Istilah khilafah yang ramai
diributkan itu sebenarnya rada blunder, tergantung siapa yang menggunakannya.
Yang pasti selama 23 tahun masa
kenabian, tidak ada sekalipun istilah khilafah digunakan. Sebutlah ketika Nabi
SAW berkirim surat kepada para raja dunia, tidak sekali pun Beliau SAW
menyebut-nyebut istilah khilafah di dalam teks suratnya.
Ini contoh naskah surat yang
dikirim ke Kaisar Heraklius di pusat Kerjaan Romawi :
Bismillahirrahmanirrahim, dari
Muhammad utusan Allah kepada Heraklius Kaisar Romawi. Semoga keselamatan
dilimpahkan kepada yang mengikuti petunjuk.
Amma ba’du, Aku mengajak Anda
untuk memeluk Islam, bila Anda masuk Islam maka dijamin Anda pasti selamat.
Bahkan Allah akan menganugerahi Anda dua kali. Namun bila Anda kurang berkenan,
maka ada beban dosa kaum Aristiyyin.
Aneh sekali kalau seorang kepala
negara berkirim surat kepada sesama kepala negara, tapi tidak menyebutkan
dirinya sebagai kepala dari negaranya sendiri.
Di surat itu jelas sekali Nabi
SAW menyebut dirinya sebagai utusan Allah, bukan sebagai kepala atau raja dari
suatu negara. Sedangkan kepada siapa surat itu ditujukan, jelas sekali disebut
kepada Kaisar lengkap dengan jabatannya sebagai penguasa negeri Romawi.
Jangankan memperkenalkan diri
sebagai kepada negara dari sebuah khilafah, bahkan Nabi SAW tidak menyebut diri
beliau sebagai kepala negara manapun.
Ternyata semua surat yang Beliau
SAW kirim ke berbagai kepala negara di masa itu sama saja, sama sekali tidak
memperkenalkan diri sebagai kepada dari suatu negara, apalagi khilafah.
Berikut ini adalah nama dari para
raja yang dikirimi surat, saya nyontek dari karya Safiyyurrahman Al-Mubarakfuri
dari kitab : Ar-Rahiq Al-Makhtum.
1. Kaisar Heraklius di Romawi
2. Raja Muqauqis di Mesir
3. Kisra di Persia
4. Najasyi di Habasyah
5. Al-Mundzir bin Sawi, Penguasa
Bahrain
6. Haudzah bin Ali, Penguasa
Yamamah
7. A-Haris bin Abi Syamr Penguasa
Damaskus
8. Jayfar, Raja Oman
Jadi kalau hari ini ada orang
sering mengira bahwa khilafah itu ada di masa kenabian, justru di masa kenabian
sendiri khilafah belum pernah disebut-sebut.
Kalau pun mau kita sebut istilah
khilafah, maka paling jauh hanya kembali ke zaman para shahabat, dimana ada Abu
Bakar yang berperan sebagai “ pengganti “ fungsi kepemimpinan Rasulullah SAW.
Pengganti itulah makna dari kata
khalifah. Sebutan lengkapnya adalah khalifatu rasulillah alias pengganti ( plt )
dari Nabi Muhammad SAW. Bukan dari sisi wahyu dan risalah tapi dari sisi
managemen kepemimpinan.
Masa itu berlangsung hanya
sekitar 30-an tahun saja. Masa Abu Bakar hanya 2 tahun, masa Umar 10 tahun,
masa Utsman 12 tahun dan masa Ali 5 tahun. Jadi totalnya 2+10+12+5= 29 tahun.
Tidak sampai 30 tahun, lalu bubar.
Kemudian muncul lagi banyak
khilafah yang menghiasi lembar sejarah Islam sepanjang 14 tahun dengan
bermacam-macam model. Namun meski modelnya bermacam-macam, ada kesamaan yang
nyaris tidak pernah berbeda, antara lain :
1. Tidak Ada Pemisahan Kekuasan
Siapa pun yang menjadi khalifah,
maka dia punya kekuasan yang sifatnya mutlak dan absolut. Seorang khalifah
tidak pernah harus bertanggung-jawab kepada siapa pun, tidak kepada wakil
rakyat, juga tidak kepada rakyat.
