Bicara sejarah tentu tak lepas dari bicara bukti-bukti primer.
Artinya memaparkan sejarah bukan sedang menyuguhkan karangan bebas, meski
terkadang cara penyampaiannya mirip mendongeng.
Mengupas sejarah bisa jadi mendongeng, tapi mendongeng belum
tentu mengupas sejarah. Sebab dongeng itu tak butuh observasi pun tak perlu
perangkat otentik.
Maka berhati-hatilah dalam bersejarah. Lebih baik pelajari
dulu pada ahlinya. Karena mengabarkan sejarah yang salah adalah dusta. Dan
setiap dusta merupakan dosa besar serta ada karmanya. Ini rumus hukum semesta,
bisa kuwalat..! Jangan dianggap remeh. Bisa ditimpa masalah dalam sepanjang
hidup. Lebih baik bahas yang aman-aman saja…!
Catat dan beri garis tebal…!
Setidaknya saya memiliki beberapa dokumen kuno yang biasa
diistilahkan manuskrip, ada yang ditulis pada zaman Wali Sanga dan ada pula
setelahnya. Pun tak luput berisi tentang sejarah Eyang Kanjeng Sunan Gunung
Jati Cirebon Maulana Syarif Hidayatullah Al Quthub, dari semasa beliau masih
muda dan kemudian wafat. Lengkap..!
Walau demikian… Saya tidak sembarang menulis sejarah beliau.
Butuh penelitian super ketat dan berusaha maksimal melacak, mempelajari,
mengerti dan memahami situs-situs kuno sebagai obyek pendukung. Termasuk
melakukan riset konkrit di Astana Gunung Sembung, yakni kompleks makam Eyang
Kanjeng Sunan di Cirebon.
Di Astana Gunung Sembung
Berbagai bentuk, corak pahatan, pola ukiran, hiasan bunga,
simbol-simbol, gambar medalion, guratan huruf dsb yang terpampang di gapura,
tembok gedong dan batu nisan didalam Astana Gunung Sembung, tidak luput dari
obyek penelitian saya. Bertahun-tahun saya lakukan observasi secara serius.
Setidaknya saya menemukan ratusan ragam keindahan yang teramat
monumental, menakjubkan, bersifat sakral ataupun profan dan bisa menjadi bagian
terpenting dari pondasi sejarah aktual dalam buku saya tentang Eyang Kanjeng
Sunan Gunung Jati yang berjudul Jejak Al Quthub Nusantara ( buku untuk kalangan
sendiri )
Astana Gunung Sembung yang terdiri dari 9 pintu dan halaman,
dibangun oleh Kanjeng Sunan sesungguhnya memiliki misi yang dahsyat…! Tidak
berkaitan dengan stratifikasi sosial namun lebih pada soal menjaga hubungan
Trah/ Sarasilah, wasiat turun temurun, fakta sejarah dan cermin kepribadian
Eyang Kanjeng Sunan semasa hidup sehingga dapat diteladani.
Maha Karya Batu Nisan Astana Gunung Sembung:
Masih soal halaman Astana Gunung Sembung. Pada halaman 1, 2
dan 3 saya hitung ada 888 makam dengan rincian 207 makam pada halaman ketiga,
333 makam pada halaman kedua dan 348 pada halam pertama.
Dari ketiga halaman tersebut saya mengidentifikasi ada 222
tipe nisan dengan segala identitas dan ciri khasnya. Sebagian bergelar
Pangeran, kemudian sebagian lagi bergelar Elang, Ratu dan Raden.
Kalo gelar saya jelas tukang sapu yang kadang nyambi markir.
Untuk tambah-tambah beli rokok…! Hehehe…
Dari ketiga halaman tersebut batu nisannya ada yang memiliki
keterkaitan dengan pola bentuk batu nisan berciri khas Samodra Pasai, Tralaya,
Demak, Madura, Pajang, Mataram Islam, Bugis, Belambangan dan Ternate.
Berlanjut kehalaman berikutnya, setelah Pintu Pasujudan
Pintu Pasujudan yang tertutup dan dibuka pada saat tertentu
saja adalah pintu halaman ke 4 di Astana Gunung Sembung, kemudian berlanjut
secara berundak-undak hingga kehalaman kemuncak yakni setelah pintu ke 9 atau
disebut Gerbang Teratai, setelah melewati pintu ini kita akan langsung
berhadapan dengan Pesarean Eyang Kanjeng Sunan Gunung Jati Maulana Syarif
Hidayatullah Al Quthub.
Pesarean Eyang Kanjeng Sunan Gunung Jati dikelilingi Pesareannya
para Wong Agung. Pun didalamnya ada Maha Karya dahsyat yang tidak mungkin saya
uraikan secara terbuka. Dengan alasan sangat sacral…!
Ini adalah bagian dari bukti primer sejarah, untuk menunjukkan
bahwa saya tidak sedang membuat karangan bebas.
Semoga hidup kita senantiasa berlimpah ruah berkah dan penuh
suka cita.