas, juga tidak dingin. Benar-benar
menentramkan hati.
Terdengar
kemudian suara Dewa Ruci membimbing Arya Wrekodara. Mula-mula Arya Wrekodara
melihat pemandangan samudera luas tanpa tepi. Dewa Ruci pun berkata bahwa itu
adalah gambaran “wahananing tyas pribadi”. Itulah wujud perlambang luasnya
kalbu manusia. Namun, karena manusia lebih menuruti hawa nafsu, mereka pun
banyak yang berpikiran sempit, atau istilahnya berhati kecil.
Arya
Wrekodara kemudian melihat pemandangan cahaya samar-samar. Dewa Ruci
menjelaskan bahwa itu adalah Pancamaya yang merupakan “wahananing jantung” atau
sejatinya kalbu. Sifatnya sebagai pemuka, bersemayam di dalam cipta, dan
mengendalikan indra penglihatan, penciuman, pendengaran, pengecap, dan peraba.
Arya
Wrekodara lalu melihat cahaya empat macam, yaitu hitam, merah, kuning, dan
putih. Dewa Ruci menyebut itu adalah “wahananing budi”, yang mewujudkan nafsu
empat perkara. Cahaya hitam adalah kiasan untuk nafsu badaniah, yaitu membuat
manusia merasa lapar, dahaga, letih, dan mengantuk. Cahaya merah adalah nafsu
angkara, membuat manusia ingin meraih cita-cita derajat lebih tinggi. Cahaya
kuning adalah kiasan nafsu keinginan. Nafsu ini mendorong manusia untuk meraih
kegembiraan, baik itu melalui birahi, maupun melalui kegemaran mengumpulkan
barang kesukaan, ataupun menikmati hiburan lainnya. Cahaya putih adalah
perlambang nafsu pemujaan. Nafsu ini mendorong manusia untuk ingin berbuat
baik, ataupun ingin bersembahyang dan beribadah. Keempat nafsu tersebut
ibaratnya menjadi bahan bakar bagi manusia, tetapi harus dikendalikan dengan
baik dan tidak berlebihan. Karena segala sesuatu yang berlebihan akan menjadi
racun bagi kehidupan.
Arya
Wrekodara kemudian melihat cahaya yang menyala seperti api, namun memancarkan
sinar tujuh warna, yaitu hitam, merah, kuning, putih, hijau, biru, dan jingga.
Dewa Ruci menyebut itu adalah “wahananing Pangeran” atau “cahyaning pramana”.
Kedelapan sinar itu merupakan perlambang dari kuasa penciptaan. Sinar hitam
menunjukkan “nisthaning cipta”, sinar merah menunjukkan “dhustaning cipta”,
sinar kuning menunjukkan “doraning cipta”, sinar putih menunjukkan “setyaning
cipta”, sinar hijau menunjukkan “sentosaning cipta”, sinar biru menunjukkan
“sembadaning cipta”, dan sinar jingga menunjukkan “owah-gingsiring cipta”.
Arya
Wrekodara lalu melihat wujud seperti tawon gumana, jernih cahayanya. Dewa Ruci
menjelaskan itu adalah perlambang “pramananing sukma”, meliputi jagad besar dan
jagad kecil, yang sumber kehidupannya dari “pramananing rasa”.
Arya
Wrekodara kemudian melihat wujud seperti boneka gading yang jika diamati
seperti bertahtakan mutiara. Wujudnya bersinar terang benderang. Dewa Ruci
menyebut itulah yang dinamakan “pramananing rahsa” yang berkuasa atas “purba
wasesa” terhadap alam seisinya, mendapat hidup dari Sang Hyang Atma.
Terakhir
Arya Wrekodara melihat wujud sifat tunggal, bukan laki-laki juga bukan
perempuan. Tidak bertempat juga tidak bertakhta. Tanpa rupa dan tanpa warna.
Cahayanya gilang-gemilang tanpa bayangan. Dewa Ruci menyebut itu adalah “Atma
Gaib, Sipat Sejati”. Dialah yang kuasa mengatur alam semesta, bertempat di
dalam “Sang Urip”.
Arya
Wrekodara merasa nyaman tinggal di dalam diri Sang Dewa Ruci. Ingin rasanya ia
selamanya tinggal di sana. Dewa Ruci berkata bahwa belum saatnya Arya Wrekodara
menyatu dengan diri-Nya. Masih banyak yang harus ia lakukan di alam nyata.