Dia adalah eksekutif, sekaligus
juga dia juga yang jadi judikatif, plus juga dia juga yang jadi legislatif.
Sungguh kekuasaan yang tidak terbatas.
Dalam kenyataannya, dia yang jadi
penguasa, dia juga yang jadi hakim, dia yang jadi polisi, dia yang jadi
komandan perang dan semua dirangkap jadi satu.
Pertanyaannya : Kalau hari ini
kita mau mendirikan khilafah, apakah kekuasaan sang khalifah akan mutlak,
absolut dan tak terbatas seperti gitu…?
Silahkan dijawab. Mudah sekali
kok menjawabnya, cuma bilang iya atau tidak. Sesederhana itu dan tidak harus
buka kitab ini kitab itu. Penasaran aja sih, soalnya gak pernah dijawab.
2. Tidak Dipilih Tapi Berdasarkan
Warisan
Kekuasaan yang sedemikian mutlak
dan absolut itu tidak didapat lewat musyawarah apalagi pemilihan, melainkan
lewat jalur warisan.
Khalifah sebelumnya punya hak
paten untuk menunjuk siapa yang mau dia jadikan khalifah berikutnya. Seringkali
anaknya, kadang adiknya, atau keponkan bahkan bisa juga istrinya sendiri.
Pertanyaannya : Kalau hari ini
kita mau mendirikan khilafah, apakah sang khalifah ditunjuk berdasarkan warisan
dari khalifah sebelumnya…? Atau dipilih…? Dipilih oleh siapa….? Dan mereka yang
memilih itu siapa….? Bagaimana sampai mereka bisa jadi tim yang memilih sang
khalifah….?
Silahkan dijawab. Bilang aja iya
atau tidak, pakai bahasa isyarat pun boleh. Apa sih susahnya cuma bilang iya
atau tidak…?
3. Tidak Ada Masa Jabatan
Sepanjang sejarah para khalifah
14 abad, tidak pernah ada ketentuan berapa lama masa kekuasaan seorang
khalifah. Intinya, siapa pun yang jadi khalifah, maka dipastikan tidak akan
pernah melepaskan jabatannya sampai kapan pun.
Karena jabatan khalifah itu
jabatan seumur hidup sampai mati. Kalau ada pengecualian, satu dua saja kisah
unik. Misalnya Sultan Murad ayahnya Sultan Muhammad Al-Fatih, pernah
mengundurkan diri lalu menunjuk puteranya yang masih kanak-kanak bau kencur
menjadi khalifah.
Akhirnya dia balik lagi menjadi
khalifah, gara-gara istana penuh keributan yang sulit didamaikan, kecuali bila
Murad kembali menengahi.
Pertanyaannya : Kalau hari ini
kita mau mendirikan khilafah, adakah masa jabatan tertentu buat sang khalifah,
ataukah dia akan berkuasa selamanya dan sebosennya…?
Silahkan dijawab. Cukup
menganggukkan kepala kalau iya dan geleng kalau tidak. Saya tungguin
jawabannya.
4. Tanpa Undang-undang
Zaman kekuasan para khalifah sepanjang
14 abad, berbagai khilafah itu dijalankan berdasarkan kebijakan subjektif para
khalifahnya.
Di zaman seperti itu belum lagi
dikenal istilah konstitusi, undang-undang atau apa lah istilahnya.
Kalau pun undang-undang dibuat,
100% buatan sang khalifah tanpa harus menunggu pengesahan dari lembaga tinggi
seperti legislatif di zaman kita. Makanya dia yang bikin undang-undang, dia
juga yang melanggar, bahkan dia juga yang menghapusnya.
Tidak ada rumus kok sampai
khalifah dianggap melanggar hukum. Sebab dia sendiri yang bikin hukum. Kalau
ternyata tindakannya melanggar hukum, bukan dia dihukum, tapi hukumnya yang
dihapus.
Makanya wajar kalau diistilahkan
di zaman sekarang sebagai : SULTAN. Sultan mah bebas.
