Ketika Prabu Isaka ( Ajisaka, Jaka Sengkala ) telah berkuasa
lebih dari setengah abad, kerajaannya di serang musuh dan dapat di taklukkan.
Kejadian ini untuk menuju takdirnya yang lain.
Kemudian Jaka Sengkala mengungsi ke hutan.
Sang ayah, Bathara Anggajali, mengetahui nasib putranya.
Di hutan itu ia menemui Jaka Sengkala untuk memberitahunya
agar bertapa di pulau yang oleh Sang Jagadnata di namai Pulau Dawa, di sebelah
tenggara tanah Hindi.
Sebagai bekal, Bathara Anggajali mengajarkan ilmunya dalam hal
membuat senjata. Sejak saat itu, ia bernama Empu Sengkala.
Kali ini Empu Sengkala kembali menggunakan kesaktiannya dengan
terbang menuju ke pulau yang di maksud.
Setelah terbang berputar-putar di atas pulau Dawa, ia
memutuskan memilih sebuah Gunung yang ia rasakan paling cocok untuk
bertapa-brata, lalu ia namakan Gunung Hyang, yang di kemudian hari di sebut Gunung Kendheng
atau Kandha.
Di tahun pertama ia berdiam di Gunung Hyang, Empu Sengkala
senantiasa melakukan puja semadhi mengheningkan cipta menyatukan kehendak Sang
Maha Kuasa.
Tahun pertama Empu Sengkala datang ke pulau Dawa inilah yang
kemudian di sebut Tahun 1 Saka, sekitar tahun 78 Masehi.
Pada suatu malam muncullah cahaya putih yang menyilaukan.
Setelah di perhatikan dengan menggunakan mata batinnya,
ternyata di dalam cahaya tersebut ada seorang putri yang mengaku bernama
Bathari Sri.
Kedatangannya untuk memberi pelajaran tentang ilmu pengasihan
dan cara-cara melakukan asmaragama, asmaranada, asmaraturida, dan asmaranala.
Setelah Empu Sengkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu
tersebut, Bathari Sri lenyap kembali ke kahyangan. Untuk memperingati, Empu
Sengkala menamai hari itu sebagai Hari Sri.
Pada malam berikutnya Empu Sengkala dalam semedinya di datangi
cahaya merah yang di dalamnya ada seorang brahmana dan mengaku bernama Sang
Hyang Brahma.
Kedatangannya untuk memberi pelajaran tentang ilmu gaib,
samar-samar, mengerti sebelum terjadi ( ngerti sadurunge winarah ).
Setelah Empu Sengkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu
tersebut Sang Hyang Brama lenyap kembali ke kahyangan.
Hari itu oleh Empu Sengkala dinamakan Hari Brahma.
Pada hari berikutnya dalam semedinya Empu Sengkala di datangi
cahaya kuning yang di dalamnya ada raksasa yang mengaku bernama Sang Hyang
Kala.
Kedatangannya untuk memberikan pelajaran tentang cara
melakukan “ sandi upaya lan kajuligan ”, yaitu ilmu kesaktian agar di takuti oleh orang
lain dan untuk mengalahkan lawan.
Setelah Empu Sangkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu tersebut
Sang Hyang Kala lenyap kembali ke kahyangan.
Hari itu oleh Empu Sengkala di namakan Hari Kala.
Pada hari berikutnya dalam semedinya Empu Sengkala di datangi
cahaya hitam yang di dalamnya ada ksatria yang mengaku bernama Sang Hyang
Wisnu.
Kedatangannya untuk memberi pelajaran tentang kaprawiran,
kasaktian, dan jaya kawijayan.
Setelah Empu Sengkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu
tersebut Sang Hyang Wisnu lenyap kembali ke kahyangan.
Kemudian hari itu oleh Empu Sengkala di namakan Hari Wisnu.
Pada hari berikutnya dalam semedinya Empu Sengkala di datangi
cahaya hijau yang menyinarkan lima macam warna.
Di dalamnya ada seorang yang mengaku bernama Sang Hyang Guru.
Kedatangannya untuk memberikan pelajaran tentang agama, kawruh
kasampurnan, panitisan, panjing suruping pati, dan untuk mencapai kebahagiaan
sejati.
Setelah Empu Sengkala mengerti dan menguasai ilmu-ilmu
tersebut, Sang Hyang Guru kembali ke kahyangan.
Untuk memperingatinya,oleh Empu Sengkala hari itu di namakan
Hari Guru.
Setelah malam berikutnya sudah tidak ada lagi yang mendatangi,
keesokan harinya Empu Sengkala menghormat sebagai rasa syukur kepada Yang Maha
Kuasa, yang telah memberikan ilmu melalui kelima dewa yang menjadi utusan untuk
menyampaikan bermacam pengetahuan.