Untuk itu, Arya Wrekodara harus kembali ke dunia untuk menyebarkan kasih sayang
di antara sesama makhluk, tanpa melihat perbedaan dari jenis apa, suku apa,
bangsa apa, agama apa, ataupun golongan apa pun juga.
Arya
Wrekodara menurut. Ia pun keluar melalui telinga kanan Dewa Ruci. Sungguh
ajaib, saat keluar rambutnya telah digelung, tidak lagi terurai seperti tadi.
Dewa Ruci kini juga berwujud sama persis seperti dirinya, karena Dewa Ruci
memang perwujudan jati dirinya sendiri.
Dewa
Ruci menjelaskan mengapa kini Arya Wrekodara memakai gelung minangkara, adalah
perlambang agar ia selalu rendah hati dan berserah diri. Gelung minangkara
berwujud rendah di depan, tinggi di belakang, atau kecil di depan, besar di
belakang. Meskipun Arya Wrekodara telah mempelajari ilmu Sangkan Paraning
Dumadi, pernah merasakan Manunggaling Kawula Gusti, namun hendaknya tetap
rendah hati, tidak menunjukkan keberhasilannya di depan umum. Arya Wrekodara
tidak boleh tinggi hati, juga tidak boleh pamer kepandaian. Hendaknya Arya
Wrekodara tetap menjadi manusia sejati, yaitu rendah hati di hadapan sesama,
dan berserah diri di hadapan Sang Pencipta.
Demikianlah,
Dewa Ruci telah menjelaskan semuanya. Ia berpesan agar Arya Wrekodara selalu
menghormati Resi Druna yang merupakan gurunya di alam nyata. Tanpa perintah
dari Resi Druna, tidak mungkin Arya Wrekodara dapat bertemu dengan Dewa Ruci.
Usai berkata demikian, ia pun menghilang menjadi seberkas cahaya dan masuk ke
dalam diri Arya Wrekodara.
RESI
DRUNA MENYUSUL ARYA WREKODARA
Raden
Permadi sangat mengkhawatirkan keselamatan kakak keduanya. Ia pun bergegas
menuju Kerajaan Hastina dan di tengah jalan bertemu Resi Druna yang hendak
pulang ke Padepokan Sokalima. Dengan isak tangis, Raden Permadi meminta sang
guru bertanggung jawab apabila Arya Wrekodara tidak kembali ke daratan. Resi
Druna harus menyusul mencebur ke dalam samudera.
Resi
Druna kecewa di dalam hati karena dulu pernah membangga-banggakan Raden Permadi
sebagai murid terbaiknya. Tak disangka, sang murid justru meminta dirinya
mencebur ke laut. Akan tetapi, jika dipikir-pikir memang Resi Druna adalah
penyebab terjerumusnya Arya Wrekodara. Ia pun berkata jika lewat tengah hari
Arya Wrekodara belum juga kembali, maka dirinya bersedia mencebur samudera
untuk menyusul muridnya itu.
Akhirnya,
matahari pun mulai condong ke barat. Resi Druna bergegas menuju ke lautan
dengan diikuti Raden Permadi. Begitu sampai di tepi pantai, ia langsung
melompat untuk mencebur ke air. Tiba-tiba Arya Wrekodara muncul dari dalam
lautan dan langsung menangkap tubuh sang guru.
Arya
Wrekodara menggendong tubuh Resi Druna naik ke daratan dan disambut haru oleh
Raden Permadi. Arya Wrekodara mengaku dirinya telah mendapatkan air Tirta
Pawitrasari Mahening Suci, tetapi tidak berwujud benda, melainkan berwujud
pengalaman rohani bersama Dewa Ruci. Ia sangat berterima kasih kepada Resi
Druna yang telah memberikan petunjuk kepadanya.
Resi
Druna salah tingkah. Awalnya ia ditugasi menjerumuskan muridnya itu tapi
ternyata sang murid justru mendapatkan anugerah yang tak ternilai harganya.
Resi Druna pun merasa ikut bahagia. Ia mengajak Arya Wrekodara dan Raden
Permadi untuk berdoa bersama, memanjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang
Mahakuasa karena semuanya kini berakhir dengan baik.
No comments:
Post a Comment