Pertanyaannya : Kalau hari ini
kita mau mendirikan khilafah, bikin undang-undang atau gak…? Kalau bikin, yang
bikin siapa…? Khalifah sendirian saja atau ngajak orang lain…? Kalau ngajak
orang lain, orang lain itu siapa….? saudaranya sendiri…?
Silahkan dijawab. Masih
sederhananya cuma pilihan berganda ya dan tidak.
5. Penasehat Khalifah
Jadi yang menetapkan hukum itu
langsung sang khalifah. Boleh dibilang konstitusi itu adalah bagaimana maunya
sang khalifah. Khalifah itu sendiri yang jadi hukum.
Memang ada tim yang sering
disebut sebagai ahlu-halli wal aqdi. Namun dalam kenyataannya, mereka bukan
lembaga yang berkuasa di atas kekuasaan sang khalifah. Mereka sekedar tim
penasehat yang kapan waktu bisa diangkat dan kapan waktu bisa dipecat.
Ahlul Halli wal Aqdi sendiri
adalah orang-orang yang dianggap pintar dalam banyak hal, entah masalah agama,
ekonomi, pertanian dan lainnya, namun kedudukan mereka diangkat oleh sang
khalifah.
Nasehat dan masukan mereka bisa
saja didengar oleh khalifah, kalau dirasa baik dan menguntungkan. Tapi kalau
khalifah tidak suka, dia berhak bersikap masa bodoh dan cuek. Tidak ada
kewajiban bagi khalifah untuk mentaati majelis itu. Yang ada malah dipecat
kalau macam-macam.
So, tawaran-tawaran khalifah yang
banyak dijajakan hari ini, sayangnya tidak pernah dikupas secara ilmiyah. Saya
sering lempar pertanyaan di atas kepada teman-teman saya sendiri yang banyak
mengangkat tema khilafah.
Sayangnya teman-teman sesama
ustadz pun banyak yang bingung juga. Intinya saya tidak pernah mendapatkan
jawaban yang meyakinkan tentang seperti apa sistem khilafah yang dimaksud.
Jadi intinya cuma ribut-ribut
doang, giliran dibedah, pada angkat tangan dan geleng kepala. Gak pada paham
juga sih sebenarnya.
Pernah beberapa kali saya
didatangi jamaah pengajian yang rada cenderung mengajak kepada penegakan
khilafah, tapi begitu saya tanyakan lima pertanyaan saya di atas, tiba-tiba
semua diam, bisu, tak bersuara, hening, sunyi, senyap dan tak berkutik dan
tidak ada kepastian jawaban.
Ada satu yang menjawab, tapi
jawabannya rada ngawur dan seenaknya. Dengan gelagapan dia bilang begini :
" Itu masalah nanti ustadz. Kalau khilafah sudah tegak, ustadz akan tahu
sendiri ".
Kebayang gak kalau ada sales dari
travel menawarkan paket haji. Dia bilang pasti berangkat tahun ini juga, tapi
pertanyaan saya tak satupun dijawab :
1. Pakai visa apa…? Visa bisnis,
furoda atau resmi…? Tidak dijawab.
2. Nginap di hotel apa nanti di
Mekkah, Madinah, Jeddah…? Juga tidak dijawab.
3. Di Mina lokasi kita nanti di
maktab berapa…? Diam lagi tak menjawab.
4. Berangkat pergi pulang ke tanah
suci naik apa….? Garuda, Saudia, Etihat, Emirat, Turkish atau apa….? Lagi-lagi
juga tidak dijawab.
5. Berapa lama perjalanan hajinya….?
Berangkat tanggal berapa dan pulang tanggal berapa….? Diam lagi.
Wajar dong kalau saya bingung,
masak jual paket haji sistem misteri kayak gitu. Pokoknya akan tahu kalau sudah
sampai disana nanti. Sekarang percaya saja.
Kalau nanti ustadz sudah ikut
travel kita, dan sudah sampai ke level senior, akan diberikan kitabnya. Nah, di
kitab itulah akan jelas semuanya.
So, ini brosurnya gimana ya…?
Ditanya serius kok ngeles mulu jawabannya…?