Pengalaman batin inilah yang mengawali terbentuknya siklus
lima harian.
– Untuk menghormati Bathari Sri, pada Hari Sri manembahnya
menghadap ke arah Timur.
– Untuk menghormati Sang Hyang Brama, pada Hari Brahma
manembahnya menghadap ke arah Selatan.
– Untuk menghormati Sang Hyang Kala, pada Hari Kala
manembahnya menghadap ke arah Barat.
– Untuk menghormati Sang Hyang Wisnu, pada Hari Wisnu
manembahnya menghadap ke Utara.
– Untuk menghormati Sang Hyang Guru, pada Hari Guru
manembahnya dengan cara “ tumungkul ing pratiwi lan tumenga ing akasa ” (
menunduk ke bumi dan mendongak ke angkasa ).
Cara melakukan manembah ini selalu di laksanakan dengan tekun
oleh Empu Sengkala di gunung Hyang, yang di kemudian hari di tiru dan di anut
oleh generasi yang di bawa oleh Empu Sengkala pada kedatangannya yang kedua di
Pulau Dawa.
Karena asalnya Pancawara atau Petung Gangsal ( Perhitungan
Lima ) atau Wangsit Gangsal ( Wangsit Lima ) ini dari para dewa, maka siklus
lima harian ini di kemudian hari di sebut Pancawara Kadewatan.
Selain itu, karena para dewa yang hadir memberi wejangan
dengan sinar yang berbeda warna, maka kelima hari itu juga di namai sesuai
warna masing-masing, yaitu :
1. Hari Sri ( Pethakan, putih ), Timur.
2. Hari Brahma ( Abritan, merah ), Selatan.
3. Hari Kala ( Jenean / Jenaran, kuning ), Barat.
4. Hari Wisnu ( Cemengan, hitam ), Utara.
5. Hari Guru ( Mancawarna, lima warna ), Tengah.
Pada tahun 284 Saka ( 362 Masehi ) pada masa Kartika, Sang
Hyang Surya atau Sang Hyang Prawa ngejawantah ke bumi berjuluk Resi Radhi.
Setelah selama empat tahun berkeliling gunung, akhirnya ia
memutuskan untuk mendirikan padhepokan di Gunung Tasik, 288 Saka ( 366 Masehi
).
Ia menjadi guru bagi orang-orang di sekitarnya serta di daerah
lain yang jauh juga berdatangan berguru kepadanya.
Selain mengajarkan berbagai ilmu, Resi Radhi terutama sangat
intens soal perhitungan waktu.
Ia mencetuskan siklus 5 harian, yaitu Legi, Pahing, Pon, Wage,
dan Kliwon.
Pancawara buatan Resi Radhi lalu di sesuaikan atau di rangkap
dengan Pancawara Kadewatan yang sebelumnya telah di buat oleh Empu Sengkala (
Ajisaka ) saat pertama kali datang ke Jawa ( 78 Masehi ), dan cara manembah
yang telah ada tetap di lestarikan.
– Hari Sri bersamaan dengan Hari Legi, manembahnya menghadap
ke arah Timur.
– Hari Brahma bersamaan dengan Hari Pahing, manembahnya
menghadap ke arah Selatan.
– Hari Kala bersamaan dengan Hari Pon, manemahnya menghadap ke
arah Barat.
– Hari Wisnu bersamaan dengan Hari Wage, manembahnya menghadap
ke arah Utara.
– Hari Guru bersamaan dengan Hari Kliwon, manembahnya dengan
jalan “ tumungkul ing pratiwi lan tumenga ing akasa ”.
Seiring waktu bergulir, Pancawara Kadewatan namanya kalah
tenar di bandingkan Pancawara yang di buat oleh Resi Radhi.
Namun orang-orang yang mengikuti manembah menurut cara Empu
Sengkala tetap semakin banyak.
Karena itu tetua kampung mencari tempat khusus yang teduh dan
luas yang cukup untuk warga yang akan manembah.
– Pada hari Sri atau Legi manembahnya di dukuh sebelah Timur.
– Pada hari Brahma atau Pahing Untuk manembah di dukuh sebelah
Selatan.
– Pada hari Kala atau Pon manembahnya di dukuh sebelah Barat.
– Pada hari Wisnu atau Wage manembahnya di dukuh sebelah
Utara.
– Pada hari Guru atau Kliwon manembahnya di tengah desa / pedukuhan.
Tempat bertemu untuk manembah itu lambat laun di manfaatkan
oleh masing-masing peserta untuk membawa hasil bumi di daerahnya untuk saling
tukar dengan barang yang di bawa oleh warga lainnya dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup.
Karena tempat tukar barang itu di sebut pasar, maka siklus
lima harian ini lalu di sebut pasaran.
Rahayu..