Tidak semua tepuk tangan adalah tanda dukungan. Ada tepuk tangan yang sesungguhnya penuh ironi, dilakukan hanya untuk menutupi rasa iri yang menggerogoti hati.
Dalam psikologi sosial, fenomena ini disebut schadenfreude, yaitu perasaan senang melihat penderitaan atau kegagalan orang lain, termasuk orang terdekat.
Ironisnya, perasaan ini sering kali datang justru dari mereka yang kita anggap sahabat.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal teman yang selalu hadir di sekitar kita, tersenyum, bahkan memberi ucapan selamat saat kita berhasil.
Namun, ada kalanya kita merasakan kejanggalan: ekspresi yang kurang tulus, komentar yang diselipi sindiran, atau sikap yang seolah mengurangi makna dari pencapaian kita. Itulah tanda-tanda kecil yang sering kita abaikan.
Fakta menariknya, menurut penelitian psikologi interpersonal, rasa iri lebih kuat muncul dalam lingkaran pertemanan dekat dibanding hubungan jauh, karena di sanalah perbandingan diri paling sering terjadi.
Berikut tujuh alasan mengapa seorang teman bisa diam-diam senang melihat kegagalan kita, sekaligus tanda bagi kita untuk lebih jeli membaca relasi sosial.
1. Persaingan terselubung dalam pertemanan
Dalam banyak kasus, persahabatan justru menjadi ruang kompetisi yang tidak disadari. Seorang teman bisa merasa terancam ketika kita memiliki pencapaian yang lebih baik.
Misalnya, saat kita berhasil mendapatkan pekerjaan yang diidam-idamkan, alih-alih ikut bangga, mereka justru mulai menjaga jarak atau memberi komentar yang meremehkan.
Mereka tidak akan terang-terangan menunjukkan rasa iri, tapi kegagalan kita akan menjadi momen yang diam-diam mereka rayakan. Ini terjadi karena perbandingan sosial membuat mereka merasa lebih rendah setiap kali kita melangkah maju.
Bila kondisi ini dibiarkan, pertemanan akan berubah menjadi perlombaan diam-diam, bukan lagi ruang aman untuk saling mendukung.
2. Kerapuhan harga diri
Teman yang diam-diam bahagia melihat kita gagal sering kali adalah orang dengan harga diri rapuh. Mereka sulit menerima bahwa orang lain, apalagi teman dekat, bisa lebih berhasil.
Contoh sederhana adalah ketika kita menceritakan pengalaman liburan atau pencapaian baru, respons mereka justru berupa pengalihan pembicaraan atau komentar yang menekankan sisi negatif.
Bukan karena mereka tidak peduli, melainkan karena keberhasilan kita membuat mereka merasa kalah dalam kompetisi yang mereka ciptakan sendiri di kepala.
Pada akhirnya, kegagalan kita memberi mereka validasi palsu bahwa mereka tidak setertinggal itu, setidaknya untuk sementara waktu.
3. Relasi yang tidak seimbang
Dalam pertemanan yang sehat, ada keseimbangan antara memberi dan menerima. Namun, ketika salah satu pihak terlalu sering merasa berada di bawah bayangan yang lain, relasi itu menjadi timpang.
Misalnya, seorang teman yang selalu meminta bantuan akademik, finansial, atau koneksi, akan merasa terancam jika kita semakin maju.
Keberhasilan kita justru mengingatkan mereka pada ketergantungan yang selama ini mereka miliki. Maka, kegagalan kita menjadi jalan bagi mereka untuk merasa setara kembali.
Jika hubungan hanya bertahan di atas ketimpangan seperti ini, sulit bagi pertemanan itu untuk benar-benar tulus.
4. Sulit membedakan iri dengan kagum
Ada kalanya rasa kagum bercampur dengan iri. Sayangnya, ketika iri lebih dominan, teman yang kita anggap dekat bisa merasa lega saat kita tersandung masalah.
Misalnya, mereka bisa terlihat antusias mendengar cerita keberhasilan kita, namun di sisi lain sering menyebarkan gosip kecil yang merusak reputasi kita.
