Resign atau Bertahan?
Diam di Tempat yang Membunuhmu Pelan-Pelan
Kita semua pernah ada di fase itu, Bangun pagi dengan dada berat. Berkali-kali menatap langit-langit kamar sambil bertanya:
"Aku mau sampai kapan begini?"
Pekerjaan yang dulu kita syukuri, kini seperti penjara.
Penuh rutinitas yang mematikan gairah. Penuh target yang menggerogoti waktu. Penuh drama kantor yang membuat kita belajar pura-pura tuli.
Dan lebih sakit lagi...
Penuh senyum palsu yang kita kenakan agar tidak dianggap lemah.
Kenapa kita bertahan?
Karena kita takut.
Takut dicap tidak setia.
Takut disebut manja.
Takut dianggap tidak bersyukur, Takut gagal membuktikan diri. Takut melompat ke ketidakpastian.
Karena kita sudah nyaman
Bukan nyaman yang menyenangkan, tapi nyaman yang mematikan. Seperti katak dalam air hangat yang dipanaskan perlahan.
Tidak sadar dia sedang dimasak hidup-hidup.
Kenapa kita ingin resign?
Bukan hanya karena gaji kecil.
Bukan hanya karena atasan toksik..
Tapi karena kita ingin kembali merasa hidup.
Merasa bernyawa.
Merasa bekerja bukan hanya demi makan... tapi demi martabat dan harga diri.
Kita tidak mau bangun di usia 40, menyadari kita menghabiskan separuh hidup di tempat yang membuat kita membenci Senin.
Kita tidak mau melihat cermin dan melihat seseorang yang patah... tapi pura-pura baik-baik saja.
Tapi resign juga menakutkan,
Karena di luar sana tidak ada jaminan. Tidak ada "pasti."
Tidak ada "aman."
Tidak ada orangtua yang berkata: "Bagus nak, bagus sekali kamu nekat." Sebaliknya, mereka bilang:
"Nanti makan apa?"
"Masa' nganggur?"
"Kamu bodoh banget."
Dan kita mulai meragukan diri. "Apa aku egois kalau pergi?" "Apa aku lemah?"
"Apa aku tidak tahu berterima kasih?"
Inilah dilema yang membuat banyak orang. stuck. Tidak cukup bahagia untuk bertahan.
Tapi terlalu takut untuk pergi.
Jadi kita menunda.
Hari demi hari.
Tahun demi tahun.
Sampai tidak ada gairah yang tersisa. Sampai kita menjadi mesin dengan nama di kartu identitas.
Kapan sebenarnya kita harus resign?
Saat kantor tidak lagi jadi tempat belajar tapi tempat mematikan rasa ingin tahu.
Saat kritikmu dianggap pembangkangan.
Saat kreativitasmu dianggap ancaman. Saat kamu harus merendahkan harga diri untuk sekadar aman.
Saat kamu tidak lagi pulang dengan rasa bangga, tapi cuma lega bisa bernapas.
Resign bukan soal lari dari masalah.
Tapi berani mengakui: "Aku tidak mau mati di tempat yang tidak mau aku hidup."
Bertahan bukan salah.
Kadang kita memang butuh aman. Butuh waktu.
Butuh rencana. Tapi kalau bertahan membuatmu lupa siapa dirimu.....
Apa gunanya gaji setiap bulan, kalau bayarannya adalah jiwamu sendiri?
Hal yang harus kamu tanyakan sebelum resign:
1. Kenapa aku mau pergi?
Emosi sementara atau luka bertahun-tahun?
2. Apa yang membuatku bertahan? Gaji? Status? Atau ketakutan?
3. Apa aku sudah mencoba semua cara untuk memperbaiki situasi?
4. Apa aku siap menghadapi fase tidak nyaman setelah resign?
5. Apa aku sudah menyiapkan jalur lain?
Karena resign itu bukan keputusan impulsif.
Itu strategi.
Bukan untuk lari.
Tapi untuk mengambil alih kendali. Karena dunia kerja itu kejam,
Dia tidak akan bilang:
"Kasihan, kamu sudah terlalu stres."
Dia hanya bilang: "Kalau kamu gak mau, ada seribu orang lain yang mau."
Jadi kalau kamu mau pergi, pergilah dengan sadar.
Dengan rencana,
Dengan tekad.
Bukan hanya dengan marah. Bukan hanya dengan putus asa.
Tapi dengan keyakinan: "Aku layak tempat yang lebih baik."
Dan kalau kamu memutuskan bertahan....
Jangan jadi korban.
Ubahlah cara bekerja.
Tetapkan batas.
Rawat dirimu.
Beri ruang untuk bernapas.
Berjuanglah supaya kamu tidak kehilangan. diri demi perusahaan yang akan tetap berdiri walau kamu tumbang.
Karena pada akhirnya....
ini hidupmu.
Bukan HRD.
Bukan atasan.
Bukan orangtua.
Bukan teman.
Mereka hanya penonton. Yang menjalani cerita adalah kamu.
Pernah di titik ini?
Tulis di komentar
"Aku sedang memilih."
No comments:
Post a Comment