Orang paling emosional sering merasa paling benar. Sayangnya, justru di momen itu kata-kata kita paling tidak rasional.
Seorang manajer kehilangan kendali saat rapat. Suaranya meninggi, argumennya tajam, ekspresinya penuh tekanan. Setelah itu ia menyesal. Tapi kerusakan sudah terjadi. Timnya diam. Tidak lagi percaya.
Di sisi lain, ada orang yang bisa bicara tenang saat dituduh. Tidak membalas serangan. Tapi pesannya tetap sampai. Sikapnya tegas. Suaranya stabil. la tidak kehilangan wibawa, justru bertambah dihormati.
Keduanya sedang menghadapi emosi. Tapi yang satu dikendalikan, yang lain mengendalikan.
Menurut riset Harvard Medical School, butuh waktu 90 detik bagi emosi intens seperti marah, kecewa, atau takut untuk melewati puncaknya dalam otak manusia. Sisanya bukan karena emosi itu sendiri, tapi karena kita memilih untuk tetap berada di dalamnya.
Maka pertanyaannya bukan: bagaimana agar tidak emosi? Tapi: bagaimana tetap tenang saat harus bicara dalam emosi?
Berikut 7 cara berdasarkan buku-buku psikologi dan komunikasi kredibel untuk tetap jernih saat kamu harus berbicara di tengah tekanan emosional:
1. Sadari bahwa emosi itu datang seperti ombak, bukan banjir
Dalam Emotional Agility oleh Susan David, emosi dijelaskan sebagai sinyal, bukan komando. la datang dan pergi. Tapi saat kamu memperlakukannya seperti banjir yang harus segera disumbat atau dilawan, kamu justru terseret. Kesadaran bahwa emosi adalah tamu, bukan tuan rumah, membuatmu bisa menunggu gelombangnya lewat sebelum bicara.
2. Gunakan jeda mikro, bukan reaksi spontan
Buku Crucial Conversations karya Kerry Patterson menyarankan teknik "pause and label" saat kita terpicu secara emosional.
Misalnya, saat kamu ingin membalas kalimat yang menyakitkan, tahan dua detik. Lalu sebut dalam hati: "Saya marah."
Pemberian label itu seperti menyalakan lampu di ruangan gelap. Kamu jadi punya jarak dengan emosimu, dan itu memberi ruang untuk memilih respon.
3. Ubah napas, ubah nada bicara
Dalam The Body Keeps the Score oleh Bessel van der Kolk, dijelaskan bahwa cara kita bernapas menentukan kondisi sistem saraf. Saat marah, napas menjadi pendek dan cepat, yang membuat suara meninggi dan nada memanas.
Tapi jika kamu ambil satu napas dalam lewat hidung, lalu hembuskan perlahan dari mulut, sistem tubuhmu perlahan menyesuaikan. Nada bicaramu ikut tenang, dan isi pesanmu lebih diterima.
4. Fokus pada pesan, bukan perasaan
Terapis komunikasi Marshall Rosenberg dalam bukunya Nonviolent Communication mengajarkan: saat emosi memuncak, kembalilah pada niat komunikasi.
Tanyakan: apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan? Dengan mengalihkan perhatian dari "rasa saya" ke "pesan saya", kamu menggeser posisi dari reaktif ke reflektif.
5. Gunakan kalimat 'aku', bukan 'kamu'
Saat kamu bicara dalam emosi, kalimat seperti "kamu selalu begini" memicu defensif. Tapi kalimat "saya merasa kecewa karena harapan saya tidak terpenuhi" membuka ruang untuk didengarkan. Ini bukan trik manipulasi, tapi cara sehat menjaga arah diskusi. Hal ini dijelaskan secara praktis dalam buku Difficult Conversations karya Douglas Stone.
6. Latih komunikasi dalam tekanan kecil sebelum krisis besar
Tenang dalam emosi itu bukan bawaan, tapi latihan. Di buku Thinking, Fast and Slow oleh Daniel Kahneman, dijelaskan bahwa otak kita punya dua sistem: cepat dan lambat. Sistem cepat itu impulsif. Sistem lambat itu rasional. Kamu bisa melatih sistem lambat dengan simulasi. Coba bicarakan hal sensitif dalam suasana santai. Uji dirimu di konflik kecil, sebelum diuji di konflik besar.
7. Evaluasi usai bicara: apakah saya berhasil menjaga makna?
Setelah emosi reda dan kata-kata sudah keluar, cek kembali: apakah pesan saya sampai, atau justru terlindas oleh nada?
Refleksi ini bukan untuk menyalahkan diri, tapi untuk memperkuat kontrol emosional di masa depan. Dalam The Art of Communicating karya Thich Nhat Hanh, komunikasi yang utuh bukan hanya soal berkata, tapi juga menyadari dampaknya setelah itu.
.
No comments:
Post a Comment