Mereka mungkin tidak menyadari sepenuhnya, tapi di dalam hati ada ketidakmampuan menerima bahwa orang lain bisa lebih unggul.
Ketidakjelasan antara kagum dan iri inilah yang sering membuat kita salah membaca ketulusan seorang teman.
5. Perasaan terjebak dalam bayang-bayang
Seorang teman bisa merasa hidupnya tidak pernah terlihat karena kita selalu berada di garis depan. Dalam kondisi seperti itu, kegagalan kita bisa menjadi satu-satunya kesempatan bagi mereka untuk merasa lebih unggul.
Misalnya, seorang sahabat yang selalu menjadi pendengar setia tetapi jarang mendapat sorotan. Saat kita gagal, mereka diam-diam merasa lebih kuat, seolah mendapat giliran untuk diperhatikan. Rasa lega itu membuat mereka tidak benar-benar berempati terhadap kesulitan kita.
Situasi ini membuat kita perlu mengevaluasi: apakah hubungan itu benar-benar setara, atau sekadar relasi di mana salah satu pihak nyaman bersembunyi di balik bayang-bayang yang lain.
6. Kebahagiaan yang bergantung pada perbandingan
Ada tipe teman yang kebahagiaannya tidak datang dari pencapaian pribadi, tetapi dari membandingkan diri dengan orang lain. Dalam psikologi, ini disebut downward comparison, yaitu kecenderungan merasa lebih baik hanya ketika orang lain lebih buruk.
Contoh nyata adalah saat kita mengalami kesulitan finansial, mereka tampak lebih perhatian dari biasanya. Namun, perhatian itu tidak murni, melainkan lahir dari rasa puas bahwa hidup mereka lebih stabil. Begitu keadaan kita membaik, perhatian itu hilang seolah tidak pernah ada.
Dalam pola hubungan seperti ini, kegagalan kita bukanlah hal yang mereka sesali, melainkan sesuatu yang secara emosional mereka butuhkan.
7. Ilusi kesetiaan dalam lingkaran sosial
Banyak orang beranggapan bahwa teman dekat pasti tulus. Namun, kesetiaan bisa jadi hanya ilusi yang kita ciptakan.
Ada teman yang hadir di setiap momen bahagia, tetapi menjauh saat kita benar-benar jatuh. Lebih parahnya, ada pula yang tampak mendukung di depan, namun di belakang memberi komentar yang melemahkan. Hal ini tidak selalu terjadi karena kebencian, melainkan karena ketidakmampuan mereka mengelola rasa iri.
Mengabaikan tanda-tanda seperti ini membuat kita terjebak dalam lingkaran yang melelahkan. Di logikafilsuf, pembahasan eksklusif sering kali menyingkap bagaimana dinamika psikologis pertemanan bekerja, agar kita lebih waspada dalam menjaga diri.
Tidak semua senyum dalam pertemanan adalah tanda ketulusan. Ada yang sekadar topeng untuk menyembunyikan rasa lega melihat kita tersandung. Pertemanan yang sehat seharusnya menjadi ruang aman untuk tumbuh, bukan arena di mana kegagalan kita diam-diam dirayakan.
Apakah kamu pernah merasa ada teman yang diam-diam senang melihatmu gagal? Bagikan ceritamu di kolom komentar dan sebarkan tulisan ini agar lebih banyak orang belajar membaca tanda-tanda dalam pertemanan.
Bukan merasa lagi tpi fakta depan mata yg baru sja sya alami..saat sya diatas..smua kliatan baik..ktika sya jatuh..aslinya kliatan smua..diantara 10 orang hanya 1-2 yg ga brubah/masih ttep baik..sisanya cuek jutek menjauh kaya orang ga kenal..mati aja dah sana..bodo amat..
ReplyDeletePengalaman yang sama 😁, ternyata banyak juga yang mengalami hal seperti ini, saat kita terjatuh dan mereka semakin naik dari segi kerjaan, jabatan, penghasilan, yg dulu nya akrab, Sekarang seolah tak kenal, asing, mungkin mereka merasa sdh gak selevel lagi dgn yg di bawah mereka 😔
ReplyDelete