Sebagai pedagang kecil yang menjual makanan kecil di pondok,
Mbah Ngismatun Sakdullah Solo ( wafat 1994 ) – biasa dipanggil Mbah Ngis – memiliki
cara sendiri dalam berdagang yang sulit dipahami orang lain. Pak Udin, salah seorang
anak Mbah Ngis, merasa sulit memahami mengapa Mbah Ngis sering tidak mau pusing
dengan persoalan untung dan rugi. Mbah Ngis memilih cara hati-hati dalam
berdagang sehingga tidak asal mendapatkan untung.
Suatu hari, Pak Udin menyampaikan usul kepada Mbah Ngis agar
barang-barang atau makanan konsinyasi yang tidak laku terjual supaya
dikembalikan kepada pemasoknya sesuai kesepakatan agar tidak merugi. Mbah Ngis
tidak setuju dengan usul tersebut, tetapi malahan lebih suka menyedekahkannya kepada
anak-anak santri putra di pondok yang notabene mereka bukan pelanggan warungnya
karena Mbah Ngis hanya melayani santri putri.
Mbah Ngis memiliki beberapa alasan terkait dengan sikapnya
tersebut. Pertama, Mbah Ngis merasa kasihan kepada pemasoknya kalau harus
menerima kembalian barang-barang yang tak laku. Kedua, Mbah Ngis merasa kasihan
kepada beberapa santri putra yang merasa lapar sehabis belajar malam sementara
uang sudah tak punya.
Selain itu, Pak Udin juga pernah usul agar uang hasil
penjualan barang-barang konsinyasi yang sudah laku terjual supaya diputar dulu
untuk tambahan modal dengan harapan dapat meningkatkan omzet penjualan dan
keuntungan.
Alasan Pak Udin adalah orang yang menitipkan dagangan itu baru
datang menagih pada hari berikutnya atau dua hari kemudian.
Terhadap usulan Pak Udin di atas, Mbah Ngis menjawab,
"Aku hanya berani mengambil labanya saja dari barang barang titipan orang.
Sedang uang setoran milik pemasok, aku tidak berani memutarnya. Aku khawatir
kalau uang itu aku putar, maka tidak akan mbarokahi karena menggunakan uang
yang bukan miliknya.”
Biasanya, uang setoran itu oleh Mbah Ngis digulung, lalu
diikat dengan karet untuk memastikan agar tidak tercecer atau terpakai untuk
keperluan lain. Selain alasan takut tidak mbarokahi, Mbah Ngis juga merasa
khawatir akan mengecewakan pemasok. Misalnya, ketika pemasok datang menagih uang
setoran, Mbah Ngis tidak bisa memberikannya karena, misalnya, uang yang diputar
itu belum kembali menjadi uang tunai karena barang yang didapat dengan “modal
ghashaban” itu belum laku terjual.
Meski mendapat pendidikan hingga perguruan tinggi, Pak Udin
mengaku sulit memahami cara berpikir ibunya dalam berdagang. “Apakah seperti
itu yang disebut berdagang dengan Tuhan…? ” Tanya Pak Udin pada diri sendiri.
Hal yang membuat Pak Udin heran tetapi sekaligus mensyukurinya
adalah meskipun Mbah Ngis kurang memikirkan keuntungan dalam berdagang,
nyatanya Mbah Ngis dapat menghidupi keluarganya dan mampu membiayai sekolah anak-anaknya
hingga pendidikan tinggi. Pak Udin menduga kuat cara Mbah Ngis berdagang dengan
hati-hati atau wara’ itu mbarokahi sehingga menghasilkan rezeki yang walaupun
tidak berlimpah tetapi cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul
Ulama (UNU) Surakarta
No comments:
Post a Comment