Kata " Mateg " sepadan
maknanya dengan kata " Wenang " yang memiliki arti kuasa. Maksudnya
disini adalah menguasai segala unsur didalam diri sendiri, tentu tidak serta
merta kemudian mengingkari kekuasaan Sang Amurba Jagat, ini semacam pengendalian
rasa. Adapun Keyakinan tentang kekuatan sejatinya hanya milik Tuhan, tetap
terpatri
Maka jika Anak Jawa sudah
memasuki fase " Hameteg, " dia telah berhasil mengendalikan segala
rasa tersebut. Intinya adalah jiwa, hati serta pikiran tidak lagi dikuasai oleh
rasa semu, sebab kesemuan itu hakikatnya ilusi. Sehingga perlu dikuasai.
Kemudian sedih tidak menjadi penyebab meneteskan air mata, bahagia pun tak
dapat membuat terlena. Ibaratnya begitu
Itulah tataran " Ingsun "
pengertiannya adalah dirimu yang sebenarnya atau " Jati Diri, Diri Kang
Sejati. " Memang agak rumit jika dijelaskan dengan tulisan, perlu
diterangkan secara berhadap-hadapan. Karena memang Ilmu Jawa yang Pakem tidak
diperkenankan diserap hanya dengan membaca.
Mengutip dawuhnya Kanjeng Sunan
Lemah Abang : " Kasiwuh Caya Ngelmi Murwate Lawan Dhep-dhepan " Bahwa
Ke-Agungan cahaya ilmu akan melebur kedalam sukma dengan cara berhadap-hadapan.
Keterangan pada bab ini senada dengan Wulang Reh Ngarsa Dalem Sri Susuhunan
Pakubuwana IV dalam guratan-guratan Pupuhnya. Pamuji Kula : " Mugiya Pra
Karuwa Suwargi Langgeng. "
Dalam hemat saya. Hal Warisan
Luhung seperti inilah yang semestinya kita pelajari, kita pahami dan
dikembangkan. Betapa luas dan cerdasnya ilmu pengetahuan para Leluhur kita.
Menggarap wilayah jasmani serta rohani. Teramat menyeluruh dan mengagumkan,
jenius
Sungguh kita Anak Jawa dalam
pandangan sejarah secara geneologi adalah keturunannya Wong Agung. Yang
berperadaban besar, ber-Adat terhormat, ber-Budaya luhur, berseni tinggi dan sarat
dengan nilai-nilai kearifan. Tidak sembrana, asal-asalan.
Mateg itu bukan berdefinisi kulit
luar pada suatu awalan lafal doa atau mantra saja. Ada muatan terdalam, yang
berkelas mewah pada suatu ranah pengetahuan. Ini ilmu mangejawantah! Peleburan
jiwa dan raga sehingga menjadi tunggal yang bertaraf " Ingsun. "
Sejatinya dirimu yang sejati
Ini tidak berkaitan dengan
doktrin Agama manapun, namun tidak akan bertentangan dengan Agama atau
keyakinan manapun. Leluhur kita itu " Luwes Senajan Digdaya " dan tidak
" Ladak " yaitu tidak beringas menyalah-nyalahkan, tidak serakah
menghujat, tidak beringas semau-maunya menang sendiri dan merasa paling benar.
Leluhur itu cerdik dalam " Empan Papan "
Jika manusia kelas emperan
seperti saya yang jelas bukan panutan, bukan guru, bukan kalangan cendekiawan
dan tidak golongan ningrat, tokoh masyarakat pun bukan. Namun teramat mengerti
dan paham akan ajaran Leluhur yang Luhung. Tentu jenengan-jenengan yang cerdas,
pintar dan berpendidikan tinggi tentu jauh lebih mengerti dan paham dibanding
saya.
Yen kowe Jawa aja ilang Jawamu.
Siji wadah aja pecah. Terpujilah orang-orang terpuji.
Waras….
No comments:
Post a Comment